https://news.detik.com/kolom/d-5153512/titik-rentan-dokter-dalam-pandemi
Kasus meninggalnya dokter kita karena Covid-19 masih terus
terjadi. Saat ini dokter menempati urutan pertama kematian pada nakes dengan
angka telah mencapai 100 orang. Dalam angka tersebut terdapat nama peserta
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebagai calon spesialis serta
beberapa konsultan, doktor, bahkan guru besar yang kepakarannya sangat mumpuni
di bidangnya. Sebuah kehilangan besar yang membutuhkan waktu panjang untuk
menggantinya.
Kasus tumbangnya para dokter mengindikasikan bahwa ada
lubang (locus
minoris) yang menganga laiknya pada otot perut penderita
hernia yang mengakibatkan bahaya ikutan bila tidak ditindaklanjuti. Sebuah
titik rentan (vulnerability) pada
dokter kita yang perlu ditutup untuk menghindari jatuhnya korban lagi.
Kerentanan vs Ketahanan
Berbicara masalah kerentanan pada dokter dalam pandemi menurut
saya merupakan fungsi dari keterpaparan dari Corona, tingkat sensitivitas dan
kapasitas adaptif dari si dokter sendiri.
Pada situasi pandemi di mana lingkungan kerja di rumah sakit atau
puskesmas menjadi sangat infeksius, maka kerentanan ditentukan antara lain oleh
jumlah virus (viral
load) yang masuk tubuh. Hal ini dianggap sebagai salah satu
penentu dokter menjadi sakit atau tidak pasca-paparan.
Banyak teori menyebutkan keterpaparan virus Corona pada manusia memang tidak
selalu menghasilkan gejala sakit Covid-19. Dalam hal ini pemakaian alat dan
pelepasan pelindung diri (APD) standar secara benar menjadi sesuatu yang tidak
bisa ditawar dalam melawan virus yang dikenal sebagai SARS-Cov2 ini.
Tingkat kerentanan seorang dokter juga tidak dapat dilepaskan dari
apa yang dimilikinya, yang disebut sebagai tingkat sensitivitas (kepekaan)
terhadap penyakit tertentu. Menurut saya, sensitivitas berbanding lurus dengan
kondisi tubuh dari dokter yang given seperti
genetik.
Dalam hal ini munculnya komorbid (penyakit penyerta) --yang biasanya terkait
genetik tertentu-- juga menjadi titik rawan dari tertular dan parahnya
manifestasi dari Covid-19. Sehingga dokter yang berusia lanjut dikategorikan
makin rentan karena peluang adanya komorbid semakin besar. Jika status imunitas
tubuh bermasalah sejak sebelum pandemi, maka bisa dikategorikan sebagai
sensitivitas bagi dokter.
Sebaliknya, faktor kapasitas adaptif dari dokter menjadi sesuatu yang
berkebalikan bagi kerentanan. Kemampuan beradaptasi adalah inti dari sebuah
ketahanan (resilience).
Dalam hal ini kemampuan adaptasi menjadi sesuatu yang dapat dipelajari oleh
dokter untuk menyesuaikan terhadap lingkungan, keadaan serta pekerjaan saat
pandemi.
Kapasitas adaptasi menjadi "upaya terakhir" yang dapat
dilakukan dokter untuk menurunkan kerentanan. Kondisi imunitas tubuh optimal
bisa menjadi "hasil akhir" dari kemampuan beradaptasi sebagai
kombinasi pola hidup sehat yang dikembangkan dari pola makan, pola tidur serta
pola pengelolaan stres. Tentu saja ada peran kemauan untuk melakukan kebiasaan
olahraga, menjalankan hobi sebagai "me time" dan selalu positive thinking saat
menghadapi situasi apapun.
Harus Sadar Risiko
Seorang dokter semestinya tahu dan paham segala sesuatu informasi
terkait Covid-19, namun dalam implementasi sehari-hari seringkali masih belum
sesuai dengan berbagai teori yang ada. Dalam banyak kasus, dokter seringkali
justru abai pada kondisi badannya sendiri. Dokter merasa bisa mendeteksi
penyakit sekaligus mengetahui penangkalnya. Sehingga sangat sering dokter yang
sebenarnya kurang sehat, namun "memaksa diri" untuk tetap melayani
dan merawat pasien.
Kenyataan yang lazim terjadi justru dokter seringkali tidak
menjalankan pola hidup sehat karena berbagai alasan. Bukan hanya dari
"kemalasan" diri sendiri, tetapi juga bisa dari sistem penjadwalan
jaga yang sangat ketat karena keterbatasan personel, misalnya. Di lain pihak
maka praktik dokter secara mandiri ditengarai mempunyai andil dalam membuat
kondisi dokter semakin rentan karena faktor kelelahan
Menurut saya yang paling dibutuhkan adalah kesadaran dokter terkait risiko
profesi dalam masa pandemi di mana risiko tertular Covid-19 memang lebih tinggi
dari masyarakat umum Dengan menyadari akan risiko profesi dokter diharapkan
akan menjadi lebih care dan fair terhadap
badannya sendiri.
Dalam hal ini perlu ketahanan fisik yang lebih baik dengan semakin
banyak kasus, panjangnya jam kerja, dan beratnya beban kerja. Demikian juga
untuk menjaga ketahanan psikis dan mental, membutuhkan kebesaran hati untuk
menyikapi bully,
caci maki, dan fitnah yang ada. Sedangkan perubahan kebijakan pemerintah yang
sering menyebabkan dokter dalam posisi terjepit sebaiknya disikapi secara woles saja.
Satu hal yang cukup penting, dokter semestinya bisa memetakan
dirinya sendiri dengan cara self
assessment berdasarkan tingginya paparan, tingkat
sensitivitas, dan kapasitas adaptasi. Secara sederhana hasilnya akan dalam
dikelompokkan menjadi kerentanan tinggi, sedang, atau rendah.
Bila dokter bekerja pada tingkat paparan tinggi, kondisinya sudah
ada komorbid serta sulit mengatur pola makan, tidur, dan stres, maka itulah
yang paling rentan. Sebaliknya jika paparan relatif rendah, tanpa komorbid dan
kemampuan adaptasi tinggi, maka dokter akan semakin tahan dan tangguh.
Bukan Hanya Urusan Pribadi
Berbicara kerentanan dan ketahanan dokter sebenarnya bukan hanya
urusan pribadi si dokter, tetapi juga bagaimana peran dari lingkungan kerja
dalam mendukungnya.
"Status kesehatan keuangan" rumah sakit yang terganggu
akibat tersendatnya pembayaran klaim bisa jadi berkontribusi pada kematian
dokter. Kelemahan dalam implementasi berbagai pilar Sistem Kesehatan Nasional
kita seperti bidang perbekalan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat saat
pandemi terlihat jelas hubungannya dengan kematian para dokter.
Pendek kata, semua subsistem serta supra-sistem terkait dokter
juga akan ikut berkontribusi apakah menyebabkan dokter menjadi rentan ataukah
tahan. Termasuk di sini ada peran advokasi dari organisasi profesi.
Akhirnya setelah mengidentifikasi locus minoris dokter pada pandemi
ini, maka perlu kiranya untuk melakukan tindakan "operasi" untuk
penutupan lubang pada kasus hernia tadi.
Dalam hal ini perlu pembenahan dalam sistem kesehatan khususnya
sistem penanggulangan Covid-19 baik di level hulu sampai hilir. Bila pembenahan
terjadi, maka dokter tangguh akan lahir dan hadir. Sebaliknya, tanpa upaya
"operasi" itu maka kematian dokter berikutnya tinggal menunggu waktu
saja.
No comments:
Post a Comment