Wednesday, September 2, 2020

Titik Rentan Dokter dalam Pandemi

 

https://news.detik.com/kolom/d-5153512/titik-rentan-dokter-dalam-pandemi

Kasus meninggalnya dokter kita karena Covid-19 masih terus terjadi. Saat ini dokter menempati urutan pertama kematian pada nakes dengan angka telah mencapai 100 orang. Dalam angka tersebut terdapat nama peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebagai calon spesialis serta beberapa konsultan, doktor, bahkan guru besar yang kepakarannya sangat mumpuni di bidangnya. Sebuah kehilangan besar yang membutuhkan waktu panjang untuk menggantinya.

Kasus tumbangnya para dokter mengindikasikan bahwa ada lubang (locus minoris) yang menganga laiknya pada otot perut penderita hernia yang mengakibatkan bahaya ikutan bila tidak ditindaklanjuti. Sebuah titik rentan (vulnerability) pada dokter kita yang perlu ditutup untuk menghindari jatuhnya korban lagi.

Kerentanan vs Ketahanan

Berbicara masalah kerentanan pada dokter dalam pandemi menurut saya merupakan fungsi dari keterpaparan dari Corona, tingkat sensitivitas dan kapasitas adaptif dari si dokter sendiri.

Pada situasi pandemi di mana lingkungan kerja di rumah sakit atau puskesmas menjadi sangat infeksius, maka kerentanan ditentukan antara lain oleh jumlah virus (viral load) yang masuk tubuh. Hal ini dianggap sebagai salah satu penentu dokter menjadi sakit atau tidak pasca-paparan.

Banyak teori menyebutkan keterpaparan virus Corona pada manusia memang tidak selalu menghasilkan gejala sakit Covid-19. Dalam hal ini pemakaian alat dan pelepasan pelindung diri (APD) standar secara benar menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar dalam melawan virus yang dikenal sebagai SARS-Cov2 ini.

Tingkat kerentanan seorang dokter juga tidak dapat dilepaskan dari apa yang dimilikinya, yang disebut sebagai tingkat sensitivitas (kepekaan) terhadap penyakit tertentu. Menurut saya, sensitivitas berbanding lurus dengan kondisi tubuh dari dokter yang given seperti genetik.

Dalam hal ini munculnya komorbid (penyakit penyerta) --yang biasanya terkait genetik tertentu-- juga menjadi titik rawan dari tertular dan parahnya manifestasi dari Covid-19. Sehingga dokter yang berusia lanjut dikategorikan makin rentan karena peluang adanya komorbid semakin besar. Jika status imunitas tubuh bermasalah sejak sebelum pandemi, maka bisa dikategorikan sebagai sensitivitas bagi dokter.

Sebaliknya, faktor kapasitas adaptif dari dokter menjadi sesuatu yang berkebalikan bagi kerentanan. Kemampuan beradaptasi adalah inti dari sebuah ketahanan (resilience). Dalam hal ini kemampuan adaptasi menjadi sesuatu yang dapat dipelajari oleh dokter untuk menyesuaikan terhadap lingkungan, keadaan serta pekerjaan saat pandemi.

Kapasitas adaptasi menjadi "upaya terakhir" yang dapat dilakukan dokter untuk menurunkan kerentanan. Kondisi imunitas tubuh optimal bisa menjadi "hasil akhir" dari kemampuan beradaptasi sebagai kombinasi pola hidup sehat yang dikembangkan dari pola makan, pola tidur serta pola pengelolaan stres. Tentu saja ada peran kemauan untuk melakukan kebiasaan olahraga, menjalankan hobi sebagai "me time" dan selalu positive thinking saat menghadapi situasi apapun.

Harus Sadar Risiko

Seorang dokter semestinya tahu dan paham segala sesuatu informasi terkait Covid-19, namun dalam implementasi sehari-hari seringkali masih belum sesuai dengan berbagai teori yang ada. Dalam banyak kasus, dokter seringkali justru abai pada kondisi badannya sendiri. Dokter merasa bisa mendeteksi penyakit sekaligus mengetahui penangkalnya. Sehingga sangat sering dokter yang sebenarnya kurang sehat, namun "memaksa diri" untuk tetap melayani dan merawat pasien.

Kenyataan yang lazim terjadi justru dokter seringkali tidak menjalankan pola hidup sehat karena berbagai alasan. Bukan hanya dari "kemalasan" diri sendiri, tetapi juga bisa dari sistem penjadwalan jaga yang sangat ketat karena keterbatasan personel, misalnya. Di lain pihak maka praktik dokter secara mandiri ditengarai mempunyai andil dalam membuat kondisi dokter semakin rentan karena faktor kelelahan

Menurut saya yang paling dibutuhkan adalah kesadaran dokter terkait risiko profesi dalam masa pandemi di mana risiko tertular Covid-19 memang lebih tinggi dari masyarakat umum Dengan menyadari akan risiko profesi dokter diharapkan akan menjadi lebih care dan fair terhadap badannya sendiri.

Dalam hal ini perlu ketahanan fisik yang lebih baik dengan semakin banyak kasus, panjangnya jam kerja, dan beratnya beban kerja. Demikian juga untuk menjaga ketahanan psikis dan mental, membutuhkan kebesaran hati untuk menyikapi bully, caci maki, dan fitnah yang ada. Sedangkan perubahan kebijakan pemerintah yang sering menyebabkan dokter dalam posisi terjepit sebaiknya disikapi secara woles saja.

Satu hal yang cukup penting, dokter semestinya bisa memetakan dirinya sendiri dengan cara self assessment berdasarkan tingginya paparan, tingkat sensitivitas, dan kapasitas adaptasi. Secara sederhana hasilnya akan dalam dikelompokkan menjadi kerentanan tinggi, sedang, atau rendah.

Bila dokter bekerja pada tingkat paparan tinggi, kondisinya sudah ada komorbid serta sulit mengatur pola makan, tidur, dan stres, maka itulah yang paling rentan. Sebaliknya jika paparan relatif rendah, tanpa komorbid dan kemampuan adaptasi tinggi, maka dokter akan semakin tahan dan tangguh.

Bukan Hanya Urusan Pribadi

Berbicara kerentanan dan ketahanan dokter sebenarnya bukan hanya urusan pribadi si dokter, tetapi juga bagaimana peran dari lingkungan kerja dalam mendukungnya.

"Status kesehatan keuangan" rumah sakit yang terganggu akibat tersendatnya pembayaran klaim bisa jadi berkontribusi pada kematian dokter. Kelemahan dalam implementasi berbagai pilar Sistem Kesehatan Nasional kita seperti bidang perbekalan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat saat pandemi terlihat jelas hubungannya dengan kematian para dokter.

Pendek kata, semua subsistem serta supra-sistem terkait dokter juga akan ikut berkontribusi apakah menyebabkan dokter menjadi rentan ataukah tahan. Termasuk di sini ada peran advokasi dari organisasi profesi.

Akhirnya setelah mengidentifikasi locus minoris dokter pada pandemi ini, maka perlu kiranya untuk melakukan tindakan "operasi" untuk penutupan lubang pada kasus hernia tadi.

Dalam hal ini perlu pembenahan dalam sistem kesehatan khususnya sistem penanggulangan Covid-19 baik di level hulu sampai hilir. Bila pembenahan terjadi, maka dokter tangguh akan lahir dan hadir. Sebaliknya, tanpa upaya "operasi" itu maka kematian dokter berikutnya tinggal menunggu waktu saja.

 

No comments: