Pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terkait isu bahwa RS
dan nakes "mengcovidkan semua pasien meninggal" untuk mengeruk
keuntungan membuat banyak pihak terhenyak. Lagi-lagi tuduhan yang kesekian kali
setelah Juli lalu Ketua Banggar Said Abdullah juga menyatakan hal serupa dengan
terminologi "RS nakal" dengan mencontohkan kasus pasien diabetes lama
yang akhirnya meninggal karena Covid-19. Menanggapi hal tersebut Menkes Terawan
menyatakan, serapan anggaran yang masih sedikit (saat itu) karena
kementeriannya berusaha agar hati-hati dan menghindari potensi moral
hazard.
Dari
terminologi yang dipakai membuktikan bahwa ada misinformasi dan disinformasi
dalam hal nakes (tenaga kesehatan) dan faskes (fasilitas kesehatan) saat
pandemi. Hal ini sangat merugikan bukan hanya pada keduanya, tetapi pada
penanggulangan pandemi.
Buru-Buru
dan Sepihak
Terminologi "mengcovidkan", "RS nakal", dan "moral
hazard" dapat dikatakan diberikan secara terburu-buru,
sepihak, dan tanpa klarifikasi.
Covid-19 sebagai penyakit dan sumber wabah baru memang sangat mudah untuk
disalahpahami. Apalagi karakteristik produk pelayanan kesehatan secara natural
seperti asimetri informasi (adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki
provider dan pengguna) serta adanya ketidakpastian di dalamnya (uncertainty) memang
akan semakin memperparah misinformasi dan disinformasi Covid-19.
Kedua
istilah terakhir berarti sebuah kesalahpahaman yang berbeda karakter dan motif
pada penyebarnya itu pada akhirnya menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu dan
akhirnya akan sangat merugikan nakes dan faskes.
Istilah "mengcovidkan" bisa jadi muncul dari kesalahpahaman saat yang
terjadi pada pasien --yang ke faskes untuk berobat dengan keluhan apapun--
diberikan pertanyaan dan/atau pemeriksaan yang mengarah pada penapisan Covid-19.
Tingginya angka penularan dan gugurnya sekitar 130 dokter menyebabkan
peningkatan kewaspadaan pada nakes yang bertugas. Dikatakan oleh banyak ahli
bahwa penyakit ini seolah mempunyai 1000 wajah, sehingga dalam menghadapi
pasien, dokter memakai azas "praduga bersalah". Artinya bahwa pasien
akan dicurigai positif sampai terbukti tidak --berkebalikan dari azas praduga
tak bersalah pada kasus hukum.
Demikian juga judgment dari anggota DPR bahwa
pasien diabetes yang akhirnya meninggal karena Covid-19 memang sangat mungkin
terjadi dan dapat diterangkan secara ilmiah. Diabetes sebagai salah satu
penyakit yang sering "diikuti" oleh si Corona memang jamak terjadi
dan nyata adanya. Ini terjadi karena imunitas penderita memang bermasalah. Bila
Covid-19 masuk dan menyerang pada pasien diabetes (yang sudah lama) dapat
menyebabkan kegawatan karena secara medis kadar gula darahnya melonjak secara
drastis yang seringkali diikuti pasien menjadi tidak sadar dan pada akhirnya
meninggal.
Demikian juga kejadian happy hypoxia, yakni
secara tiba-tiba pasien yang awalnya tidak sesak mengalami penurunan kadar
oksigen yang seringkali berujung pada kematian. Kejadian-kejadian yang hanya
dapat diterangkan dengan logika medis namun tidak tersampaikan seringkali
menjadikan prasangka buruk yang berlebihan terhadap nakes dan faskes.
Perlu
Dikritisi
Istilah "potensi moral hazard"
yang dikemukakan Menkes juga perlu dikritisi saat dikemukakan bersamaan dengan
tuduhan lain yang perlu diklarifikasi. Isu-isu moral hazard memang
sangat sensitif. Informasi yang ditangkap masyarakat adalah sudah terjadi dan
terbukti moral
hazard–nya (mengcovidkan untuk tujuan mengeruk dana ) dan bukan
pada kata "potensi" alias belum terjadi.
Potensi moral
hazard memang bisa jadi "hadir" ketika ada alokasi
dana untuk sesuatu hal. Apalagi dalam jumlah yang sangat banyak. Pernyataan
tersebut agak kurang bijak dan kurang sensitif karena seolah-olah
mengkonfirmasi kebenaran dugaan-dugaan masyarakat bahwa nakes dan faskes ada di
belakang pandemi Covid-19. Padahal semua masih sebatas tuduhan yang belum
terbukti. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa ini masih sebatas rumor yang
belum terbukti, namun sudah dilemparkan ke publik dan membuat kegaduhan yang
tidak perlu.
Menurut
saya, tuduhan moral hazard RS itu terlalu prematur
dikemukakan, apalagi saat penyerapan anggaran juga masih sangat sedikit. Saya
juga sangat setuju dengan respons sebagian dokter di media sosial untuk
menunjuk hidung saja ataupun memproses secara hukum bila ada oknum yang
terbukti melakukannya. Toh di sisi lain sudah ada mekanisme lain untuk mencegah
hal tersebut, yaitu adanya proses verifikasi dari para verifikator BPJS
Kesehatan. Adanya mekanisme tersebut otomatis akan "mempersempit"
ruang gerak pihak dan oknum tertentu --jikalau pun ada niat ke arah sana.
Semakin
Menjadi
Akhir-akhir ini masyarakat yang menganggap Covid-19 hanya rekaan dan
konspirasi semakin menjadi. Nakes dan
faskes menjadi bulan-bulanan netizen dan
masyarakat.
Perebutan
jenazah di berbagai tempat oleh masyarakat luas diikuti dengan ujaran-ujaran
yang tidak elok mengarah pada fitnah juga semakin marak. Penganiayaan secara
fisik kepada nakes juga kerap terjadi, bahkan terakhir ada berita melemparkan
kotoran manusia pada petugas.
Semua ini
menunjukkan bahwa komunikasi risiko pada wabah Covid-19 sangatlah buruk.
Komunikasi risiko secara keseluruhan adalah domain dari pemerintah dalam hal
ini gugus tugas ataupun satuan tugas. Pernyataan para pejabat menjadikan nakes
dan faskes semakin terjepit.
Saya dapat
mengatakan, dalam kondisi pandemi nakes dan faskes justru seolah menghadapi
tiga "musuh" secara bersamaan, yakni masyarakat yang tidak
mempercayainya, pejabat yang mencurigainya, serta keganasan virusnya.
Sayangnya
untuk menghadapi keganasan virusnya pun, nakes dan faskes kekurangan dukungan
sumber daya. Yang menjadi permasalahan, isu-isu moral hazard yang
baru bersifat "potensi" justru lebih mengemuka daripada isu-isu
ditolaknya karena hal-hal yang "sepele" dari sebuah kelengkapan klaim
(biaya). Padahal pencairan klaim yang akan "diputar" untuk antara
lain pembelian APD. Bisa jadi ujung-ujungnya nakes juga yang membeli sendiri
APD masing-masing.
Tentu saja
sangat tidak fair saat nakes dan faskes berjibaku
melawan Covid-19, ternyata tidak memperoleh support yang
memadai terkait sumber daya. Sulit membayangkan bila hal ini terjadi pada RS
swasta yang seluruh sumber dayanya murni tanpa ada subsidi pemerintah.
Semestinya
dalam wabah yang sangat luar biasa ini, tidak boleh ada hal-hal yang menghambat
klaim karena alasan yang demikian. Para pengambil kebijakan dan verifikator
semestinya tidak menerapkannya hal-hal remeh-temeh serigid seperti dalam
kondisi normal.
Dalam
kondisi pandemi ini nakes dan faskes menghadapi situasi dan posisi yang sangat
sulit. Bahwa sebagian nakes juga "galau" dengan kebijakan pemerintah
yang banyak berubah-ubah. Bahkan lebih tertekan dengan potensi tertular yang
lebih besar karena kluster baru bermunculan. Hal ini sangat membahayakan bagi
nakes karena akan langsung berhubungan dengan kondisi imunitas, sesuatu yang
diyakini sebagai benteng terakhir saat berhadapan dengan Corona.
Ibaratnya,
sekarang tinggal menunggu saatnya tiba, faskes akan kolaps serta nakesnya
tumbang karena Covid-19. Hal yang sama-sama tidak diinginkan
bisa diakses di : https://news.detik.com/kolom/d-5219305/mengcovidkan-pasien-meninggal
No comments:
Post a Comment