BLT, Rokok, dan
Covid-19
Pasca Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir
Effendy dan Mensos Tri Rismaharini mengingatkan warga agar tidak menggunakan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) Corona untuk membeli rokok, muncul berbagai pro
kontra pada kalangan tertentu.
Pernyataan menteri yang merupakan perpanjangan pesan dari Presiden itu bahkan
menimbulkan komentar negatif dari seorang politisi sebuah partai melalui akun
medsosnya. Politisi ini "menyerang" dengan pernyataan bahwa imbauan
itu adalah hasil dari kurang berpikirnya Mensos. Membeli rokok bagi para
penerima BLT dianggap tidak salah karena ada alasan lain yakni adanya pemasukan
negara melalui cukai rokok dan keterlibatan puluhan juta orang dalam industri
rokok.
Pro-Kontra Kebijakan
Rokok
Berbagai
kebijakan terkait rokok ataupun perilaku merokok sejak lama memang sudah sering
menimbulkan pro dan kontra. Hal ini memang karena "asal" rokok adalah
barang yang berbahaya bagi kesehatan namun legal. Dalam hal ini rokok dianggap
berbeda dengan narkoba atau bahkan miras. Walaupun pada kenyataannya rokok
menjadi gateway bagi
keduanya.
Hulu dari semua ini karena negara kita sebagai satu-satunya negara di Asia
Pasifik dan Organisasi Konferensi Islam yang belum bergabung dalam Framework
Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga permasalahan
seperti itu masih tidak jelas. Kebijakan pengendalian tembakau atau rokok yang
tidak jelas ini kerapkali membuat ambigu dalam banyak hal.
Menurut
pendapat saya, pernyataan politisi yang kontra dengan upaya memusuhi rokok bisa
jadi "benar" sebagai sebuah informasi --walaupun sangat bisa
diperdebatkan dalihnya--- namun terasa kurang bijak dalam suasana pandemi
seperti sekarang.
Saat
ini kehidupan begitu sulit menyusul banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK)
buruh pabrik, perusahaan, dan kantor menyebabkan kehidupan menjadi sangat sulit
bahkan untuk mendapatkan sekedar sembako.
Dalam
kondisi demikian, saat ada arahan atau guidance dari
pihak lain (dalam hal ini pemerintah melalui menterinya) untuk membelanjakan
uang bantuan yang tidak seberapa itu untuk lebih bermanfaat (baca: non rokok)
semestinya menjadi kabar gembira bagi siapapun. Menurut pendapat saya, para
warga duafa penerima BLT memang butuh masukan seperti itu untuk menempatkan
prioritas secara benar dalam membelanjakan uangnya itu.
Jika
ada pihak yang merespons dengan negatif terhadap arahan positif itu, maka
menurut saya perlu dipertanyakan motifnya. Jika alasannya adalah penerimaan
uang negara dan mengangkat hidup jutaan orang yang terkait rokok, maka justru
menjadi sangat aneh.
Bagi saya, penerima BLT di masyarakat ini adalah muara atau "ujung
akhir" dari berbagai penerapan kebijakan. Jika mereka tidak dapat
menempatkan prioritas yang tepat dalam membelanjakan keuangan, maka tujuan dari
BLT tersebut bisa jadi tidak tercapai. Dalam kondisi pandemi yang membutuhkan
asupan makanan bergizi yang ekstra untuk melawannya, justru akan kontaproduktif
saat tidak adanya aturan jelas terkait pemanfaatan BLT itu.
Data-data
valid berdasarkan Susenas pada September 2019 dimana pengeluaran rokok
menempati urutan kedua sebesar 11,17% (hanya di bawah beras sebagai makanan
pokok yang menempati 20,35%) pada pengeluaran warga miskin perkotaan,
seharusnya menimbulkan keprihatinan tersendiri.
Alih-alih
jumlah kemiskinan turun, tetapi dalam sebuah guyonan dikatakan bahwa kemiskinan
akan "menurun" pada anak-cucunya karena modal dasar untuk melakukan
transformasi vertikal keluarga itu yaitu stunting, rendahnya
tingkat IQ anak, dan urusan kesehatan secara umum menjadi terganggu.
Memang
cukup sulit menggambarkan secara singkat dengan narasi pendek. Intinya, cerita
tentang kekurangan gizi dan/atau rendahnya tingkat imunitas khususnya pada anak
karena asupan protein sangat minimal kalah dengan berbagai kesenangan tersier
bapaknya yaitu rokok.
Jadi
tidak ada yang salah dengan pernyataan pemerintah terkait pemanfaatan BLT itu
walaupun di sisi lain terlihat pemerintah masih mendua dalam banyak kebijakan
terkait rokok.
Bila
pernyataan tersebut dilandasi perilaku merokok dianggap sebagai hak asasi, maka
saat sekarang ini jika lebih memberatkan pada rokok maka ibarat "bunuh
diri" dalam kondisi pandemi. Membiarkan kondisi tubuh lemah untuk menjadi
sasaran empuk Corona.
Tentu
saja alangkah eloknya bila status kesehatan si miskin tetap menjadi pertimbangan
utama saat berkomentar daripada hanya sekadar membela industri rokok dengan
mengabaikan semua implikasinya.
Perilaku Merokok dan
Covid-19
Hubungan
antara rokok dan Covid-19- sebagai penyakit baru walaupun sudah diketahui
sebagian tetapi masih terus diteliti sampai saat ini.
Sudah
ada publikasi dari 5 studi dari China yang berhasil menyimpulkan bahwa merokok
akan meningkatkan kerentanan seorang terhadap Covid-19. Perokok memiliki
peluang 2,25 kali lebih tinggi untuk berkembangnya Covid-19 daripada yang tidak
pernah merokok. Perokok memiliki risiko 14 kali lebih tinggi mengalami
pneumonia akibat Covid-19 ketimbang non perokok.
Di
sisi lain memang ada studi yang hasil publikasinya justru sebaliknya. Menyitir
Farrukh Qureshi, perwakilan WHO Indonesia yang menyampaikan dalam sebuah
kesempatan bahwa studi yang mengklaim sepihak bahwa rokok menjadi faktor
pelindung terhadap Corona justru memiliki banyak kelemahan. Pemilihan sampel
yang tidak patuh pada ketentuan penelitian, pengujian yang tidak divalidasi secara
ketat, artikel yang non peer review,
serta banyak publikasi yang muncul pada platform non
kesehatan.
Menurut
saya, untuk menyikapinya saat dihadapkan pada data yang dianggap bertolak
belakang, maka dapat diverifikasi dengan sebuah logika akal sehat selain
kekuatan data masing-masing studi tersebut.
Secara
logika dapat dipahami bahwa perilaku merokok memang akan meningkatkan
probabilitas untuk terpapar. Saat mengisap rokoknya dapat dipastikan para
perokok tidak mengenakan masker dan itulah risiko terbesar untuk tertular
Covid-19. Ini disusul kerapnya perokok menyentuh bagian mulut atau hidung, itu
juga menjadi faktor kedua penyebab kemungkinan tertular.
Faktor
ketiga memang agak teknis penjelasannya; merokok akan meningkatkan jumlah
reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzym 2). Istilah
reseptor sendiri adalah tempat menempel virus Corona dalam tubuh manusia.
Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengibaratkan bahwa
reseptor seperti pelabuhan, dan virus Corona sebagai kapal yang akan mendarat
dan menyinggahi pelabuhan tersebut. Semakin banyak molekul reseptor tadi,
peluang terjangkit virus akan semakin besar.
Faktor
keempat yang agak teknis bahwa rokok terbukti menurunkan imunitas seseorang.
Secara sederhana dapat digambarkan bahwa asap rokok dan racunnya yang melewati
saluran pernapasan akan merusak bulu-bulu getar yang halus dalam sistem
pernapasan atas. Sementara rambut halus tersebut berfungsi untuk
"menangkap" dan menghalau keluar kotoran besar, kecil, bahkan kuman
akibatnya akan bisa lolos masuk ke saluran napas bagian bawah. Dari sini dapat
dimengerti perokok akan lebih mudah terinfeksi.
Terakhir,
para perokok rata-rata mengidap penyakit degeneratif kronis alias menjadi
komorbid saat kemunculan Covid-19 pada seseorang. Penyakit degeneratif kronis
yang dimaksud adalah kanker, paru kronis, penyakit terkait jantung dan pembuluh
darah, serta diabetes sudah jamak diketahui bahwa faktor risiko utamanya adalah
merokok. Memang dalam hal ini rokok bersinergi dengan lifestyle buruk
yang lain seperti stres, kurangnya gerak fisik atau olahraga,dan faktor
konsumsi yang tidak sehat.
Komorbid
ini pulalah yang akan meningkatkan kemungkinan akan memperberat gejala dan
bahkan yang mengarah pada kematian sebagaimana data-data yang ada
"berbicara". Selanjutnya, pilihan ada pada Anda.
No comments:
Post a Comment