Wednesday, May 26, 2010

Setelah Puskesmas Berhasil Meraih Sertifikat ISO, What’s Next?

Setelah melalui perjuangan panjang, berat dan melelahkan akhirnya Puskesmas berhasil meraih sertifikat ISO 9000:2001 …
Prestasi telah berhasil diraih, tepuk tangan panjang mengiringi, puja puji datang dari semua pihak, ucapan selamat mengalir, sertifikat dalam genggaman, lantas apa lagi? Setelah proses sertifikasi, apakah pekerjaan sudah selesai ? Bagi sebagian yang memahami bahwa selembar sertifikat sebagai tujuan utama tentu akan beranggapan bahwa kita sudah sampai pada tujuan. Perjalanan dan perjuanagn berat untuk menerapkan standar internasional dari Sistem Manajemen Mutu (SMM) berhenti dan akan berakhir pada secarik kertas sertifikat yang – tentu saja- akan menunjukkan gengsi, prestise atau apalah namanya bagi individu satau organisasi tersebut. Setelah sertifikat diterima kemudian dipertontonkan kemudian dipigura dan akhirnya di pasang di tempat yang mudah dilihat, maka pekerjaan serasa sudah selesai. Tidak perlu lagi sebuah upaya dan inovasi apapun untuk mengevaluasi apa yang telah ada.
Namun bagi sebagian yang lain, momentum itu justru menjadi awal perjalanan panjang tiada ujung. Untuk membuktikan apakah seorang individu atau organisasi berubah hanya demi tujuan jangka pendek semata yaitu selembar pengakuan dari lembaga sertifikasi atau memang ada kesadaran bahwa perubahan dan perbaikan adalah sesuatu yang mutlak yang harus dilakukan dalam mengantisipasi situasi penuh persaingan seperti sekarang ini.
Masih ada beberapa tahapan seperti Audit Mutu Internal ( AMI) yaitu audit mutu yang dilaksanakan oleh auditor intrernal serta proses surveillance audit yaitu dari pihak auditor eksternal yang kira-kaira dilakukan setiap 6 bulan sekali. Sebagai upaya untuk menjamin mutu sebelum sampai pada saatnya yaitu “ akhir kontrak” anatara lembaga sertifikasi dengan pihak organisasi. Masa kontrak selama 3 tahun adalah sebagai upaya menjaga dan mempertahankan mutu dengan sebuah pembiasaan. Alah bisa karena biasa. Sehingga diharapkan pada masa-masa setelahnya, sistem dan kebiasaan yang ada akan menjadi budaya individu dan organisasi
Seperti yang sudah dipahami, perubahan kearah yang lebih baik secara terus menerus adalah napas ISO. Dimana hal ini merupakan upaya untuk mensinergikan berbagai komponen seperti pengelolaan sumberdaya yang baik, di bawah tanggung jawab pada pihak manajemen yang selalu melakukan analisa terhadap situasi dan kondisi dan diharapkan pada akhirnya akan menghasilkan produk bermutu. Siklus seperti inilah yang menyebabkan upaya mempertahankan mutu adalah pekerjaan mulia sebagai perjuangan yang tidak akan pernah berakhir sampai kapan pun juga.
Kendala sekaligus tantangan
Walaupun SMM sudah diterapkan di puskesmas dan sudah disertifikasi, tetapi dalam kenyataan masih terdapat banyak kendala dalam mengimplementasikannya. Kendala yang sering terjadi adalah petugas masih sulit untuk mengikuti perubahan, komitmen petugas yang masih suka berubah-ubah, motivasi petugas sering kali tidak konsisten serta yang paling jamak adalah manfaat dari penerapan SMM ISO 9001 : 2000 belum dirasakan positif oleh petugas.
Bila dilihat dari pola diatas maka kendala terbesar justru muncul dari permasalahan internal dalam hal ini petugas sebagai pemegang kunci utama berjalannya sebuah sistem. Sedangkan komitmen dan motivasi dari masing-masing petugas memegang peranan yang paling penting karena bagaimanapun juga segala sesuatu yang diperbuat bersumber dari hal-hal yang sifatnya abstrak tersebut.
Sebenarnya banyak yang didapatkan dari penerapan SMM yang sudah dapat dirasakan seperti struktur kerja yang lebih transparan dan jelas, lingkungan kerja yang lebih rapi, dokumentasi yang lebih teliti, adanya peningkatan efisiensi dan efektivitas kerja serta produktivitas, adanya jaminan konsistensi terhadap mutu atau kualitas produk dan yang jelas adalah adanya peningkatan kepercayaan konsumen terhadap organisasi kita. Namun, bagi sebagian orang manfaat dari implementasi SMM belum dirasakan positif. Kemungkinan besar bagi penganut yang terakhir bahwa manfaat positif SMM adalah terkait langsung dengan ada atau tidaknya reward berupa materi yang semestinya secara otomstis mengiringi hasil kerja tersebut.
Puskesmas sendiri sebagai bagian instansi pemerintah di bidang kesehatan, tentu saja sama dengan instansi lain dalam hal aturan mainnya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem penggajian pegawai negeri menganut PGPS – sebuah sarkasme yang (maaf) berasal dari Pinter Goblok Penghasilan Sama. Sistem penggajian yang kurang mengahargai sebuah prestasi, beban kerja dan disiplin para pegawainya. PGPS menjadikan seringkali SMM dipandang sebagai beban yang pada akhirnya akan memunculkan pandangan bahwa “ngapain repot-repot menjaga mutu, toh gaji tetap sama”?
Gelorakan Terus Semangat Perubahan
Dengan kondisi seperti diatas, maka harus ada upaya-upaya yang harus dilakukan dalam rangka terus menyalakan api semangat untuk sebuah perbaikan mutu pelayanan. Perubahan sebagai sesuatu yang niscaya- karena tuntutan jaman- menjadi kata-kata bahkan “mantra-mantra ajaib” yang harus selalu didengungkan. Bahwa : perubahan adalah satu-satunya pilihan!
Sebagaimana pendapat para ahli bahwa hanya individu atau organisasi yang memiliki kemampuan adaptasi yang akan mampu bertahan. Sehingga makin disadari pentingnya perubahan diri sebagai respon terhadap perubahan situasi dan kondisi lingkungan kerja.
Menyitir seorang Jhon F. Kennedy seorang mantan presiden Amerika Serikat yang mengatakan bahwa perubahan adalah hukum kehidupan. Perubahan ternyata bukan merupakan pilihan tetapi sebuah keniscayaan.
Seorang Bill Gates, sang pendiri Microsoft dan salah seorang terkaya di dunia mengatakan bahwa jika anda tidak mempelajari manajemen perubahan yang berorientasi masa depan maka masa depan tidak akan berpihak pada Anda. Dengan hal tersebut akan membuat kita mengenali perubahan, mengantisipasi dan mengambil keuntungan dari proses perubahan yang sedang terjadi.
Banyak sekali komentar dari para ahli manajemen, filsuf, futurolog, penulis dan orang-orang sukses di berbagai bidang tentang perubahan ini. Ary ginanjar Agutian – pendiri ESQ Leadership Center- dalam sebuah seminarnya menyatakan perubahan yang dengan panduan aspek spiritual-lah yang akan memberi arti yang lebih dalam bagi perubahan itu sendiri. Inilah perubahan yang sempurna.
Dalam kenyataan memang hanya pribadi dan organisasi pembelajar (learner) saja yang mampu dan merasa nyaman untuk berubah. Sementara ada 3 golongan lain yang gagap dalam menghadapinya. Ada yang tidak nyaman dengan perubahan dan tidak punya kemampuan untuk berubah (overwhelmed) ; golongan kedua adalah nyaman dengan perubahan tetapi tidak memiliki kemampuan untuk berubah ( the below substance) ; serta golongan yang tidak nyaman dengan perubahan walaupun mereka punya kekmampuan (the entrenched) . Kelompok terakhir inilah yang akan merasa terganggu dan terancam zona kenyamanannya bila berubah, sehingga lebih memilih dan rela dijuluki untuk diberi gelar status quo.
Dengan menjadi pribadi pembelajar maka akan membentuk mental berpikir positif dalam menyikapi situasi PGPS maupun minimnya reward material, dengan sebuah pendekatan spiritual. Tempat bekerja adalah sebagai lahan untuk menyemai benih kebajikan yang kita taburkan dan hasilnya pasti suatu ketika akan kita petik. Perubahan dengan sentuhan spiritual akan menjadikan orang bekerja dengan sepenuh cinta, tanpa pakasaan. Cinta atau suka –kata Neno Warismasman dalam sebuah seminar- akan menjadikan seseorang menjadi ulet dan tahan banting dalam memperjuangkan sebuah niat mulia. Semoga.

Iso Ora Iso Harus ISO

Menuju Puskesmas yang lebih Bermutu :
“Iso Ora Iso “ Harus ISO

Begitulah guyonan di antara kami- pegawai Puskesmas dan Dinas Keseshatan Kota Tarakan- yang sedang berjuang untuk menjaminkan mutu manajemen di tempat bekerja dengan sertifikasi ISO (International Organization for standardization). Guyonan yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti “ bisa atau tidak bisa harus ISO”
ISO yang pertama adalah dalam bahasa Jawa yang berarti bisa atau sanggup. Sedangkan kata ISO di belakang menunjuk pada ISO 9001:2000 yaitu standar internasional untuk sistem manajemen mutu yang dikeluarkan oleh ISO ( organisasi Internasional untuk standarisasi) yang berpusat di Swiss untuk mengembangkan dokumen sesuai standar yang ada.
Jadi nantinya adanya auditor eksternal- yang akan melakukan audit dokumen dan kesesuaiannya di lapangan. Bila lulus maka puskesmas atau dinas kesehatan akan memperoleh sertifikat ISO 9001: 2000.
Sesungguhnya yang dibangun dalam menuju sertifikasi ISO ini adalah bukan gedung yang megah dan wah serta peralatan yang sangat canggih. Namun dalam ISO 9001:2000 yang dibangun adalah Sistem managemen Mutu (SMM). Pada lembaga yang tersertifikasi bisa diartikan sistem manajemen mutunya dijaminkan oleh lembaga sertifikasi tersebut. Sehingga diharapkan dengan terimplementasikannya SMM ini maka organisasi akan menjadi lebih bermutu dan budaya mutu akan menjadi budaya sehari-hari suatu saat kelak. Dan saat itu mungkin ISO “ sudah tidak diperlukan lagi” karena sudah built in (terbangun dan menyatu) di dalam diri masing-masing. Perlu diketahui bahwa bukan hanya ISO saja yang bisa menjadi acuan tetapi ada beragam organisasi lain yang punya tujuan yang sama. Pada ISO sendiri sebenarnya terdiri dari 4 kegiatan atau hal utama yaitu adanya pengelolaan sumberdaya yang baik, dengan tanggungjawab pada pihak manajemen yang selalu malakukan analisa dan perbaikan terus menerus sehingga akan merealisasikan produk yang diharapkan diharapkan akan memuaskan pelanggan. Sehingga kalaupun belum memuaskan bagi seluruh atau sebagian pelanggan maka akan dilakukan perbaikan secara terus menerus.
Tuntutan Jaman
Dulu pegawai negeri sipil (PNS) – termasuk pegawai di lingkungan dinas kesehatan - adalah ibarat raja. Karena seolah-olah menjadi penguasa maka dia dia harus dilayani. Apa yang diperbuat tidak ada yang berani mengkritisi. Jadi wajar bila pelayanan publik yang ditangani oleh PNS menjadi terkesan “seadanya”. Apa dan bagaimana sudah menjadi rahasia umum. Anekdot bahwa “kalau bisa dipersulit kenapa harus dipermudah” dan banyaknya pernyataan yang mengggambarkan betapa kinerja PNS selalu tidak professional, berbelit-belit dan tidak bermutu sudah sangat jamak terdengar
Sekarang era sudah berbeda. Seiring dengan reformasi maka setiap orang bisa menjadi abdi masyarakat. Sekarang masyarakat pelanggan adalah raja.maka paradigma PNS yang dulu sebagaimana raja dan abdi negara bergeser dan bebas berkomentar apapun tentang apa dan siapapun. Sejalan dengan tuntutan masyarakat yang semakin mengemuka maka paradigma PNS yang dulu sebagaimana raja dan abdi Negara bergeser menjadi abdi masyarakat.
Sekarang masyarakat pelanggan adalah raja. Sehingga pada era sekarang semua pegawai harus berkomitmen bahwa kita adalah pelayan masyarakat. Karena masyarakat sebagai pelanggan adalah raja, maka tuntutan pelayanan publik yang rasional dan bermutu adalah sebuah keniscayaan. Tetapi walaupun perubahan adalah sebuah keniscayaan tetapi dimana-mana penolakan juga akan ada.
“Kalau dengan seadanya saja bisa, kenapa harus berubah?” Demikian pernyataan yang bernada resisten terhadap sebuah program perubahan dimanapun yang terjadi pada pihak-pihak yang merasa “terganggu” berbagai kepentingannya.
Sebenarnya selain karena tuntutan reformasi maka proses globalisasi juga menjadi tantangan yang cukup berat bagi pelayanan publik. Bagaimana tidak jika suatu saat ada ada bermacam pelayanan public khususnya bidang kesehatan yang muncul di samping puskesmas kita. Hal ini bukan tidak mungkin. Era persaingan bebas sebentar lagi akan menjadi kenyataan. Sehingga mau tidak mau, suka tidak suka hal tersebut akan menjadi tantangan tersendiri bagi apakah organisasi bisa bertahan di dalam situasi tersebut.
Otonomi daerah juga menjadi salah satu faktor pendorong yang cukup penting. Menyangkut tentang standarisasi manajemen -khususnya bidang kesehatan- memang belum kelihatan. Yang sudah ada adalah manajemen klinis yang langsung berhubungan dengan permasalahan penyakit dan penanganannya. Sehingga muncul peluang dimana daerah yang berminat akan mencari standarisasi yang dimaksud.
Perlu Perubahan Mental Model
Dengan metode dan cara apapun sebenarnya pelayanan publik memang dituntut untuk terus berbenah. Sudah banyak program atau proyek yang pernah dilakukan untuk pembenahan ini. Dulu ada quality assurance (QA) atau jaminan mutu yang sekarang sudah “mati suri”. Kenyataan di lapangan bahwa sistem ini dianggap rumit sehingga pelan tetapi pasti akhirnya QA menjadi mati.
Tetapi akar permasalahan mungkin bukan pada kerumitannya. Namun program penjaminan mutu ini dianggap hanya sebagai “proyek” yang suatu ketika akan berakhir. Memang disinilah konsep dan mindset tentang mutu beserta komitmennya itu sendiri sudah harus dibangun sejak awal.
Mutu yang diyakini sebagai mengerjakan yang benar dengan benar memanglah bukan program/proyek tetapi adalah sebagai sesuatu yang seharusnya dilakukan. Mutu oleh seorang ahli dikatakan sebagai zero defect atau tanpa kecacatan adalah memang menjadi lebih dari sekedar tuntutan tetapi juga menjadi kebutuhan. Para bidang kesehatan dimensi mutu juga berisikan hal keterjangkauan, efektifitas, efisiensi, keamanan sebuah tindakan pengobatan, kesinambungan, kompetensi,kenyamanan serta sampai pada hubungan antar manusia adalah sebenarnya hal yang wajar dan manusiawi.
Dengan menyadari bahwa program ini adalah sebuah perubahan yang mendasar pada sistem manajemen- dimana semua pihak di dalam organisasi tersebutpasti akan terkena imbasnya- maka sudah seharusnya kita mendukung program peningkatan mutu baik dengan standar ISO atau yang lain. ISO hanya salah satu dari tools yang ada yang dipakai oleh sistem manajemen untuk selalu melakukan perbaikan secara terus menerus- seperti tuntutan masyarakat yang semakin meningkat ini.
Selain dibutuhkan partisipasi total dari seluruh staf juga dibutuhkan perubahan mindset bahwa hal ini ( perubahan kearah yang lebih baik) adalah sebuah keniscayaan. Untuk itu dibutuhkan pemahaman bahwa penerapan sistem manajemen mutu adalah bukan proyek sehingga tidak akan berakhir sampai kapan pun. ISO bisa jadi “berhenti” tetapi perubahan ke arah yang lebih baik- sebagai napas ISO- adalah perjuangan yang tidak pernah berhenti. Bukankah ini klop sekali dengan moto bahwa “ hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik daripada hari ini?”. Dan untuk menjawab pertanyaan ini semua terpulang kepada nilai maupun mental model yang kita anut.

Jamkesmas atau Jamsosnas

Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi *

Beberapa waktu yang lalu seiring dengan dilantik dan mulai bekerjanya Endang Rahayu Sedyaningsih sebagai Menteri Kesehatan yang baru- anggota Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II)- kontroversi tentang kebijakan pola pembiayaan kesehatan mengemuka. Secara gamblang terlihat ada tarik menarik antara program pembiayaan orang miskin yang terdapat di dalam program Jaminan Kesehatan Masyarakat ( Jamkesmas) - yang digagas oleh Menkes sebelumnya Siti Fadilah Supari dengan bentuk Jaminan Sosial Nasional (Jamsosnas) yang akan diusung oleh Menkes yang baru itu.
Pro kontra itu dimulai sejak serah terima menteri kesehatan tanggal 23 Oktober 2009, dimana program jamkesmas “ dititipkan” dari mantan menkes kepada menteri kesehatan yang baru. Dan dalam beberapa kesempatan Menkes baru menyatakan bahwa jamkesmas menjadi salah satu prioritas dalam program 100 hari Kinerja KIB II (1)
Dalam perkembangannya- setelah mendengar pendapat dan pertimbangan berbagai pihak- maka Menkes baru menyatakan bahwa pelaksanaan Jamkesmas akan ditinjau ulang, diganti atau tepatnya dikembalikan dengan sistem asuransi. Sehari setelah pernyataannya maka hampir seluruh surat kabar memberitakan sebagai : Jamkesmas akan dihapus, diganti atau pernyataan senada tentang adanya sebuah program baru yang akan menggeser Jamkesmas – program kebanggaan Siti Fadilah Supari.
Sehari berselang pada tanggal 9 November dalam kesempatan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi IX DPR menkes baru juga mengungkapkan bahwa akan disusun sebuah roadmap menuju pelaksanaan Jaminan Sosial Nasional atau Jaminan Kesehatan semesta, sebuah jaminan yang tidak hanya mencakup orang miskin, tetapi malah diperluas untuk seluruh masyarakat, yang rencananya akan mulai diterapkan secara bertahap tahun 2010 sampai 2014, sesuai dengan amanat UU no 40 / 2004 tentang SJSN ( Sistem Jaminan Sosial Nasional).(2)
Walaupun dalam kenyataannya jamkesmas sudah banyak membantu orang miskin dimana pemanfaatannya menunjukkan kenaikan yang luar biasa ( > 392 %) namun program yang dianggap tidak sejalan dengan konsep asuransi – sebagaimana amanat SJSN – menjadi alasan yang cukup kuat untuk menggantinya.
Tentu saja ide yang dilontarkan oleh seorang menteri baru yang pengangkatannya juga diwarnai beberapa kontroversi ini, kontan mendapat perhatian dari banyak pihak. Tak terkecuali dari mantan menkes. Dalam sebuah acara Dewan Kesehatan Rakyat ( DKR) tanggal 16 November di Yogyakarta mengatakan bahwa bentuk jamkesmas harus tetap ada dan sebaiknya tidak diganti dengan sistem asuransi. Karena menurut beliau Jamkesmas akan menjamin hak rakyat dan semua pelayanan kesehatan ditanggung gratis, sementara bila asuransi maka rakyat harus membayar dan hanya pelayanan kesehatan tertentu yang bisa dijamin.
Bila melihat dari wacana yang mengemuka, perdebatan mengarah pada bagaimana pembiayaan kesehatan pada orang miskin khususnya dan masyarakat pada umumnya- sebuah isu besar yang tidak saja dihadapi oleh negara kita atau rata-rata negara berkembang lainnya - tetapi juga oleh negara sekelas seperti Amerika Serikat (AS). Sehingga tidak perlu terlalu pesimis dengan hal tersebut, karena penulis merasa yakin bahwa kedua ibu – Menkes dan mantan menkes – sama -sama berangkat dari semangat untuk berbuat yang terbaik bagi dunia kesehatan kita. Sehingga permasalahan Jamkesmas atau Jamsosnas harus didudukkan pada proporsi yang sebenarnya (3)


REFORMASI PEMBIAYAAN KESEHATAN : SUATU KENISCAYAAN

Permasalahan pembiayaan kesehatan memang “ baru” dirasakan menjadi hal penting saat ada momentum krisis ekonomi yang berlanjut pada krisis moneter pada tahun 1998. Orang miskin sangat kesulitan mengakses kesehatan karena kesehatan menjadi sangat mahal. Ancaman adanya ‘sebuah generasi yang hilang” akibat krisis, sampai pada kesimpulan untuk memunculnya program Jaring Pengaman Sosial (Social Safety Net ) Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang mampu menolong jutaan rakyat miskin dari kesakitan. Program serupa berlanjut dengan nama yang berbeda-beda, pada tahun-tahun berikutnya. PKPS BBM, Askeskin ( 2005 – 2007) dan pada awal 2008 berubah menjadi Jamkesmas.(4)
Tetapi yang jelas persamaannya bahwa pembiayaan kesehatan biasanya mulai dipikirkan secara serius oleh pemerintah pada saat situasi yang mendesak seperti adanya krisis ekonomi, pengurangan subsidi BBM dan situasi ‘kepepet’ lain. Permasalahan di bidang kesehatan memang masih menjadi isu kelas dua. Walaupun dari tahun ke tahun jumlah orang miskin menunjukkan peningkatan dari 36,14 juta menjadi 76,2 juta pada tahun 2007 maka kucuran dana yang juga sudah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun ( mulai dari Rp 2,256 T pada tahun 2005, menjadi Rp. 4,6 T pada tahun 2008) belumlah mencukupi. Terbukti masih orang miskin yang tidak tercakup oleh jamkesmas, yang mana hal ini menyebabkan daerah terpancing untuk berinovasi dalam sebuah jaminan kesehatan daerah ( jamkesda), Jaminan Kesehatan Sosial (Jamkesos) maupun Jaminan Sosial Kesehatan ( Jamsoskes) seperti di Purbalingga, Balikpapan, Yogyakarta dan Sumatera Selatan.(5,6)
Jumlah yang cukup besar dalam angka absolute ternyata masih sangat kecil bila dibandingkan dengan keseluruhan anggaran pemerintah ( hanya berkisar 2,7% dari PDB). Anggaran yang sangat tidak memadai ini menjadikan pembiayaan kesehatan yang berasal pengeluaran langsung dari kantong masyarakat (Out of Pocket ) menjadi sangat besar bahkan mencapai 70 %. Akibatnya berlakulah hukum “You get what you Pay For” dimana masyarakat yang mampu saja yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang baik. (3,5,7)
Masyarakat yang mendekati miskin ( near poor) yang tidak tercakup pada jamkesmas dan masyarakat mampu yang karena sakitnya menjadi miskin ( sadikin) sangatlah berat menanggung beban biaya kesehatan. Ditambah lagi dengan sifat dasar pembiayaan kesehatan yang cenderung naik terus sejalan dengan inflasi dan munculnya teknologi kedokteran maka orang yang tidak mendapatkan
jaminan pelayanan kesehatan ini menjadi golongan yang paling tidak beruntung (6).
Jadi tidaklah mengherankan bila adanya keterbatasan akses secara ekonomi tersebut menjadikan status kesehatan masyarakat Negara kita menjadi lebih rendah dibandingkan Negara tetangga, disamping memang masih adanya masalah lain di bidang kesehatan seperti mutu layanan dan kinerja petugas. Indikator – indikator status kesehatan seperti angka kematian ibu dan anak masih terburuk diantara Negara ASEAN. Kondisi yang seperti ini yang sempat memunculkan pesimisme bahwa fungsi negara kesejahteraan ( welfare state) sebagaimana amanat dalam UUD 1945 seolah-olah menjadi tidak bermakna (5)
Dalam situasi seperti itulah UU SJSN sebagai sebuah bentuk reformasi kesehatan lahir dan menemukan momentumnya. UU SJSN yang kelahirannya lebih belakangan sebagai salah satu jawaban daripada situasi ( krisis) dan reaksi ( lahirnya dana-dana bantuan ), sebenarnya merupakan lompatan besar sebuah reformasi pembiayaan kesehatan. Isu pembiayaan kesehatan menjadi tidak sebatas hanya pada masyarakat miskin tetapi malah seluruh masyarakat (5,6,8)
Namun yang menyedihkan UU justru seringkali dihadapkan secara head to head dengan model-model pembiayaan kesehatan orang miskin yang pernah ada. Jamkesmas maupun Jamkesda seringkali dipertanyakan dan dipertentangkan dengan UU yang kelahiran dan rencana –rencana implementasinya justru “dipercepat ” oleh adanya program - program itu.(9)
Sehingga dengan melihat Jamkesmas sebagai program yang mengusung nafas sebuah reformasi kebijakan pembiayaan kesehatan maka sudah tidak pada tempatnya dan menjadi sangat tidak relevan bila masih terdapat pernyataan yang menafikkan manfaat dan fungsi Jamkesmas dengan menghadapkannya dengan UU SJSN itu. Karena dalam kenyataan memang orang miskin tidak peduli dengan cara apa kebutuhan akan kesehatannya dipenuhi. Dengan sebuah jaminan atau asuransi yang preminya dibayar oleh oleh pemerintah. Dengan jamkesmas atau jamsosnas.

UNIVERSAL COVERAGE
Pernyataaan mantan menkes yang mendikotomi jaminan atau asuransi sosial sebagai alasan utama untuk menolak program yang diusung menteri baru, memang pernyataan yang sangat terburu-buru. Memang di dalam perkembangannya jaminan sering diidentikkan dengan NHS ( National Health Service)- sebuah sistem yang berbasis pajak yang diberlakukan di Inggris dan Malaysia, namun secara terminologi dalam rangka menuju SJSN kedua istilah tersebut bisa dimaknai sama. Bahwa dalam asuransi sosial ada iur biaya memang benar. Namun, sebagaimana amanat UUD 1945 bahwa orang miskin dipelihara oleh Negara maka yang membayar / menjamin premi orang miskin tersebut adalah Negara.(10)
Jadi menurut penulis mantan menkes dan menkes sejatinya hanya berbeda cara pandang saja. Pada prinsipnya bahwa kedua cara itulah yang memungkinkan dapat mengantarkan bangsa ini ke dalam Universal Coverage, dimana semua warga negara baik miskin atau kaya akan terjamin kesehatannya dan tidak boleh orang menjadi miskin gara-gara menderita sakit. ( 5,11)
Walaupun ada peningkatan dana setiap tahunnya, namun masih terasa “ sangat kecil” artinya bila kita mau menuju situasi universal coverage yang disebut juga sebagai Jaminan Kesehatan Semesta oleh menkes baru. Karena berapa dana lagi yang harus disiapkan untuk menjamin sisa penduduk dikurangi dengan PNS yang sudah terasuransi oleh PT ASkes Persero maupun pekerja yang sudah terasuransi dengan PT Jamsostek. Sedangkan permasalahan negara ini tentu saja bukan hanya kesehatan tetapi juga kemiskinan, pengangguran, kebodohan dan lain-lain.(5,11)
Sehingga menjadi masuk akal jika disinilah muncul bentuk subsidi silang dari si kaya kepada si miskin, si sehat kepada si sakit dan dari yang muda kepada yang tua sebagaimana seperti konsep asuransi sosial yang berpegang pada sifat kegotongroyongan antar golongan. (5,6,11, 12,13)
Dalam asuransi sosial juga akan dilaksanakan oleh badan penyelenggara yang dapat dari unsur pemerintah atau quasi pemerintah namun tetap menganut prinsip nirlaba. Dalam program ini akan menjanjikan paket yang sama pada setiap peserta, yang akan menjamin rasa keadilan (equity of egaliter) dimana akan berlaku you get what you need. Setiap peserta akan mendapatkan pelayanan medis yang dibutuhkan.(14)
Memang menjadi sangat berbeda bila asuransi yang diterapkan adalah komersial, dimana adanya penerapan seleksi pada calon-calon peserta yang kadang-kadang sangat ketat, sehingga terkesan perusahaan asuransi hanya mau mengambil untung. Dan adanya mekanisme pasar di dalamnya sehingga akan berlaku hukum alam bahwa siapa kuat dialah yang sehat dan si miskin “di larang” sakit (5, 11,12)
Belajar dari Jerman dan Jepang dengan mekanisme asuransi sosialnya - dengan berbagai modifikasi di dalamnya – yang memperlihatkan hasil status kesehatan masyarakat yang sangat memuaskan dibanding di Amerika Serikat sekalipun maka tidak perlu terlalu khawatir dengan sebuah reformasi kesehatan yang sudah dicanangkan. (5,11,12)
Mudah-mudahan ini menjadi sebuah jalan untuk merajut persatuan yang makin hari makin terkoyak.
MENUJU JAMKESTA :
SKENARIO TEKNOLOGI INFORMASI : MENUNGGU LAHIRNYA UU BPJS
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*
Sebuah artikel di harian ini akhir Maret lalu yang ditulis oleh Menkes memuat tentang roadmap menuju Jaminan Sosial Nasional dalam bidang kesehatan yang dikenal sebagai Jaminan Kesehatan Semesta ( Jamkesta ) yang mana untuk mencapai kondisi tersebut - tidak hanya cukup memperluas kepesertaan tetapi juga penting untuk mempersiapkan infrastruktur yang dibutuhkan.
Istilah infrastruktur dapat dimaknai dibutuhkannya subsistem pendukung yang cukup handal dari sebuah sistem Jamsosnas. Dengan kata lain, kebutuhan infrastruktur yang meliputi fisik serta non fisik menjadi subsistem pembangun struktur dari situasi yang juga disebut sebagai Universal Coverage tersebut. Kebutuhan akan infrastruktur yang dimaksudkan sebagian sudah terlihat pada peta jalan yang sedang dirancang, namun demikian masukan dari berbagai pihak kiranya tetap mendapat tempat sewajarnya, sehingga peta jalan yang sifatnya final nantinya akan lebih sempurna.
Teknologi Informasi adalah keniscayaan
Sistem informasi manajemen yang berbasiskan Teknologi Informasi (SIM-TI) sebagai salah satu infrastruktur pendukung pelaksanaan Jamkesta, selanjutnya disebut sebagai teknologi informasi atau TI saja, sudah disadari pentingnya dan terbukti menjadi salah satu blok yang akan dicermati pada pelaksanaannya nanti. Tidak perlu diperdebatkan lagi bila dalam hal ini, teknologi informasi memang menjadi sebuah keniscayaan.
Kebutuhan SIM yang handal dalam mendukung semua kegiatan sudah lama disadari oleh manajemen PT Askes sebagai lembaga asuransi kesehatan besar di negeri ini, bahkan keberadaannya sudah menjadi salah satu misi yang akan mendukung semua proses bisnis di dalamnya. Belajar dari PT Askes yang sedang mengembangkan ASTERIX ( Askes Integrated and Responsive Information exchange) yang diklaim dapat menjawab kebutuhan teknologi informasi dalam mengelola sebuah risiko dan Bridging System sebuah upaya untuk memadukan dengan SIM dari provider makin memberikan kesadaran pada kita semua bahwa SIM-TI menjadi sebuah PR yang cukup besar dan harus disiapkan jauh hari sebelumnya.
Untuk itu dalam rangka menyelesaikan ini harus didukung oleh sebuah proses manajemen yang sangat baik. Pilihan SIM- TI yang akan digunakan nantinya juga harus dapat mengakomodir keperluan teknis para pengguna langsung, auditor serta yang tidak kalah penting adalah pihak manajemen sebagai “pemilik” proses bisnis itu sendiri.
COBIT - sebagai kerangka berpikir
Dalam banyak artikel di sebutkan bahwa banyak sekali standar maupun tools dalam sistem informasi berbasis komputer maupun auditnya dengan keunggulannya masing-masing. Setidaknya tercantum ada COSO (Committee of the Sponsoring Organizations, COBIT ( Control Objective for Information and related Technology), SARBOX (Sarbanes-Oxley Act ), ISO (International Organization of Standardization) 17799 , dan BASEL II.

Dari pilihan-pilihan tersebut tampaknya COBIT dapat menjadi sebuah alternatif terbaik yang dapat digunakan dalam mempersiapkan SIM-TI yang digunakan dalam menyongsong pelaksanaan Jamkesta yang akan datang.
Dalam COBIT dikenal empat domain besar yang perlu diperhatikan yaitu : Perencanaan dan organisasi (plan and organise), Pengadaan dan implementasi (acquire and implement), Pengantaran dan dukungan (deliver and support) serta Pengawasan dan evaluasi (monitor and evaluate).
COBIT yang dikembangkan oleh Information System Audit and Control Association (ISACA) melalui lembaga yang dibentuknya yaitu Information and Technology Governance Institute (ITGI) pada tahun 1992 cukup komprehensif dalam pelaksanaan sistem Asuransi Kesehatan Nasional (AKN) di negeri ini.

Skenario TI : menunggu momentum

Pertanyaan berikutnya setelah menyadari bahwa kebutuhan akan TI sebagai sebuah keharusan dan “memilih” COBIT sebagai kerangka berpikir dalam mempersiapkan segala sesuatunya dalam , maka kapankah saat yang tepat untuk memulai pekerjaan yang sangat penting ini?

Kelahiran UU BPJS ( Undang-Undang Badan Penyelanggara Jaminan Sosial) yang sampai sekarang sedang digodok oleh DPR memang mempunyai arti yang cukup strategis dalam pengembangan TI yang dibutuhkan.

Keputusan apakah nantinya akan dikembangkan satu badan penyelenggara saja sebagai pembayar (single payer) ataupun lebih dari satu badan penyelenggara jaminan kesehatan (multi payer) yang direpresentasikan oleh UU BPJS itu maka keberadaan SIM-TI sebagai salah satu pendukung Jamkesta tetap tidak akan tergoyahkan.

Skenario kebutuhan TI pertama pada kondisi BPJS tunggal sudah tergambar seperti pada PT Askes sekarang dengan bridging system-nya walaupun tentu berbeda pada besaran dan kompleksitasnya. Sementara bila UU BPJS menetapkan ada lebih dari satu badan penyelenggara yang tersebar di pusat (BPJS pusat) maupun daerah (BPJSD) maka SIM –TI justru akan berperan sebagai “ pengikatnya” sebagai skenario kedua.

Konsep Jaminan Kesehatan Daerah dengan Skema Desentralisasi Terintegrasi - seperti rancangan Prof.dr. Ali Ghufron Mukti, MSc, PhD, dari UGM Y - akan menjadi sangat efektif bila TI yang diterapkan nantinya akan menjadi salah satu faktor yang berkontribusi besar pada hal pengintegrasian sistem tersebut. Hal ini dapat dianalogikan dengan yang berlaku pada banyak lembaga perbankan yang berhasil mengintegrasikan sistem yang berbeda dengan sebuah model kartu ATM beserta perangkatnya yang dapat digunakan secara bersama. Dengan sebuah kartu peserta -produk dari sebuah SIM –TI, maka prinsip portabilitas – keberlanjutan pemberian jaminan kesehatan walaupun peserta berpindah tempat, pekerjaan bahkan BPJSD sekalipun asalkan masih di wilayah NKRI akan tetap dapat terjaga.

Sehingga apapun keputusan yang keluar dari Senayan mengenai UU BPJS, tetap dapat dengan segera ditindaklanjuti dengan rancangan SIM – TI yang paling tepat. Maka kombinasi beberapa prinsip penyusunan informasi yaitu kualitas (quality), tanggung jawab (fiduciary responsibility) dan keamanan (security) yang dihasilkan COBIT dan diterjemahkan menjadi efektifitas, efisiensi,kerahasiaan, integritas, ketersediaan, kepatuhan dan keandalan justru akan menjadi semakin “kaya” dengan fungsi teknologi informasi yang menjadi faktor “pengintegrasi “ sistem yang berbeda tanpa menghilangkan karakteristik daerah yang ada, bila kondisi multi payer yang terjadi. Semoga.

Diskrimasi ODHA, perlukah ?

DISKRIMINASI TERHADAP ODHA, PERLUKAH?
Beberapa waktu yang lalu di media massa dikabarkan pasien HIV yang dikenal sebagai ODHA (Orang dengan HIV AIDS) diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi. Bahkan sampai diusir dari lingkungan tempat tinggalnya.
Ada lagi cerita dari beberapa daerah yang menganggap pemulangan ODHA ke daerah asalnya sebagai penyelesaian masalah HIV/AIDS di daerahnya. Kebanyakan penderita yag menyandang sebagai ODHA – kebetulan dari kalangan yang beresiko- akhirnya diberi “pesangon” berupa tiket dan uang sekedarnya dengan tujuan supaya mereka meninggalkan daerah tersebut.
Perkara apakah hal tersebut dapat menyelesaikan masalah atau tidak dan menjamin bahwa si penderita tidak akan kembali,ke tempat tersebut menjadi persoalan lain yang tidak perlu dipikirkan pada saat ini. Yang jelas akan muncul pertanyaan lain, bagaimana nanti bila suatu ketika orang asli daerah tersebut diketahui menderita penyakit yang sampai sekarang belum bisa disembuhkan itu?
Ungkapan dari banyak anggota masyarakat pada beberapa kesempatan seperti seminar maupun symposium tentang HIV/AIDS juga menunjkkan hal senada. Seorang yang cukup terpelajar malah sempat mengungkapkan bahwa kenapa ODHA tidak ditangkap saja? Lantas akan dimasukkan penjara dan persoalan menjadi selesai, karena pasti tidak bisa menularkan lagi. Itulah sekilas gambaran yang ada dalam benak masyarakat kebanyakan.
Cerita tentang ODHA yang diperlakukan buruk bahkan cenderung melanggar hak asasi manusia sudah sering terjadi. Pemberian stigma atau cap buruk merupakan tindakan memvonis bahwa penderita mendapatkan penyakitnya karena buruknya moral dan perilakunya itu. Orang yang diberi stempel buruk itu biasanya dianggap memalukan untuk alasan tertentu dan sebagai akibatnya biasanya akan adipermalukan, dihindari, didiskreditkan dan akan ditolak dan pada akhirnya akan dianggap membawa sial sehingga pantas bila diusir dari rumah dan kampung halamannya.
Diskriminasi atau perlakukan tidak adil didefinisikan oleh UNAIDS ( Program bersama HIV/AIDS dan PBB) sebagai tindakan yang disebabkan perbedaan,menghakimi terhadap orang berdasarkan status HIV mereka. Diskriminasi dapat terjadi di segala bidang seperti kerahasiaan, kebebasan dan keamanan pribadi, perlakuan kejam, penghinaan atau perlakuan kasar, pekerjaan, pendidikan dan lain-lain.
Selama ini muncul persepsi di masyarakat bahwa orang-orang yang terkena HIV/AIDS otomatis adalah wanita tuna susila maupun pelanggannya, para lelaki suka lelaki (LSL), lesbian, para penyalahgunaan narkoba pengg una jarum suntik ( IDU) dan orang yang punya tattoo maupun tindik di berbagai bagian tubuhnya.
Padahal seperti diketahui bahwa penularan HIV/AIDS adalah tidak hanya dengan pertukaran cairan kelamin atau darah saja, tetapi juga transmisi dari ibu ke anaknya. Sehingga walaupun data menunjukkkan bahwa penularan terbesar ada pada orang dengan perilaku berisiko, tetapi jangan lupa berapa banyak bayi dan anak yang tidak berdosa juga tertular HIV dari ibunya yang positif.
Ibunya mungkin juga seorang ibu rumah tangga biasa yang tidak tahu bahwa suaminya adalah ODHA karena perilaku masa lalunya. Atau mungkin juga penderita tertular karena perlakuan non medis yang tidak steril seperti pangkas rambut rambut pria yang memakai pisau silet yag tidak berganti-ganti.
Tindakan medis seperti pemakaian alat yang berganti-ganti seperti jarum untik maupun pemberian darah yang tidak diskrining HIV/AIDS- pada masa lalu- sangat mungkin sekali sebagai penyumbang penyakit ini. Mungkin juga penderita adalah justru para praktisi kesehatan sendiri yang walaupun telah berhati-hati tetap tertusuk jarum saat merawat ODHA lainnya. Atau petugas kebersihan di rumah sakit yang secara tidak sengaja terpapar darah penderita. Atau sekian anyak orang baik-baik lain yang dapat tertular penyakit yang dikonotasikan dengan penyakit kutukan itu.
Penularan HIV Berbeda dengan Influenza
Walaupun HIV / AIDS termasuk penyakit menular yang cukup berbahaya, namun melihat cara dan media penularannya maka penanganan HIV /AIDS sangat berbeda dengan penularan infeksi lain seperti pada pandemi influenza.
Influenza pada manusia adalah penyakit saluran pernapasan akut yang dapat menular lewat udara. Kegiatan batuk dan bersin dapat menularkan saat itu juga. Flu Spanyol, flu Hongkong pada beberapa waktu yang lalu dan flu Singapura serta flu babi yang sekarang diindikasikan dapat ditularkan manusia dengan manusia juga mempunyai cara penularan yang sangat berbeda dengan HIV/AIDS.
Sehingga pada waktu terjadi pandemi influenza akan dilakukan isolasi,karantina ketat bahkan penghentian kegiatan-kegiatan publik seperti sekolah, kegiatan sosial dan lain-lain. Pemakaian Alat pelindung diri ( APD) lengkap dengan masker, kacamata sarung tangan, baju plastik sekali pakai dan kaos kaki memang biasa dipakai pada saat merawat penderita flu yang cukup mematikan ittu.
Namun dengan ODHA kita bisa saling berjabat tangan, makan bersama, berpelukan tanpa perlu khawatir tertular. Pada kasus –kasus HIV/AIDS yang perlu dilakukan oleh semua pihak yang berinteraksi adalah penerapan kewaspadaan umum saja. Selebihnya tidak perlu. Isolasi, karantina, pengucilan, pembuangan, pengusiran dan sejenisnya sama sekali tidak dapat menyelesaikan kasus.

Perawatan, dukungan dan Pengobatan lebih diperlukan
Beberapa daerah yang melakukan tindakan memulangkan ODHA sebagai satu-satunya alternative dapat diibaratkan membuang sampah ke tengah laut dimana hanya akan memindahkan sampah ke tempat lain, bahkan bisa jadi akan kembali ke daerahya.
Semestinya penderita yang ada dikelola, dengan cara diberi perawatan, dukungan dan pengobatan sehingga akan dapat terus produktif sambil diberikan bekal-bekal untuk mengubah gaya hidupnuya ( khusus pada penderita dari kalangan berrisiko). , Dan pemberian bekal-bekal pengetahuan supaya tidak menularkan pada orang lain termasuk pada pasangannnya yang sah, suami atau istrinya.
Pada masyarakat dengan perilaku beresiko diarahkan untuk melakukan konsultasi dan tes darah di klinik VCT ( Voluntary Counseling and Testing) yag sudah ada sehingga status HIV nya akan lebih cepat diketahui.
Pemberian stigma buruk serta adanya diskriminasi selain tidak menyelesaikan permasalahan, bisa-bisa justru akan menanamkan bibit-bibit dendam pada penderita. ODHA yang sakit hati dapat dengan sengaja menularkan pada masyarakat yang sehat seperti yang disukan beberapa waktu yang alu.
Stigma dan diskriminasi pada ODHA justru akan merugikan upaya-upaya pengendalian HIV/AIDS itu sendiri. Sehingga mari beri dukungan bagi mereka yang membutuhkan !!

ayo, kenali potensi bencana di sekitar kita !!

AYO KENALI POTENSI BENCANA DI SEKITAR KITA!!
Pada akhir Desember tahun 2004 lalu terjadilah tsunami yang menyebabkan ratusan ribu jiwa melayang serta porak porandanya Aceh dan Sumut pada waktu itu. Detik-detik bagaimana dahsyatnya gelombang air yang mampu menggulung apa saja yang ada di hadapannya menjadi sebuah “peristiwa hidup” yang terekam oleh para pemberani. Rekaman itu dipancarkan oleh stasiun televise dan menjadikan peristiwa tersebut juga terekam secara kuat dalam memori kita semua, bagaimana kedahsyatan sebuah bencana. Sejak saat itulah “ bencana “ menemukan momentumnya. Bencana menjadi sesuatu yang layak untuk dipelajari.
Bencana didefinisikan oleh Badan Koordinanasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PBP) sebagai peristiwa yang disebabkan alam / ulah manusia atau keduanya yang mengakibatkan korban, penderitaan manusia, kerugian harta benda, lingkungan, sarana dan prasarana serta menimbulkan gangguan terhadap tata kehidupan masyarakat . Bencana yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari adalah mulai dari skala kecil sampai yang besar.
Dalam kurun waktu setelah bencana tsunami di Aceh sampai sekarang, sudah terjadi banyak sekali bencana seperti gempa bumi yang meluluhlantakkkan Jogjakarta, gelombang besar yang menghantam pantai selatan Pulau Jawa, letusan gunung Merapi, dan lain-lain. Beberapa bencana alam (natural disaster) seperti banjir, longsor juga terjadi di banyak daerah. Tidak ketinggalan juga bencana karena ulah manusia (man made disaster) seperti kecelakaan transportasi pesawat yang tergelincir, terbakar, jatuh bahkan hilang. Belum lagi tenggelamnya beberapa kapal dan kecelakan massal di darat yang sulit jika diinventaris satu persatu, karena sangking banyaknya. Selain hal tersebut, maka bencana karena manusia juga meliputi kegagalan teknologi ( seperti meledaknya pabrik Petrokimia di Jawa Timur, bocornya reaktor nuklir di banyak negara dan lain-lain). Kebakaran hutan yang sering terjadi di Pulau Kalimantan dan Sumatera sering menyebabkan kabut asap yang dampaknya juga menyeberang sampai negeri tetangga.
Kedaruratan kompleks / perang/ konflik seperti konflik sosial ( konflik yang mengatasnamakan SARA) dan terorisme adalah sebagai bencana yang dibuat dan dirancang oleh manusia.
Satu hal lagi bahwa bencana lingkungan akibat perubahan iklim global juga sedang mengancam. Kenaikan suhu bumi yang menyebabkan mencairnya es di kutub yang pada gilirannya menyebabkan kenaikan beberapa centimeter permukaan air laut pada akhirnya menyebabkan banjir di mana-mana bahkan terendamnya beberapa kota di dunia. Pada bencana ini , juga tampak jelas adanya peran manusia yang menyumbang gas buang yang menyebabkan efek rumah kaca ini.

Buat Peta rawan Bencana di Tiap Daerah
Seperti diketahui bersama bahwa letak sebagian wilayah Indonesia adalah di pertemuan lempeng-lempeng bumi yang dapat menyebabkan gempa bumi dengan diikuti atau tidak dengan tsunami, merupakan ancaman setiap saat bagi daerah di sepenjang pantai barat sumatera, pantai selatan pulau Jawa,, Bali, nusa Tenggara dan sebagian Pulau Sulawesi dan Maluku. Tentu saja daerah yang terletak di daerah-daerah itu harus selalu bersiap dengan kemungkinan bencana gempa bumi dan tsunami.
Demikian juga potensi bencana yang lain juga harus diinvenrtarisir dengan baik. Daerah dengan pemukiman yang padat sangat rawan dengan bencana kebakaran. Daerah dengan keragaman etnis dan budaya juga harus selalu terjaga dari hal-hal yang dapat menyebabkan kedaruratan kompleks yang sangat tidak kita harapkan. Potensi kerusuhan berbasis SARA (suku, agama, ras dan aliran) kadang-kadang masih muncul karena dipicu oleh permasalahan yang sangt sepele, walaupun pada akhirnya seringnya dibuktikan bahwa ternyata masalah kesenjangan ekonomilah yang menjadi penyebabnya.
Daerah yang terletak dekat dengan perbatasan wilayah Negara lain seperti beberapa kabupaten di Kalimantan timur, Kalimantan Barat juga sangat memungkinkan untuk menjadi tujuan sementara bila adanya “ pengusiran” atau apa pun namannya sebagai bentuk penertiban warga Negara kita yang berdomisili secara illegal di Negara jiran kita.
Ancaman penggundulan hutan yang terus terjadi yang dilakukan oleh orang=-orang yang bertanggung jawab tetap saja terjadi. Dengan kemampuan yang sangat luar biasa dimana kabarnya dalam waktu satu menit akan menghilangkan luas hutan seluas lapangan sepakbola mak aancaman dari naiknya suhu bumi ( global warming) sudah sangat dekat.
Dengan mengenali dan menginventarisir potensi ancaman bencana disekitar kita maka kita sendiri akan berusaha untuk mencegahnya- tentu saja jika bencana itu dalam kendali manusia. Namun paling tidak hal tersebut juga dapat memepersiapkan secara psikologis untuk menghadapinya. Penilaian risiko masing-masing bencana berdasarkan pada faktor bahaya yang meliputi frekuensi kejadian, intensitas, dampak, keluasan dan tenggang waktu terjadinya masing-masing bencana.
Kerawanan yang terbagi menjadi kerawanan fisik , sosial dan ekonomi yang ditimbulkan dalam akibat bencana tersebut juga mempunyai nilai tersendiri dalam penilaian risiko. Penilaian risiko juga dilihat dari ada tidaknya manajemen bencana tersebut, serta kesiapsiagaan maupun peran serta masyarakat dan lain-lain. Maka potensi bencana yang tersebar adal;ah potensi bencana yang paling tinggi skornya yang berarti juga bencana yang paling mungkin terjadi di wilayah tersebut.
Sedangkan peta rawan bencana adalah gabungan natara potensi bencana yang digambarkan pada peta wilayah yang sudah ada. Dari peta bencana akan terlihat daerah pesisisr pantai dimana tekstur bangunan kebanyakan dari kayu, pemukiman padat dan dengan jalan-jalan sempit itulah kemungkinan munculnya bencana kebakaran yang sangat tinggi. Dengan sendirinya maka desa atau kelurahan yang mempunyai cirri seperti itu masuk dalam peta bencana khusus kebakaran. Demikian juga lahan kritis yang m\nmungkinkan terjadinya longsor juga kan lebih udah diidentifikai dengan adanya peta bencana.
Dengan adanya data potensi bencana ancaman bencana beserta peta rawannya maka diharapkan akan memunculkan konsep penanggulangan bencana yang matang sebelum terjadi.
Manajemen bencana
Pada saat ini kebijakan dan strategi penanggulangan masalah kedaruratan dan bencana mengalami perubahan paradigma. Dulu setiap bencana yang diperlukan hanya tanggap darurat dan rehabilitasi dimana bantuan darurat yang bertujuan meringankan korban, kerusakan dan mempercepat proses pemulihan (recovery). Sekarang kejadian bencana akibat ulah manusia dapat dicegah dan diantisipasi sejak dini. Upaya mitigasi sebagai cara mengurangi dampak yang terjadi akibat bencana pada manusia maupun kesiapsiagaan menjadi hal yang harus diupayakan dan dipersiapkan. Termasuk disini adalah koordinasi pihak-pihak yang terkait dalam penanggulangan bencana.
Sehingga konsep penanggulangan bencana terbaru didasarkan pada siklus manajemen bencana yang terbagi menjadi 3 bagian besar yaitu : tahap sebelum bencana, saat terjadi bencana dan sesudah bencana. Pada keadaan sebelum bencana bisa dilakukan peringatan dini, pencegahan maupun mitigasi ( penjinakan). Pada saat terjadi bencana maka upaya pokoknya adalah mencari, menolong, menyelematkan korban dan memberikan bantuan bagi korban yang hidup dan mati (berlangsung sejak bencana sampai dengan 6 bulan sesudahnya). Sedangkan tahap pasca bencana adalah dengan rehabilitasi ( 6 bulan - 12 bulan pasca bencana), rekonstruksi sarana dan parasarana dan memulihkan kegiatan pemerintah dan roda perekonomian yang kadang kadang berjalan dsampai dengan 5 tahun pasca bencana.
Hal-hal yang diharapkan dari perubahan pola penanggulangan bencana – dimana konsepnya menhjadi sangat mirip dengan paradigma sehat pada duia kesehatan ini antara lain : masyarakat yang sadar bencana pada akhirnya akan mendorong kemandirian masyarakat lain untuk lebih akrab dengan upaya pencegahan dan kesiapsiaagaan. Karena bagaimanapun juga masyarakat yang dekat yang terkena bencana beserta masyarakat di sekitarnya itulah yang bisa diharapkan untuk menangani penderita gawat darurat pada fase pra rumah sakit, sampai kemudian datangnya tenaga-tenaga yang lebih profesional baik dari satuan pelaksana (satlak) dan satuan koordinasi pelaksanaan ( satkorlak) PBP maupun dari tenaga kesehatan.
Pembentukan desa siaga – sebagai salah satu program unggulan kementrian kesehatan dan cikal-bakal menuju Indonsia Sehat – juga menjadikan program tanggap darurat bencana (safe community) sebagai salah satu komponen yang harus ada. Program desa siaga bisa menjadi pintu masuk bagi program sadar bencana. Dan pada akhirnya diharapkan akan dapat mewujudkan kegiadap bencana yang bersifat antisipatif terhadap bencana yang mungkin terjadi pada daerah masing –masing.
Apabila hal ini sudah ada kolaborasi antara dinas yang menangani kondisi bencana dengan program desa siaganya dinas kesehatan maka penanggulanagn bencana dan penanganan pengungsi – seandainya bencana terjadi - maka dapat dilakukan dengan lebih baik lagi.
Setelah secara fisik disiapkan upaya-upaya pencegahan dan mitigasi bencana ( baik lewat peraturan, koordianasi dll) maka perlu membangun persiapan mental masyarakat dengan upaya-upaya yang mengarah pada sadar bencana maka jangan lupa, salah antisipasinya adalah dengan … berdoa!!. Karena kita menyadari adanya invisible hand di balik semua peristiwa yang ada di muka bumi termasuk kejadian bencana ini. Ya Allah, jauhkan kami dari dari bencana dan marabahaya….. Amien.

5R

Sistem 5 R : Membuat Puskesmas Menjadi "Beda"….
Di atas meja kerja terlihat berserakan kertas, Sebagian sudah diremas-remas menggumpal memenuhi sudut meja. Ada juga tumpukan koran lama yang terlihat sudah berdebu diletakkan di bawah meja. Ada laci yang terbuka dimana di dalamnya terlihat berdesakan ada pulpen yang sudah tidak ada isinya, ada tutup pulpen yang sudah kehilangan ' jodohnya', ada staples yang sudah rusak, ada struk belanja kemarin di sebuah toko, ada juga tas plastik yang bergumpal-gumpal menyesaki laci.
Pernahkah melihat suasana kantor puskesmas atau kantor lain yang demikian ? Belum lagi ditambah dengan seringnya kesulitan mencari dokumen / barang pada saat diperlukan. Memang tidak hilang mungkin hanya terselip, tetapi untuk mencari dibutuhkan waktu yang tidak sedikit. Banyak waktu yang terbuang dan sama sekali tidak efisien.
Sebenarnya ada sebuah manajemen yang mengatur dan mengurus hal - hal demikian. Sebuah kaidah yang cukup bagus dari negeri Jepang dalam pengaturan, pemeliharaan sebuah rumah yang dapat juga dipakai untuk tempat lain maupun kantor. Kaidah housekeeping tersebut adalah 5 S yaitu : Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu dan Shitsuke yang sudah diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi 5 R yaitu ( Ringkas , Rapi, Resik, Rawat dan Rajin).
Selain hal tersebut dalam konsep 5R juga terdapat semangat kerja tim. Aktivitas – aktivitas dalam 5R secara kualitatif akan mengubah cara berpikir dan perilaku anggota organisasi di dalamnya. Sehingga perubahan ini akan menghasilkan peningkatan kualitas dan pemeliharaan peralatan kerja serta lingkungannya.
Sejalan dengan keadaan tersebut, Bapak Walikota Tarakan dalam satu kesempatan mencanangkan tahun ini menjadi tahun kerapian. Rapi yang notabene merupakan salah satu komponen dalam sistem 5 R merupakan kata sifat dan menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia berarti tidak acak-acakan, baik, teratur, bersih, apik, tertib, serba beres dan menyenangkan. Pendek kata rapi merupakan "hasil akhir " untuk menyatakan bahwa penampilan / performance suatu kantor jadi "berbeda". Berbeda di sini berarti tidak sama dengan kondisi kantor kebanyakan yang cenderung apa adanya dan tidak memiliki sistem pengaturan. Sehingga sudah seharusnya jika konsep 5 R menjadi " menu wajib" semua tempat kerja, tanpa kecuali.
Di Negara Jiran kita, Malaysia, sistem 5 S yang ditiru dari Negara Matahari Terbit itu malahan menjadi standar mutu tersendiri. Di sana 5S diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu berurutan menjadi Sisih, Susun, Sapu, Seragamkan, dan Senatiasa amalkan. Di Malaysia, seperti yang penulis saksikan sendiri bahwa semua instansi kesehatan yang dikunjungi sudah mengamalkan 5 R ini. Yang jelas 5 R membuat kantor yang dari luar terlihat sederhana atau bahkan bangunan lama tetapi didalamnya justru sangat teratur, bersih, rapi dan yang jelas akan memuaskan pelanggan.
Selain menjadi bagian dari mutu tersendiri, ternyata 5R juga diperlombakan baik di peringkat negeri maupun peringkat Negara. Sehingga dengan adanya pertandingan (kejohanan) tersebut akan memacu semua fasilitas kesehatan baik klinik kesehatan, Klinik kesehatan Ibu dan Anak, rumah sakit dan kantor dinas kesehatan untuk berbenah dan mengikuti lomba dan dengan sendirinya proses 5R di instansi tersebut juga akan diusahakan untuk diterapkan.
Sementara di tempat kita kadang-kadang justru sebaliknya. Dari luar tampak kantor yang berdiri megah, namun penataan di dalamnya seringkali tanpa konsep housekeeping yang baik. Sehingga gambaran seperti di awal tulisan ini menjadi sesuatu yang jamak.
Berawal dari kecemburuan melihat kondisi negeri Jiran - yang umurnya lebih muda dari bangsa kita, dengan konsep mutu yang diterapkan sudah lebih maju- maka konsep 5 R yang sudah terbukti membawa negeri asalnya yakni Jepang maupun pengikutnya seperti Malaysia menjadi negara yang sangat baik penataan kantornya, menjadikan adanya keinginan untuk mensosialisasikan konsep yang sangat efisien ini untuk diterapkan di tempat kerja masing-masing.

5R itu…..
1. Ringkas ; Seiri ( Jepang) ; Sisih ( Malaysia),
Menyisihkan dan memisahkan barang-barang yang masih berguna dan yang sudah harus dibuang maupun disingkirkan. Kadang –kadang kita merasa sayang akan membuang barang tersebut. Karena sering kita berpikir bahwa barang tersebut akan ada gunanya di lain waktu. Tetapi kenyataannya, jarang sekali barang tersebut dipakai kembali. Dalam seiri, terdapat satu tempat untuk semua barang dan setiap barang dianggap mempunyai tempatnya masing-masing.
2. Rapi ; Seiton ( Jepang ) ; Susun ( Malaysia)
Barang akan disusun berdasarkan fungsi. Bila perlu dapat menambahkan warna yang berbeda pada setiap tempat. Pada barang-barang yang mempunyai kedudukan yang tetap dapat diberi batas / label disekitarnya sehingga bila barang tersebut berpindah tempat akan cepat diketahui. Semua barang harus diberi label untuk memudahkan identifikasi. Seiton juga mengharuskan barang yang dipinjam harus dikembalikan pada tempat semula
3. Resik / Bersih : Seiso ( Jepang) ; Sapu ( Malaysia)
Pada kegiatan ini prinsipnya adalah kebersihan harus dijaga. Untuk menjaga kebersihan ini ada 3 tahap yaitu tahap pertama dimana kebersihan akan dilakukan secara menyeluruh. Pada tahap selanjutnya hanyalah tahap pemeliharaan yaitu Seiso harian yang dikerjakan kurang lebih 5 menit dalam sehari. Dan selanjutnya adalah Seiso berkala seperti mingguan atau bulanan. Di tempat kita sudah dilakukan seperti Jumat Bersih. Pada Seiso terlihat bahwa kebersihan tempat kerja bukan hanya tangung jawab seorang petugas Cleaning Service (CS) saja. Tetapi tanggung jawab semua petugas termasuk manajemen puncak.
4. Rawat ; Seiketsu ; Seragam :
Yaitu dari segi visual dan juga adanya standarisasi. Misalnya untuk menempatkan file kepegawaian akan dirawat dengan baik. Di beri warna yang sama untuk membedakannya dengan file barang misalnya.
5. Rajin ; Shitsuke ; Senantiasa amal :
Pada prinsipnya adalah pembentukan kebiasaan petugas yang berdisiplin dan taat pada ketentuan yang telah disepakati.

Mudah dan Murah
5R adalah pekerjaan yang " ketok mata" - istilah dalam bahasa Jawa yang secara leksikal berarti " kelihatan oleh mata" - yang menggambarkan hal atau pekerjaan yang sangat mungkin untuk dilakukan karena tidak ada kesulitan yang berarti. Semua tergambar dengan jelas. Sehingga sangatlah mudah untuk dilakukan. 5R juga relatif tidak memakan biaya / murah. Namun demikian tetaplah ada masalah yang sering muncul dalam pelaksanaan 5R - sama seperti dalam menerapkan Sistem Manajemen Mutu lain- seperti kurangnya komitmen petugas sendiri ( terutama pegawai baru yang belum tahu) maupun beban kerja program yang meningkat yang menjadikan 5 R kadang agak terabaikan.
Yang dibutuhkan dalam pelaksanaan 5R hanyalah komitmen saja. Komitmen untuk berubah ke arah yang lebih baik. Jadi untuk semua petugas maupun pimpinannya untuk memilih : ya atau tidak. Bila Ya, maka selamat ber-5R !! Dan Puskesmas / kantor tempat Anda bekerja pasti akan tampil beda........

( Radar Tarakan, 2008)

Tuesday, May 25, 2010

Perlunya Biaya Mutu Baik ( cost of good quality) dalam Penyusunan Anggaran Kesehatan

STRATEGI PEMASARAN :
PERLUNYA BIAYA MUTU BAIK (COST OF GOOD QUALITY)
DALAM PENYUSUNAN ANGGARAN KESEHATAN
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi

Pendahuluan
Mutu pelayanan kesehatan menjadi sesuatu yang niscaya dalam pemberian pelayanan yang menjadi salah satu kebutuhan primer ini. Namun, dalam kenyataannya masalah mutu masih menjadi sesuatu yang terabaikan. Banyaknya kasus malpraktik yang terungkap di media misalnya, menunjukkan mutu layanan kesehatan menjadi sesuatu yang seolah-olah tidak dapat dijangkau. Sebuah hasil pengamatan pada layanan publik dalam hal ini RS yang melayani pasien miskin, menunjukkan bahwa masalah yang berkaitan dengan mutu masih menjadi pekerjaan rumah yang cukup berat. Karena sebanyak 74,9 % pasien mempunyai keluhan di RS mulai dari administrasi yang berbelit-belit, ruang tunggu yang tidak nyaman, kotornya kamar mandi / toilet/wc sampai pada sikap petugas yang kurang baik. Dan hanya 25,1 % saja yang merasa tidak ada keluhan.
Mutu layanan kesehatan selalu dikonotasikan menjadi sesuatu yang mahal. Pelayanan murah, apalagi gratis seperti di Puskesmas dianggap tidak tidak perlu bermutu. Hal tersebut dianggap oleh sebagian kalangan menjadi sesuatu yang selayaknya. Poor quality for poor community. Dan sebaliknya sesuatu yang mahal selalu lebih baik mutunya.
Permasalahan mutu layanan kesehatan menurut sebagian kalangan sebaiknya dibicarakan pada saat masalah akses ( keterjangkauan) dan pembiayaan sudah terselesaikan. Tapi disisi lain bila dalam mewacanakannya juga harus urut kacang seperti itu maka masalah mutu menjadi semakin jauh untuk dapat tercapai. Pada sudut pandang yang lain dikatakan bahwa mutu juga sudah selayaknya masuk dalam prioritas wacana bahkan anggaran sekalipun. Sebab dalam teorinya di Negara mana pun juga maka masalah akses dan pembiayaan kesehatan tetap menjadi masalah sampai sekarag ini. Sehingga kapankah saat yang tepat untuk membicarakan mutu ? Sebelum terlambat, maka masalah mutu menjadi sesuatu yang “lebih cepat lebih baik”
Mutu dan Biaya Mutu :
Permasalahan mutu dengan biaya mutunya memang menjadi fenomena yang sangat menarik. Di satu sisi biaya mutu didefinisikan sebagai biaya yang dikeluarkan untuk dapat meraih mutu yang baik (good quality). Di sisi lain, biaya mutu dianggap juga sekaligus untuk membiaya kegagalan (poor quality). Yang sebenarnya terjadi adalah walaupun ada hubungan antara biaya mutu pada input dengan mutu pada output, tetapi hubungan tersebut tidaklah bersifat parallel. Makin tinggi biayanya, maka paling berkualitaslah produk yang dihasilkan adalah sebuah salah kaprah yang membuat istilah mutu menjadi “ ditakuti”.
Seorang ahli mutu Philip Crosby, menyatakan bahwa selain biaya mutu memang diperlukan dalam membangun mutu namun sejatinya mutu yang baik cenderung akan menghasilkan biaya yang murah bahkan gratis, seperti dalam bukunya Quality of Free. Kok Bisa ?
Dalam membangun mutu sesungguhnya biaya mutu baik yang dikeluarkan dapat dianggap sebagai biaya investasi. Biaya yang meliputi pencegahan dan penilaian sebagai kelompok biaya mutu baik misalnya adalah pemberian alat penyeteril yang standar di puskesmas. Pada awalnya memang terkesan mahal. Tetapi sesungguhnya dalam jangka panjang akan menjadi lebih murah dibandingkan kerugian pada saat orang taruhlah diberi tindakan cabut gigi dengan alat yang sama sekali tidak steril. Jadi biaya yang seperti demikianlah adalah sebuah “ keharusan” bagi organisasi layanan kesehatan yang mempunyai kecenderungan untuk menerapkan mutu.
Dalam situasi dimana penularan penyakit lewat darah seperti HIV/AIDS sangatlah mencemaskan akankah dianggap sebuah kewajaran bila pelayanan kesehatan justru menjadi salah satu andil dalam meningkatkan penyebaran penyakit ini. Sehingga biaya yang dikeluarkan untuk investasi untuk pembelian alat penyeteril jauh lebih rendah daripada bila sekian orang tertular penyakit akibat tidak sterilnya alat yang dipakai. Dan tentu saja dalam jangka panjang maka pengeluaran untuk pembelian alat itu malah jauh lebih menguntungkan daripada memakai peralatan yang tidak standar dengan risiko penularan berbagai penyakit .
Mutu Layanan Kesehatan dalam Universal Coverage
Dalam dunia pembiayaan kesehatan, asuransi kesehatan adalah sebuah konsep yang dianggap paling dapat menggabungkan antara kendali biaya dengan kendali mutu . Namun mutu dalam asuransi kesehatan selama ini baru dapat dinilai dari kegiatan utilization review, yang mencermati data kunjungan dan utilisasi dari sebuah pelayanan kesehatan. Belum menyentuh mutu untuk sebuah kepentingan pelanggan, namun baru untuk kepentingan dari pengendalian pembiayaan.
Dalam menyongsong Universal Coverage pada 2014, kondisi dimana semua penduduk akan terlindungi oleh asuransi kesehatan, maka akan bermunculan sekian ribu fasilitas kesehatan termasuk Puskesmas sebagaimana digambarkan dalam peta jalan yang disusun Kementrian kesehatan. Sehingga mau tidak mau bahwa Kemenkes juga harus memfasilitasi regulasi fasilitas kesehatan yang akan bermunculan tersebut dan diharapkan kemudahan akses yang ada tidak menjadi bumerang karena mutunya yang asal-asalan.
Biaya mutu dapat menjadi sebuah “alat” untuk mengukur apakah sebuah fasilitas kesehatan memperhatikan mutu Biaya mutu juga akan menilai sejauh mana komitmen manajemen puncak terhadap mutu. Apakah diimpleementasikan dalam sebuah pembiayaan / pengangggaran mutu ataukah tidak.

Strategi Pemasaran Biaya Mutu :
1. Segmentation
Dalam memasarkan hal-hal yang berhubungan dengan mutu maka yang penting ditekankan sebenarnya hal ini adalah menjadi kebutuhan konsumen yang menghendaki kepuasan dari organisasi layanan publik. Karena di tengah euphoria reformasi masyarakat sangat mudah menjatuhkan cap sebagai malpraktik yang kadang sangat merugikan walaupun sebenarnya isu tersebut perlu pembuktian lebih lanjut maka masalah mutu layanan kesehatan menjadi sesuatu yang cukup sensitive, sehingga perlunya sebuah mekanisme penilaian untuk menghindari hal-hal tersebut.
Mutu juga sangat erat kaitannya dengan profesi yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan yang cenderung berisiko tinggi seperti dokter, bidan, perawat dan tenaga kesehatan lain seperti farmasis, laboran, ahli radiologi dan lain-lain. Organisasi profesi juga perlu menetapkan prosedur yang dapat menjadi pegangan anggotanya di kala praktik. Namun organisasi profesi mengatur mutu layanan kesehatan yang berkaitan erat dengan keselamatan si pasien akan tindakan dokternya.
Asuransi bagi tenaga kesehatan selain dibutuhkan untuk mengantisipasi hal-hal demikian juga tetap diperlukan sehubungan persoalan mutu yang sedikit banyak juga berhubungan dengan subyektivitas pelanggan seperti kenyamaman, keramahan dan lain-lain.
Mutu layanan kesehatan juga menjadi kepentingan para pemodal / owner setiap layanan kesehatan. Karena dengan mutu yang buruk / dicitrakan buruk, maka secara langsung akan mempengaruhi kelangsungan organisasi tersebut. Pemodal justru akan mengalami kerugian bila kasus-kasus yang berhubungan dengan mutu layanan langsung bersentuhan dengan hukum.
Pemerintah dalam hal ini kemenkes di tingkat pusat maupun di tingkat daerah hendaknya mengalokasikan dana yang cukup bagi biaya perbaikan mutu layanan publik seperti puskesmas dan rumah sakit. Dan tentu saja regulasi juga harus ditingkatkan. Belajar dari Malaysia yang mengharuskan semua layanan kesehatannnya menerapkan Sistem Manajemen Mutu seperti sertifikasi ISO 9001 :2000 adalah wujud keberpihakan pemerintah dalam mewujudkan pelayanan yang bermutu di tiap jenjang pelayanan kesehatan yang ada,.
Memang bila dikehendaki sebuah penilaian dari pihak ketiga - untuk meraih sertifikat ISO 9001:2000- memanglah cukup mahal, walaupun banyak daerah seperti Kota Yogyakarta, kabupaten Sleman, Propinsi DKI Jakarta serta kota - kota di Kalimantan Timur seperti Tarakan, dan Balikapan, serta banyak kabupaten / kota yang pemerintah daerahnya sangat concern dengan mutu layanan kesehatan ini mampu melaksanakan penilaian dari pihak ketiga.

Tentu saja peranan yang terhormat anggota DPR maupun DPRD juga sangat vital dalam penganggaran mutu yang sejatinya juga dibutuhkan oleh layanan publik yang lain selain kesehatan. Namun bila biaya mutu yang baik juga sulit untuk disetujui oleh panitia anggaran legislatif dan eksekutif maka masalah mutu tetap dapat dicari jalan tengahnya dimana penilai tidak harus dari badan sertifikasi namun bisa saja dari Dinas Kesehatan setempat asalkan adanya konsistensi ke arah sana. Tidak ada yang mengharuskan proses tersebut adalah ISO 9001:2000. Ada pula sistem yang dapat diterapkan tanpa biaya yang sangat besar seperti Balanced Score Card (BSC).
2.Targeting
Kegagalan atas pemasaran biaya mutu selama ini adalah karena pemasar ide berusaha membidik pasar sasaran yang tidak jelas dan terlalu luas. Setelah melihat beberapa segmentasi pasar di atas kita dapat melihat targeting pasar secara spesifik. Mana yang lebih potensial dalam kemampuan untuk merealisasikan perlunya biaya mutu bagi layanan kesehatan. Dan permasalahan murtu kesehatan hanya akan dapat diselesaikan dengan sistem yang dapat memaksa semua pihak untuk berbenah pada hal-hal yang berkaitan dengan mutu tersebut. Sehingga targeting ide biaya mutu sebagai bahan masukan dalam peningkatan mutu layanan kesehatan dapat dibedakan menjadi berikut:
a). Pimpinan dari Kementian Kesehatan dan Dinas Kesehatan di propinsi maupun Kabupaten / Kota. Walaupun banyak yang sudah mencantumkan mutu sebagai strategi / misinya namun kenyataan komitmen tersebut belum lah cukup kuat karena tidak dibarengi dengan adanya dukungan pembiayaaan ataupun penganggaran mutu.
b). DPR, cara mempromosikannya adalah dengan diberi pencerahan bahwa masyarakat / pelanggan / konsumen yang otomatis adalah konstituen dari mereka adalah raja. Sedangkan tuntutan dari mereka adalah perbaikan mutu layanan kesehatan. Sekarang bahwa konsumen puskesmas yang terbesar masyarakat pemegang kartu jamkesmas. Apakah mutu hanya pantas diberikan bagi masyarakat mampu saja ? tidakkkah juga penting juga untuk konsumen puskesmas. Juga dihubungkan dengan kenyataan adanya kenaikan anggaran kesehatan dalam APBN dan APBD yang mestinya penggunaannya menjadi lebih baik kepada alokasi mutu bagi masyarakat luas. Tidak hanya sekedar pada aparat saja.
c). Tentu saja para pemilik modal / owner dari berbagai layanan kesehatan juga perlu disosialisasikan tentang biaya mutu. Karena bagaimanapun bahwa RS terutama sudah bergeser peranannya dari yang bersifat sosial menjadi industri kesehatan seperti sekarang ini maka biaya mtu juga sudah selayaknya disosialisasikan pada mereka semua sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah terhadap Puskesmas dan RS pemerintah miliknya
d). Peran media massa dalam membangun opini publik untuk sebuah biaya mutu sangatlah perlu. . Pemasaran kepada media ialah dengan cara memberikan berita yang dapat meningkatkan rating atau oplah. Bad news bagi sebagian orang adalah good news bagi media. Dugaaan malpraktik pada kasus pemberian obat kaki gajah sangat punya gaung di masyarakat setelah diangkat oleh media massa. Namun kadang-kadang masalah yang diangkat tidak sampai ke akar masalah dimana SOP maupun penerapannya yang butuh penjelasan yang menjadi akar permasalahan. Sehingga media massa dalam menangkap isu mutu juga harus dengan cerdas agar masalah mutu tersebut dan jenis penyakit dan penularannya yang justru sering menjadi terabaikan, teralihkan oleh isu yang hanya superficial saja. Begitulah kekuatan media. Sukses tidaknya program pemerintah seperti dalam Pekan Imunisasi Nasional, Kampanye Waspada Flu Burung dan lain-lain tergantung pada bagaimana media dapat mengemas hal tersebut. Demikian juga dengan biaya mutu.
e). Mendekati tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh media masa untuk menyuarakan mutu. Karena suara mereka sangatlah dihargai. Dan yang jelas bahwa suara mereka akan memepengaruhi lebih banyak orang lain untuk dapat sependapat dengan mereka.
f). Kepada orang-orang miskin / orang-orang yang telah mengalami trauma atas permasalahan mutu layanan kesehatan dimana kisahnya akan menghiasi dan akan menggugah media untuk memasarkannya kepada pengambil kebijakan.

3.Positioning
Positioning sebagai alat menanamkan dalam benak “in the mind” para pengambil kebijakan. Bagaimana meyakinkan para stake holder bahwa biaya mutu yang baik akan menjadi sebuah investasi. Bukan berarti hanya “memakan biaya”. Sehingga ide terseubt dirasakan dapat memberikan manfaat yang sangat penting bagi pembeli. Positioning sering menjadi salah karena ketidakjelasan menetapkan target pasar. Dan positioning juga bisa tidak kuat akibat kesalahan memasang atribut, sehingga lemah dalam menetapkan positioning statement
“Good quality for all”. Mutu yang baik layanan kesehatan untuk semua. Termasuk untuk si Miskin. Adalah bisa menjadi positioning mutu dan alat untuk mewujudkannya yaitu biaya mutu.
Dengan mutu layanan yang baik maka persiapannya untuk mewujudkan adalah dengan menganggarkannya dalam anggaran kesehatan yang ada. Maka kualitas dari Universal Coverage juga dipengaruhi oleh kualitas dari pemberi layanannya. Biaya mutu menjadi sangat penting di dalamnya.
Penutup :
Mutu layanan kesehatan adalah sebuah integrasi dari sebuah komitmen manajemen bersama dengan pemenuhan biaya dalam rangka pemenuhan infrastruktur yang dibutuhkan dalam sebuah layanan yang bermutu. Namun biaya mutu ada titiik optimummnya dimana pada saat kondisi infrastruktur sudah memenuhi syarat-syaratnya untuk dapat memberikan pelayanan maka biaya mutu adalah hadir untuk dapat memoles apa-apa yang kurang melalui proses manajemen mutunya. Sehingga biaya mutu yang cenderung akan membiayai kegagalan tidak termasuk di dalamnya. Biaya mutu yang minimal diperlukan dalam sebuah organisasi adalah biaya mutu yang berupa pencegahan dan penilaian, yang perlu dianggarkan dalam sebuah anggaran yang sedang berjalan.

Monday, May 24, 2010

Gagasan vs pencitraan

sebuah kekuatan baru telah lahir. gagasan lebih menakjubkan dibandingkan dengan pencitraan. Walaupun aku bukan pengikut partai tersebut, setidaknya telah lahir sosok muda yang telah lama dinantikan kelahirannya oleh segenap penghuni bangsa ini. Mudah-mudahan menjadi amanah. Dan akan semakin memeperkuat barisan orang-orang baik di negeri ini. doakan kami juga akan mengikuti jejak-jejak sang pendobrak ini. Mudah-mudahan negeri ini segera akan bangkit dari tidur panjangnya. ya ini hanya harapan yang " nasibnya" tergantung kita-kita juga. Bagaimana kita memaknainya. Bagaimana kita semua yang menjadikannya. sebuah kekuatan muda yang lahir hendaknya makin memperkuat barisan penyelamat yang sudah ada. Sang guru karakter bangsa Bang Ary G.A dengan ESQ nya, Anies Baswedan dengan semua kecemerlangannya, lembaga -lembaga, LSM, think thank pro rakyat dengan pemikirannya dsb,dsb. Ayolah bangun bangsaku. Dengan itu semua mudah-mudahan menjadi berkah bagi semua.

Sunday, May 2, 2010

kulihat kulitnya yang pucat, matanya terpejam sebentar menahan rasa sakit jarum yang menusuk kulitnya. 3 botol masing-masing 5 cc menampung darahnya. aku berusaha memalingkan mukaku menghindar dari pemandangan itu. Betapa sangat menyiksa, perasaan-perasaan buruk silih berganti mengejarku. ya allah, berilah kekuatan kepada Pangeran kecil kami. hidupnya menjadi kurang ceria sejak dia sering lemas. kesukaannya pada sepakbola menjadi sangat terhambat karenanya. pelajaran menjadi amat sulit baginya karena tentu darah yang ke otaknya menjadi berkurang.... Ya allah hanya engkaulah Sang Maha Penyembuh. hamba berpasrah kepadamu ya Allah...