Thursday, August 25, 2011

Mengapa Berobat Ke Singapura ?



Oleh :
Tri Astuti Sugiyatmi*
Sakit. Itulah alasan kepergian Nazaruddin ke Singapura, di awal pelariannya sebelum akhirnya ditangkap di Kolumbia beberapa waktu yang lalu. Alasan sakit itulah yang membuat politisi yang menjabat bendahara umum di partainya berniat untuk berobat di sebuah rumah sakit di negeri pulau itu. Singapura selama ini memang dikenal menjadi sebagai salah satu tempat yang cukup menarik sebagai “wisata kesehatan” selain Penang, Malaysia. Sehingga perginya orang kaya dari Indonesia ke sana, di anggap sangat wajar.
Namun sebagian kalangan menganggap alasan berobat itu hanya akal-akalan saja. Nuansa yang muncul bahwa Nazaruddin memilih Singapura yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, terbukti kini dalam perkembangan kasusnya. Sedangkan alasan awal bahwa kepergiannya karena membutuhkan pertolongan medis justru tidak terbukti.
Namun begitu justru kasus Nazaruddin- lah yang menjadi momentum munculnya rasa nasionalisme dalam hubungannya dengan mutu layanan kesehatan di negara kita. Tak kurang seorang Din Syamsuddin sebagai ketua PP Muhammadiyah secara kritis menyatakan bahwa hal tersebut apakah tidak menyinggung perasaan dokter di Indonesia ? Juga “kesadaran” Menteri Kesehatan (Menkes) untuk mulai memikirkan bahwa mutu layanan kesehatan (yankes) serta perangkat untuk menginisiasinya yaitu lembaga akreditasi internasional menjadi perlu. Sehingga pasien tidak lari ke LN.
Situasi Sekarang
Saat ini, pelayanan RS adalah masih banyak menuai kritik bahkan sampai pada tuntutan hukum. Mengutip gambaran pelayanan kesehatan di RS yang yang mengemuka pada sebuah diskusi publik oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) di Jakarta, awal tahun 2010, yang bertajuk “Menggugat Pelayanan RS Terhadap Pasien Miskin” yang datanya bersumber dari laporan berbasis warga. Terlihat bahwa sebagian besar pasien miskin yang datang ke rumah sakit (74,9%) mengeluhkan pelayanan rumah sakit mulai dari administrasi yang berbelit-belit, ruang tunggu yang tidak nyaman, kotornya kamar mandi / toilet/wc sampai pada sikap petugas yang kurang baik. Sisanya, 25% saja yang merasa tidak ada keluhan.
Lain cerita si Miskin, lain lagi bagi si Kaya. Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) pada 27 September 2010 dalam sebuah acara di Malang mengungkapkan tentang larinya dana dari orang kaya ke luar negeri (LN) sebesar Rp 2 trilyun hanya dari Jatim saja. Sebelumnya, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pernah pula merilis pada tahun 2009 bahwa ada sekitar 1 juta orang berobat ke luar negeri, yang dalam taksiran rupiah mencapai sekitar Rp 20 trilyun devisa yang tersia-siakan begitu saja.
Tampak ada benang merah di antara data yang disebutkan di atas. Bahwa yankes kita masih dianggap kurang bagus, oleh dua kelompok segmen pasar/masyarakat yang berbeda. Permasalahan besar di bidang mutu layanan kesehatan yang juga diakui oleh Menkes pada 13 Juni 2011 lalu. Menkes menyatakan bahwa perlunya RS berupaya mencegah pasien lari ke LN dengan cara meningkatkan keramahan para petugasnya dan juga untuk memberikan layanan yang lebih informatif. Intinya bahwa pelayanan bagus akan mencegah pasien untuk berobat ke LN.
Dalam kesempatan tersebut dinyatakan juga bahwa adanya kebutuhan akreditasi internasional bagi RS di dalam negeri. Mengingat berdasarkan data tahun 2009 bahwa dari 1.292 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia baru 60 persen diantaranya yang terakreditasi.
Walaupun alasan berobat ke LN bagi setiap orang memang sangat beragam, namun diyakini bahwa masalah mutu layanan menempati porsi yang yang cukup besar selain adanya perasaan gengsi, ketidak percayaan (distrust) terhadap layanan bangsa sendiri maupun alasan untuk melarikan diri sebagaimana dicurigai pada kasus Nazaruddin ini.
Mutu : di Antara Persepsi Dua Kutub
Walaupun disadari bahwa mutu yankes kelas dunia (world class health care) masih menjadi PR besar Kemenkes sebagaimana diungkapkan dalam Pidato Menkes dalam acara Lustrum ke 13 FK UGM beberapa waktu yang lalu, namun mutu yankes yang ada sekarang seakan-akan dalam pertentangan persepsi dua kutub. Di satu sisi mutu dianggap menjadi sesuatu yang mahal, luks dan mewah. Sehingga pendukung kalangan ini menyatakan karena mahalnya maka mutu layanan kesehatan maka belum diprioritaskan di Indonesia. Tidak ada anggaran untuk mutu. Persoalan akses menjadi lebih utama. Sedangkan sisi yang lain justru sebaliknya mutu adalah murah, sehingga dalam praktiknya mutu juga sudah “wajib” diberlakukan pada daerah/institusi tertentu.
Apalagi bahwa prinsip mutu sendiri adalah mencegah. Sedangkan mencegah lebih baik dan lebih murah daripada mengobati. Sebagai contoh kasus dapat diambil disini. Tindakan medis seperti cabut gigi atau merawat luka yang tanpa memperhatikan safety justru akan menyebabkan penyebaran penyakit yang dapat ditularkan lewat darah seperti HIV/AIDS maupun Hepatitis. Bayangkan berapa biaya untuk menanggulangi penyakit ini bila dibandingkan biaya untuk membeli alat penyeteril standar, jarum sekali pakai dan sarung tangan.
Mutu akan mengurangi kemungkinan tuntutan adanya malpraktik, kemungkinan tertular penyakit, maupun diagnosis yang membingungkan terkait pemakaian alat ukur yang tidak dilakukan peneraan (kalibrasi). Sehingga dapat dipahami jika penerapan mutu yankes akan sangat menguntungkan.
Ada potensi
Menurut hemat penulis bahwa RS kita pun punya potensi untuk sebaik di LN. Yang selama ini belum banyak terungkap bahwa terdapat banyak mahasiswa fakultas kedokteran jalur internasional di universitas di Indonesia, sebutlah di UGM yang justru berasal dari Malaysia, Myanmar, Jerman dan beberapa negara lain. Sehingga secara basic, sumber daya di Indonesia tidak jauh berbeda dengan dokter asing yang sekolah di Indonesia.
Sumber daya tenaga kesehatan hanyalah salah satu komponen pembentuk mutu. Dibutuhkan juga sebuah Sistem Manajemen Mutu yang baik untuk memadukan semua komponen sumberdaya (man, money, machines, method) untuk dapat menghasilkan yankes yang bermutu.
Tetapi tentu saja bukan tanpa syarat. Komitmen yang kuat untuk menjadi sebuah lembaga layanan kesehatan yang bermutu memang kunci dari semuanya itu. Komitmen dari para manajer puncak di Kemenkes, Dinas Kesehatan baik Provinsi/Kab-Kota, maupun di RS itu sendiri.
Sebuah Rumah Sakit Akademik dari Universitas Airlangga, Surabaya yang dibuka pada 14 Juni 2011 telah menyatakan komitmennya untuk memberi pelayanan terbaik guna mencegah pasien lari ke Singapura dan Thailand seperti diungkapkan Direktur Utamanya adalah sebuah langkah baik yang patut dicontoh. Semoga.














No comments: