Wednesday, June 27, 2012

Kerja...kerja...kerja

Tagline sebuah harian Nasional besar dari Surabaya yang ditularkan dari Sang Mantan CEO Dahlan Iskan, sangat menantang. Mengisi waktu dengan kerja,kerja dan kerja bukanlah barang gampang. Banyak Orang engisi hari2 nya dengan kebingungan dan kebengongan. Tanpa rencana. Bagaimana mau kerja, wong rencana saja nggak punya ?. Jadi kerja yang bagaimana? Kata banyak ahli sih kerja cerdas, kerja keras dan kerja ikhlas. Kerja cerdas tentu dengan otak. Supaya otak bisa bekerja dengan baik maka tentu saja otak perlu asupan. asupan otak adalah informasi yang berguna, baik dari buku, internet dll. Kerja keras adalah kerja yang maksimal. Tidak angin-anginan. berusaha memberi kemampuan terbaiknya untuk bekerja dengan maksisa berarti juga dengan maksimal. Ya bisa berarti dengan kemampuan ototnya. Jangan cemas bila otot kita kurang kuat karena bisa saja kerja keras berarti berpikir keras. Berusaha memberikan solusi yang terbaik. Sedangkan yang ketiga bekerja ikhlas. Ya bekerja antara dilihat oleh orang lain atau tidak tidak akan jauh berbeda. Tidak harus ada wujud seperti pengawas, supervisor ataupun mandor. Karena tanpa itu semua yang dikerjakan pun cukup baik. Yah hanya orang2 yang sudah ounya kualifikasi tinggi itulah yang bisa bekerja dengan ikhlas. Bekerja dengan ikhlas runtutannya karena dia selalu merasa terawasi oleh Sang Maha Melihat. Akibatnya kerja yang ini akan sangat baik hasilnya. Karena dilandasi oleh sesuatu yang sangat prinsipil. Jadi Kerja..Kerja...Kerja tidak sesederhana itu. Banyak orang /kalangan memang kerja, kerja dan kerja. Tetapi bila motivasinya hanya sesuatu yang bersifat material, kekuasaan dan jabatan semata maka hal itu bisa jadi malah akan menghasilkan sesuatu yang negatif. Jadi maknai kerja,kerja dan kerja dengan kerja keras, cerdas dan ikhlas..

Monday, June 25, 2012

Kiat Hemat BBM

Dalam kondisi bahan bakar fosil yang semakin terbatas, maka pemakaian BBm secara bijak menjadi pilihan yang cukup rasional. Bukan saja ikut menjaga bumi dari segala macam polusi dsb tapi sebetulnya adalah karena kebutuhan pribadi. Untuk menghemat pengeluaran...he..he Tentu saja ini penting karena yang begini berimbas langsung pada kita sendiri maka biasanya menjadi sebuah dorongan internal yang cukup kuat. Cara-cara untuk menghemat BBM dengan cara sbb: 1. Kurangi/atur pemakaian mobil/motor . Rencanakan matang2 kegiatan yang memakai mobil, mungkin untuk jarak yang cukup jauh, bila memungkinkan dipakai dengan berombongan dan merancang rute perjalaann sehingga nggak bolak-balik. Bila ada yang satu arah, lebih baik sekalian jalannya.2. Untuk 2. Bila jaraknya dekat cukup tempuh denga jalan kaki ( sekalian olahraga Kan?)atau Bisa juga dengan naik sepeda. 3. Bila berkendaraan masih pagi, buka jendela, supaya hawa segar masuk dan menghemat bensin 4. Bila ada transportasi publik yang baik, pilihlah itu!

Umur barang

Umur atau usia barang adalah berapa lama barang akan bertahan dan bisa memberi manfaat bagi kehidupan manusia. Bila usia gedung 25 tahun, maka gedung ini akan memberi manfaat kira-kira 25 tahun. Bila sebelum 25 tahun gedung ini sudah rusak / ambruk maka berarti umur bangunan itu kurang dari peruntukannya. Bila bukan karena force majeur maka biasanya gedung itu tidak sesuai dengan specifikasinya. Mungkin ada input yang dikurangi alias dikorupsi. Nah untuk pekerjaan konstruksi biasanya indikasi korupsi baru tercium bila gedungnya ambruk/roboh sebelum waktunya. Bila lebih dari umur yang seharusna memang berarti kualitasnya baik atau perawatan yang cukup adekuat. Seringkali barang yang umurnya sudah habis, namun juga masih bisa bberfungsi. Bila kita memandangnya berdasarkan fungsinya maka kita sebut fungsional. Tidak harus baik bentuknya atau artistik tetapi yang lebih penting adalah bisa berfungsi. Sementara bilapun fungsinya sudah habis masih bisa dipakai oleh orang yang membutuhkan. Kadang bagi kita karpet yang tidak layak, ternyata sama orang masih bisa berfungsi, atau baju pantas pakai juga demikian. ya pada akhirnya bila memungkinkan, jangan ada sesuatu yang terbuang, tetapi cobalah mencari adakah orang yang membutuhkan barang yang sudah tidak kita pakai. Aku sangat senang dengan istilah "sedekah sampah". Mungkin bagi kita adalah sampah, tapi ternyata tidak bagi orang lain.

Pembanding dan Membandingkan

Membandingkan adalah kegiatan yang sering kita lakukan. Seringkali kita melakukan hal ini untuk mencari pembanding dalam hal-hal tertentu. Kita akan melihat outcome yang berupa sifat/kondisi. Apakah lebih baik, buruk, jelas atau malahan kabur dst... Begitulah sering kita membandingkan untuk melihat kekurangan orang lain. Cenderung mengadilinya tanpa ada upaya memebela diri. Tapi yang lebih fair adalah upaya diri sendiri untuk membandingkan. "Oh dia lebih baik dari ku dalam hal humanrelationship". Mestinya aku juga harus bisa." Wah itu seuah cara membandingkan diri sendiri dengan orang lain supaya lebih baik lagi . Sifatnya memotivasi. Tetapi itulah mestinya kita merasa "kurang", untuk hal ilmu, kemampuan, ketrampilan dll. Bukan berarti kita iri tetapi itu akan menjadi sebuah motivasi untuk bersaing secara sehat. Beda perkara bila kekurangan yang ada pada kita sebagai bahan bakar untuk menyalakan api iri. Ini adalah persaingan yang tidak sehat. Membandingkan kerap juga kita pakai saat melihat sesuatu yang lebih. Sering kita tidak bisa mengatakan baik atau buruk, terutama bila tidak ada pembanding. Baru setelah ganti pimpinan, maka biasanya kita baru bilang oooh ternyata dulu bagus. Cuma pada saatnya karena belum ada pembanding maka kita pun suka mengolok2 pemimpin yang sekarang kita bilang bagus itu. Juga bila ada kebijakan yang sekarang ditentang, bila suatu ketika ada pembanding yang lebih buruk, maka baru bisa membuat penilaian. Ya karena seringkali kita menilainya dengan cara membandingkan. Padahal ada ada juga cara dengan tidak membandingkan. Yang lebih obyektif, bukan hanya rasa-rasanya saja.

Saturday, June 23, 2012

Peka

Peka adalah rasa yang halus ( ini definisiku sendiri). Ya setelah aku lihat artinya memang mudah merasa dan mudah bergerak. Ya kepekaan inilah yang jaman sekarang kadang-kadang agak tertutup. Kita terlalu biasa untuk melihat orang yang tertimpa musibah, kita terlalu biasa untuk melihat orang yang repot sendiri, terlalu biasa untuk melihat kemiskinan, terlalu biasa untuk melihat kesusahan. Karena terlalu biasa kita seringkali tidak menyadari bahwa mereka mungkin membutuhkan bantuan kita. Kadangkala pada orang dengan harga diri yang tinggi yang tidak mau menjatuhkan harga dirinya dengan meminta-minta maka akan semakin terlihatlah bahwa kita tidak peka. Pada orang jenis ini maka jangan harap kita akan mendengar rintihan atau ratapannya. Kitalah yang seharusnya lebih merasa terpanggil untuk membantu tanpa harus diminta. Seringkali yang begitu malah kita biarkan. Bahkan kadang karena ketidakpekaan kita maka seolah kita memanfaatkan situasi. "Biarlah dia mau bekerja, toh dia tidak minta bantuan apa pun". Itu adalah sebagai alasan bahwasanya dia tidak mau membantu mengatasi kerepotan yang sejatinya kalau dipikir juga permasalahan dia sendiri. Ya ketidakpekaan kadang-kadang karena kita memang sengaja untuk melakukan pemasangan barier untuk menghalangi rasa itu masuk. Bayangkan kita yang memakai sarung tangan pasti ada yang menghalangi secara fisik kita untuk menyentuh permukaan itu kasar, halus atau halus sekali. Demikian pula dengan memakai sandal, maka kita sesungguhnya tidak merasakan bahwa lantai kita bersih atau kotor, karena kita menganggap hanya sandal inilah yang bersih, sedangkan lantainya pasti kotor... Ya alat-alat yang difungsikan sebagai barier itulah yang kadang-kadang membuat kita tidak peka. Peka memang merasakan. Sebuah perubahan kecil yang akan menggerakkan kita itulah berarti kita peka. Peka saya anggap juga detail. Orang yang peka biasanya detail. Karena tidak akan kita merasakan perubahan kecil/halus bila kita tidak detail... Memang harus belajar mengasah kepekaan, jangan menunggu orang minta baru kita beri. Jagalah kepekaan sebagai radar yang akan membantumu mengetahui permasalahan di sekitar kita dan kita akan turut berpartisipasi untuk membantunya...

Tuesday, June 19, 2012

Passion

Dalam bekerja atau beraktivita apapun jenisnya, maka passion akan sangat mempengaruhi dalam hal ini. Ya betapa tidak passion berarti adalah semangat/gairah/antusiasme dari setiap orang untuk melaksanakan kegiatan tersebut. Ya, itulah jiwa dari semuannya. Perhatian, kemauan untuk berpikirnya serta keterlibatannya dalam semuanya tergantung dari passion. jika seseorang dengan antusiasme yang tinggi maka dia akan total dalam segalanya. Bergerak dengan tidak malas, berpikir dengan semangat, berdiskusi dan sharing dengan semangat berbagi, Passion tentu saja diawali dengan niat yang baik, niat yang lurus dan tulus. Dengan itu semua maka dijamin passion yang ada akan menjadi "busi" yang akan memantik api terus menerus untuk menggerakkan motor yang ada... Semoga semangat ini akan terus berkobar untuk melakukan sesuatu yang baik, di manapun levelnya... Karena bagaimanapun levelnya maka kebaikan akan menjadi catatan amal. sehingga diharapkan semua akan menjadi bermakna....kelak.

Friday, June 15, 2012

Jauh di cari-cari, dekat di abaikan

Sering kita berlaku seperti itu. Jauh dicari-cari, tetapi bila sudah ada maka diabaikan. Ya kadang kita merasa bahwa apa yang sudah ada tidak perlu dirawat dan dipertahankan. Yang jauh aja dicari. Apa yang kita tidak punya, maka kita akan berusaha mati-matian untuk meraihnya. Tetapi bila sudah ada maka kita cenderung akan mengabaikannya. Kesehatan adalah salah satu contohnya. Bila ada, maka kita akan menganggapnya wajar. Tidak perlu dijadga dan dirawat. Tetapi bila hilang maka setengah mati pula kita harus mengembalikannya. Begitulah untuk kesehata Ya mengelola yang ada dan menjadikannya yang lebih tinggi sebagai goal berikutnya adalah sangat bijak. Ada juga cerita, serupa tapi tak sama. bahwa seorang pegawai yang satu hari setelah ijin langsung dibuatkan surat pemanggilan sehari setelah acara yang sangat penting bagi si pegawai itu. Tetapi alangkah kecewanya dia, saat dia memenuhi panggilan itu maka berhari-hari dia nganggur. Karena apa ? ya belum diberi tugas sama majikannya. Tapi pegawai itu tetap masuk seperti biasa. Ya kisah pegawai yang malang itu mengingatkan saya bahwa kadang-kadang kita pun tidak siap dengan apa yang sudah dilakukan. Melakukan sesuatu tanpa perencanaan yang baik! Atau memang disetting seperti itu? Entahlah....

Wednesday, June 13, 2012

Kemauan untuk Mendengar

Dalam menghadapi sebuah masalah di sebuah kantor, kita dihadapkan pada sebuah birokrasi yang bersifat sangat rigid dan kadang-kadang cenderung mengabaikan manusia yang ada di dalamnya... Ada cerita, ketika ada masalah dengan bagian yang mengurus karyawan (lower and middle manager) maka tanpa ada ba bi bu kita mau diberi sangsi tanpa ada kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan yang sebenarnya... Dalam beberapa hal memang tampak masuk akal alasannya, tetapi setelah ditelisik lebih jauh bagian yang mengurus karyawan itu hanya menerapkan pada orang tertentu saja. Pada kasus lain yang lebih berat, terbukti malah tidak ada tindakan apa pun yang diambil. Jadi tidak terlalu salah bila beberapa orang yang pernah berhubungan menyatakan bahwa memang begitulah sifat birokrasi kita, pilih-pilih, sesuai siapa yang ada di belakangnya. Aturan menjadi sulit untuk ditegakkan karena ternyata di sisi lain ada preseden buruk yang pernah ada... Atau aturan hanya memilih pada orang yang lemah , tanpa backing yang kuat. Kapankah akan diputus rantai ini? Bila putus rantai itu maka barulah kita bisa berdiri dengan tegak... Pada saat yang sama bila kita curhat dengan yang lebih atasnya (top manager) lagi maka saya tidak pernah menyangka bahwa yang lebih atasnya lagi malah lebih mau mendengarkan. Bahkan melihat dan membaca dengan teliti apa yang kita bawa dan jelaskan. Sungguh seharusnya mulai dari bawah ini orang harus mau mendengarkan. Supaya nanti bila orang itu menjadi orang atasan maka akan lebih bisa menangkap aspirasi yang ada di bawah. Jangan mentang2 yang menghadap bukan siapa-siapa, apa pun omongannya tidak didengarkan bahkan cenderung diabaikan... Karena kebenaran bisa juga muncul dari sesuatu yang bukan siapa-siapa ............. Sungguh kami rindu pemimpin ( di semua level) yang mau mendengar....

Nilai, Menilai dan Penilaian

Nilai adalah hasil dari sebuah evaluasi sebuah proses penilaian. Seharusnya dalam sebuah penilaian ada sebuah standar yang diacu. Bila tidak ada standar yang diacu maka akan "lucu" hasil penilaiannya. Yang baik dinilai buruk. Yang buruk kenyataannya, malahan dinilai baik. Jadi membuat nilai atau menilai adalah proses yang harus adil dan fair. Jangan karena suka dan tidak suka dengan seseorang akan mempengaruhi nilai. Yang seperti ini tentu akan menghasilkan penilaian yang subyektif. Cenderung suka-suka. Pernah dalam sebuah tugas akan dinilai hasilnya melalui sebuah tulisan yang dimuat di website /blog/sejenisnya. Ternyata si penilai kurang telaten. sehingga hasilnya menjadi tidak jelas. Antara yang buat dengan yang tidak membuat; antara yang mengumpulkan tepat waktu dengan yang tidak; antara content yang sesuai dengan harapan dengan yang lainnya; Kalau memang begitu kenapa tidak sejak awal, disarankan tugas secara manual? Sehingga akan lebih mudah untuk membandingkan dan dicari model yang pas? Ya hasil menilai yang asal-asalan akan menimbulkan rasa yang tidak fair pada orang yang dinilai. Tetapi memang secara kenyataan sangat sulit untuk bertindak adil, tetapi minimal ada mekanisme yang diacu, sehingga mempermudah penilaian, tentu saja dengan cara yang lebih adil. Ada sebuah pengalaman juga dalam penjatuhan sebuah sangsi sebagai ikutan dari hasil penilaian juga tidak ada standar yang jelas. Bila berhadapan dengan si A maka dengan pelanggaran tertentu maka tidak ada sangsi. Tentu saja karena si A membawa nama besar orang di belakangnya. Bila dengan si B, akan lain lagi. Begitu juga dengan si C dan D. Bila dalam menjatuhkan sangsi-yang akan berakibat pada masa depan seseorang- harus lebih hati2. Karena bila sudah pernah meloloskan si A yang melakukan sebuah pelanggaran tanpa sangsi maka konsekuensinya bahwa yang kurang dari si A pelanggarannya mestinya tidak kena sangsi. Dan sebaliknya bila lebih, maka otomatis terkena sangsi. Walaupun secara akal sehat si A sudah sangat jelek. sebuah konsekuensi dari meilih standar yang sedemikian buruk.....

Sunday, June 3, 2012

Introspeksi : Untuk siapa kita bekerja?

"Banyak di antara kita, berusaha atau mengusahakan sesuatu tetapi tidak dengan sungguh-sungguh. Kelihatannya saja kita memperjuangkan para beneficieries kita. Tetapi kenyataannya orangatau pihak lain itu hanyalah sebagai obyek semata yang tidak merasakan kehadiran kita di tengah-tengahnya". Wow, sungguh suatu introspeksi yang luar biasa. Yang sanggup untuk membuat kita merasa malu dan jengah... Ya itu diucapkan Sang mentor yang prihatin pada perkembangan masa kini yang sering kita mengatasnamakan orang, pihak lain bahkan rakyat namun sejatinya di balik itu, hanyalah sebuah cara untuk kita sendiri saja. Bukan untuk orang yang kita pinjam namanya demi proyek atau program kita.... Sesuatu yang sangat dalam... Ya di tengah persaingan segalanya yang makin ketat, maka hal-hal seperti itu dianggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Padahal kita tahu betapa terpuruknya negeri ini karena memang banyak sekali para broker/petualang2 program/proyek yang berkeliaran yang tidak memikirkan betapa memang rakyat di bawah menunggu uluran tangan dari kita sebagai pihak yang bisa menjembatani para donor dengan mereka yang membutuhkan. Tapi, benarkah bahwa kita bekerja 'ikhlas " untuk mereka atau kita bekerja hanya untuk diri sendiri dengan mengatasnamakan mereka? Semua terpulang kepada kita masing2. Jangan bermental pengemis yang selalu merasa perlu dikasihani. Pikiran bahwa donor atau apapun namanya adalah pihak yang harus diservis supaya mendapatkan yang lebih banyak adalah pikiran yang jamak terjadi sekarang ini. Sehingga banyak lembaga ataupun orang perorangan yang masih meminta sumbangan pada donor dengan harapan akan melalui pihaknya. Semoga kita/lembaga kita terhindar dari hal2 tsb. Amin ya robb

Friday, June 1, 2012

Mutu Pelayanan : Salah Satu Titik Kritis dalam Pelaksanaan Jaminan Kesehatan

Diposting oleh : Administrator Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi (Peneliti Pusat KP-MAK) Indonesia sedang menyongsong jaminan pelayanan kesehatan menyeluruh (Universal Health Coverage=UHC). Tanggal 1 Januari 2014 nanti maka Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) I sebagai badan hukum akan menyelenggarakan program jaminan kesehatan sesuai dengan amanat undang-undang BPJS yang baru disyahkan akhir tahun lalu. Situasi UHC akan menghilangkan kendala dalam bidang pembiayaan dan adanya kemudahan akses secara fisik, namun di sisi lain akan mengakibatkan sebuah konsekuensi yaitu jumlah pasien yang memanfaatkan pelayanan kesehatan akan meningkat tajam. Untuk itu perlu persiapan yang cukup matang sebagaimana tergambar dalam peta jalan yang dibuat oleh Kemenkes. Saat pelaksanaan seminar “Memetakan Berbagai Provider Jaminan Kesehatan Pasca UU BPJS” dalam rangka dies natalis ke-66 Fakultas Kedokteran UGM baru-baru ini mengemuka bahwa permasalahan yang dihadapi dalam menuju situasi dimana seluruh penduduk akan mendapat jaminan kesehatan masih sangat kompleks. Permasalahan seperti regulasi, infrastruktur, transformasi kelembagaan dari PT Askes menjadi BPJS I, serta kesepakatan paket benefit juga masih bahan diskusi yang cukup menarik. Salah satu titik kritis dalam persiapan BPJS yaitu masalah penjaminan mutu layanan kesehatan justru masih relatif sedikit pembahasannya. Hal-hal yang mempengaruhi mutu secara langsung seperti kekurangan jumlah tempat tidur (TT) yaitu sekitar 123.000, kurangnya jumlah/distribusi sumber daya tenaga medis khususnya dokter, serta kurangnya beberapa infrastruktur kesehatan juga masih mengemuka. Satu hal yang cukup menarik bahwa sistem pembayaran pada dokter yang dianggap hanya menggunakan satu sistem penghitungan tertentu untuk semua wilayah juga diyakini akan mempengaruhi mutu pelayanan Di sisi lain, isu tentang BPJS justru sudah memunculkan respon pasar terhadap bisnis pendirian faskes baik berupa klinik, RS atau faskes lain. PT Kimia Farma yang selama ini hanya bermain di level hulu yang berhubungan dengan obat akan menginvestasikan sekitar Rp150 miliar untuk pengembangan apotek/klinik terpadu di seluruh Indonesia sebanyak 400 unit di 30 kota dan untuk tenaganya akan bekerjasama dengan petugas medis dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang akan menerapkan “one stop health care solution”. Tentu saja pihak pemilik modal lain juga akan berpikir bahwa peluang bisnis ini akan sangat potensial mendatangkan keuntungan. Hal tersebut tentu saja menggembirakan tetapi juga akan mendatangkan kekhawatiran tersendiri. Akses masyarakat yang menjadi lebih mudah dalam mendapatkan layanan kesehatan, akan memunculkan kemungkinan lebih banyak komplain dari pasien karena mutu layanan yang kurang baik. Ekstrimnya, mutu buruk bisa berkembang menjadi sebuah tuntutan hukum karena akan naiknya jumlah malpraktik maupun kejadian yang tidak diinginkan (KTD) sebagai konsekuensi dari meningkatnya jumlah faskes asal-asalan maupun peningkatan pemanfaatannya. Sementara kita tahu bahwa regulasi mutu pelayanan kesehatan terutama yang dari “pusat” /kementrian kesehatan masih sangat lemah. Sedangkan Dinkes kabupaten / kota sebagai “pemilik” wilayah juga belum cukup kuat dalam hal ini. Social Health Insurance (SHI)Selalu Poor Quality? Situasi UHC dengan skema Social Health Insurance (SHI)yang mempunyai ciri bahwa semua penduduk wajib mengikutinya dengan memperoleh paket manfaat yang sama dalam pelaksanaannya sangat rentan dengan mutu pelayanannya.PT Askes yang menangani asuransi kesehatan wajib bagi PNS dalam survai kepuasan pelanggannya mengklaim angka 85,76% pada tahun 2010 dan masuk kategori pelayanan yang melebihi harapan pelanggan. Namun peserta jaminan kesehatan masyarakat (jamkesmas) dengan jumlah kepesertaan sekitar 76,4 juta yang menjadi representasi jaminan sosial pada masyarakat miskindi Indonesia masih menyisakan masalah. Dalam sebuah survei yang dilakukan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) pada tahun 2010 maka sekitar 75 % masyarakat miskin masih mengeluhkan pelayanan kesehatan di RS mulai dari administrasi yang berbelit-belit, ruang tunggu yang tidak nyaman, kotornya kamar mandi / toilet/wc. Situasi UHC – dengan jumlah penduduk mencapai 241 juta- maka potensi untuk terjadi problem mutu layanan kesehatan akan lebih tinggi. Pihak yang paling dirugikan adalah masyarakat miskin, karena sebuah situasi tanpa pilihan. Seolah-olah istilah poor quality for poor people dianggap sebagai sesuatu yang sewajarnya. Seperti sebuah guyonan “murah kok njaluk slamet” yang artinya bahwa sesuatu yang murah tidak berhak atas keselamatan dan mutu yang baik. Sedangkan bagi si kaya, situasi seperti itu masih ada pilihan dengan memilih private insurance untuk top up. Rekayasa Mutu Layanan Kesehatan Walaupun mutu mempunyai berbagai definisi dan persepsi, namun seorang Donabedian, sebagai ahli mutu menyatakan bahwa mutu bisa dinilai dengan tiga faktor yaitu input (stuktur), proses dan output. Namun secara umum bahwa poor quality akan menjadi sebuah keniscayaan bila input dalam membangun mutu seperti man, money, material, machine sertamethode - nya masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Dalam masa persiapan UHC seperti sekarang ini bila menginginkan sebuah good quality makamasalah struktur sebagai input adalah menjadi bagian terpenting yang harus diperhatikan. Kekurangan tenaga dokter dan kurang meratanya distribusi maka diperlukan standar salary yang pantas bagi dokter sebagai seorang profesional. Prevention cost diperlukan dalam hal biaya mutu (cost of quality) yakni pencegahan mutu yang buruk seperti biaya pengembangan kapasitas dan kompetensi SDM dalam hal klinik dan medik, diharapkan juga akan meningkatkan mutu pelayanan. Perlu diingat untuk pelayanan yang baik juga butuh aturan dan regulasi yang jelas, sehingga semestinya Dirjen Bina Upaya Kesehatan (BUK) menyiapkan segala sesuatu peraturan yang diperlukan. Pemerintah daerah dalam hal ini dinas kesehatan bisa menjadi leader yang menginisiasi mutu dalam pelayanan kesehatan di daerahnya. Semoga.