Tri Astuti Sugiyatmi*
Dalam sistem pelayanan kesehatan
maka pelayanan yang dilakukan idealnya adalah
dengan sistem rujukan berjenjang. Mulai
dari yang paling bawah puskesmas sebagai
Rawat Jalan Tingkat Pertama ( RJTP) maupun Rawat Inap Tingkat pertama (RITP)
dan selanjutnya baru ke rumah sakit . Rumah sakit sendiripun juga mulai dari
tipe yang paling rendah ke yang paling tinggi sebagai Rawat Jalan Tingkat Lanjutan (RJTL) Maupun Rawat Inap Tingkat Lanjutan (RITL). Dalam hal ini puskesmas dapat dikatakan sebagai “gate keeper” dalam sistem rujukan berjenjang itu. Seperti halnya
dokter keluarga yang sekarang sudah berlaku di dalam sistem rujukan yang
berlaku di ASKES.
Namun kenyataan yang ada sekarang Puskesmas hanya akan cenderung
dilewati saja tanpa bisa berbuat banyak.
Dalam kondisi ini maka RS
akan menjadi sebuah “puskesmas raksasa”,
karena kasus-kasus ringan pun akan masuk ke sana. Sedangkan kasus berat sebagai
porsi tempat rujukan lanjutan
kadang-kadang malah tidak tertangani ataupun tertangani dengan antrian yang
cukup panjang. Dalam kasus Jaminan persalinan (Jampersal) di daerah Sendawar
sebagai contoh, terdapat banyak kasus
kelahiran non risiko tinggi yang masuk
ke RSUD Harapan Insan Sendawar. Hal ini
berakibat program ini berjalan tidak efektif.
Bila hal-hal seperti ini dibiarkan maka bukan tak mungkin program besar yang
akan menjamin seluruh penduduk ini akan
kesulitan ke depannya. Hal ini
memang bisa jadi karena sosialisasi yang kurang baik di masyarakat. Namun satu
hal yang juga mungkin adalah karena puskesmas
yang ada kurang kuat, kurang bermutu, kurang menarik dan kurang
dipercaya oleh pelanggannya maka sistem rujukan tidak akan banyak berfungsi dan pemanfaataan puskesmas rendah.
Butuh Penguatan di Semua Lini
Selama ini permasalahan di
puskesmas yang sering terjadi adalah kurangnya biaya operasional puskesmas.
Dengan adanya dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) yang juga dapat
dimanfaatkan untuk upaya kegiatan,
kegiatan penunjang, manajemen puskesmas serta perbaikan ringan maka semestinya permasalahan
puskesmas yang mendasar tidak terjadi
lagi. Dalam hal ini manajemen puskesmas juga harus diperkuat. Dengan adanya
dana yang cukup berlimpah seperti BOK yang sifatnya suplemen dari APBD II maka
dibutuhkan manajemen yang tangguh dalam
hal pengelolaan kegiatan maupum administrasi keuangan sehingga dana BOK dapat
terserap dan terlihat “perbedaan” sebelum dan sesudah adanya dana operasional.
Dulu sebelum ada dan operasional maka puskesmas cenderung terlihat kurang
terawat, kotor, cenderung tidak menarik, maka semestinya dengan adanya berbagai
dana tersebut kesan seperti itu dapat dihilangkan.
Penguatan puskesmas yang lain
adalah adanya layanan inovasi di puskesmas. Walaupun konsep puskesmas tetap basic six namun tidak ada salahnya bila
sumberdaya ada dan memenuhi maka bisa dilakukan pelayanan inovasi seperti
puskesmas sayang lansia (lanjut Usia), puskesmas 24 jam, konsultasi psikologi (seperti
di Kabupaten Sleman), puskesmas dengan layanan VCT (Voluntary Counselling and Testing HIV/AIDS) seperti di puskesmas
kota Tarakan, puskesmas keliling dsb.
Pelayanan unggulan dan inovasi puskesmas juga akan mengembalikan trust pelanggan kepada fasilitas pelayanan kesehatan plat merah ini.
Puskesmas selama ini sering diplesetkan hanya dianggap dapat melayani “pusing,
keseleo dan masuk angin”. Padahal dengan keragaman sumberdaya yang ada puskesmas bisa banyak berbuat untuk melakukan
inovasi yang ujung-ujungnya untuk menarik minat pelanggan.
Penguatan puskesmas yang lain
adalah dengan program penguatan mutu puskesmas
seperti penerapan sistem manajemen mutu (SMM), pelayanan prima ataupun
sertifikasi juga penting dikerjakan. Pada daerah perkotaan yang masalah akses
tidak menjadi persoalan utama maka mutu puskesmas sudah saatnya untuk
dipikirkan. Selama ini puskesmas dikesankan hanya untuk masyarakat miskin yang
tidak pernah mempermasalahkan mutu pelayanan. Namun dengan semakin kritisnya
masyarakat maka masalah mutu puskesmas sudah harus menjadi agenda utama.
Memang untuk meraih mutu pelayanan
di puskesmas tidak harus yang berbiaya mahal seperti sertifikasi ISO 9001:2000
ataupun ISO 9001:2008, namun juga bisa
dengan cara lain yang pada prinsipnya akan meningkatkan performance puskesmas. Untuk daerah perbatasan, terpencil dan
kepulauan (DPTK) maka penulis sarankan: kaidah housekeeping dari Jepang adalah 5 S yaitu : Seiri, Seiton, Seiso,
Seiketsu dan Shitsuke yang sudah
diadopsi ke dalam bahasa Indonesia menjadi 5 R yaitu ( Ringkas , Rapi, Resik,
Rawat dan Rajin) sangat mungkin untuk dilaksanakan. Dengan 5 R yang hampir
tanpa biaya itu, puskesmas bisa “tampil beda” dan membuat pengunjung merasa
nyaman.
Dengan adanya rencana Universal
Health Coverage pada tahun 2014 nanti,
dimana jumlah fasilitas kesehatan terutama puskesmas juga akan ditambah,
maka satu hal bahwa dana semacam BOK juga sudah harus disiapkan untuk puskesmas
yang baru tadi. Dalam sebuah kesempatan Rakor tanggal 1 Agustus 2012 beberapa waktu yang lalu presiden SBY meminta supaya Kemenkes
menggarap BPJS lebih serius, karena sebagai investasi awal dalam BPJS tidak
main-main, 25 Triliun. Pertanyaannya, apakah
di dalamnya sudah termasuk dana penguatan puskesmas atau belum. Karena
bagaimanapun input berupa dana, tenaga, infrastruktur adalah pondasi awal yang
harus ada terlebih dahulu. Baru kemudian penguatan manajemen, inovasi, dan mutu
juga menjadi hal yang harus diperhatikan. Karena berhasil atau tidaknya Jaminan Kesehatan
Semesta ini bisa diperkirakan dari
keadaan puskesmas yang ada sebagai lini pertama yang memegang kendali sistem
rujukan.
Kepustakaan :
1. Program Jampersal Tak Efektif Akibat Selalu Dirujuk ke
RSUD HIS
2. Petunjuk Teknis: Bantuan Operasional Kesehatan tahun
2012, Kemenkes RI 2011
3. Profil Dinas Kesehatan Kota Sleman tahun 2011
4. Profil Dinas Kesehatan Kota Tarakan Tahun 2011
5. Tri Astuti Sugiyatmi, Naskah Tesis : Analisis Biaya Mutu (Cost of Quality) Dalam
Peningkatan Mutu Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Sleman, DIY, KPMAK- IKM-UGM
6. http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/08/01/m82619-sby-minta-kemenkes-garap-bpjs-lebih-serius