Tuesday, May 6, 2014

“TOPI ANTI DBD” : SOLUSI ALTERNATIF MENGATASI KASUS DBD DI WILAYAH RAWAN AIR BERSIH

“TOPI ANTI DBD” :
SOLUSI ALTERNATIF MENGATASI KASUS DBD DI WILAYAH RAWAN AIR BERSIH
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*

Demam Berdarah Dengue (DBD)  merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan oleh vektor  nyamuk Aedes sp. selama ini masih menjadi momok tersendiri bagi masyarakat. Serangannya yang cenderung meningkat di musim hujan  ini   di daerah urban memang menjadi masalah di banyak negara tropis dan subtropik. Belum lagi adanya  angka kematian yang masih tinggi  terkait salah satu penyakit yang   juga  dihubungkan dengan isu perubahan iklim ini.
Upaya  pengembangan  vaksin/ imunisasi  masih menghadapi kendala yang cukup besar,  ditambah tidak adanya terapi yang spesifik untuk penyakit akibat  virus   menyebabkan  berbagai upaya dilakukan untuk menekannya.  Dari 4 pilar pencegahan dan pengendalian (P2) DBD maka pengendalian vektor lah yang paling memungkinkan untuk dilakukan.
Pengendalian Vektor
Yang harus dipahami bahwa ternyata nyamuk mengalami perubahan bentuk  (metamorfosis  sempurna) dimana dalam siklus hidupnya telur --jentik (larva)-- pupa -- nyamuk lagi.  Ketiga  bentuk terjadi di dalam air yang tidak terhubung dengan tanah,  sementara yang terakhir  akan terbang kembali di udara.  Vektor ini kebanyakan juga berkembang di daerah urban dan suburban dengan asumsi  di daerah tersebut  terdapat   banyak kontainer buatan manusia untuk penampungan air bersih. Dalam waktu kira-kira 1-2 minggu maka siklus itu akan kembali berulang.
Mengingat hal itu maka  pengendalian vektor  pada setiap tahapan  selalu mempunyai  tingkat kesulitan tertentu. Pada tahap nyamuk  maka kemampuan terbang  dan  menghindarnya  dalam jarak sekitar 40 meter menyebabkan  pengendaliannya secara otomatis  tidak pernah tuntas sekalipun dengan  penyemprotan insektisida (fogging).  Tindakan itu hanya bisa membunuh nyamuk dewasa saja sementara bentuk telur, larva dan pupa tidak akan mati. Kekurangan lainnya adalah berbiaya tinggi dan ancaman pencemaran lingkungan  sehingga hanya efektif saat ada penularan kasus/wabah.  
Pengendalian pada tahap jentik,  mempunyai banyak alternatif. Upaya biologis dengan ikan pemakan jentik  dapat menjadi sebuah alternatif. Namun banyak masyarakat yang mengeluhkan bila ikan ditempatkan pada bak mandi maupun air yang dikonsumsi sehari-hari akan menimbulkan bau amis dan penampungan  menjadi lebih cepat kotor.
Alternatif lain adalah  dengan bahan kimia (larvasida) dirasakan cukup baik khususnya di daerah  yang relatif kesulitan air bersih. Bubuk larvasida yang bertahan sampai 2-3 bulan memungkinkan air yang ada tidak perlu dikuras.   Namun kelemahan dari program ini adalah adanya bau bahan kimia dan adanya ketakutan masyarakat terhadap bahaya ‘keracunan” walaupun Kementrian Kesehatani sudah menyatakan aman   sepanjang dosisnya sesuai dengan ketentuan.
Upaya yang terakhir secara fisik adalah dengan 3M (menguras dan menutup  penampungan air dan   mengelola barang bekas- dulu dipakai istilah mengubur). Dalam bahasa yang berbeda maka  3M juga berarti penutupan (covering), pengosongan (emptying) dan  pembersihan sebagai upaya untuk mencegah nyamuk  menjangkau habitatnya. 3M bisa menjangkau fase telur, jentik dan pupa. Sebenarnya 3M adalah upaya yang cukup mudah dan murah. Sayangnya justru perilaku masyarakat masih belum mendukung karena  kebanyakan tidak  memahami proses metamorfosis si nyamuk tadi. Dalam hal ini  memang dibutuhkan komitmen, konsistensi dan kontinuitas yang cukup tinggi. Pasalnya lengah sedikit maka itu akan menjadi “surga” bagi nyamuk itu.
 “Topi Anti DBD“  :  sebuah alternatif
Pada daerah yang  sulit air bersih maka warga akan cenderung menampung air,  bahkan air hujan.   Warga enggan menutup penampungan airnya dengan alasan  bila ditutup maka tidak mendapat air dari air hujan yang turun sewaktu-waktu. Dengan rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat itu maka dapat ditebak perindukan nyamuk akan makin banyak dan  jentik  akan merajalela.
Dalam hal ini dikesankan ibarat buah simalakama. Untuk mendapatkan air bersih maka otomatis DBD akan terjadi, sebaliknya bila menginginkan DBD turun maka kebutuhan air bersih akan terancam. Sebuah pilihan yang  sulit. Sehingga, munculah trik menyiasati keadaan bahwa  ada hal yang dapat mengakomodir dua-duanya yang disebut sebagai “Topi Anti DBD” (TAD).
Penyebutan TAD  mungkin  terkesan berlebihan, bahkan asal.  Memang ini bukan topi sehari-hari yang dipakai di kepala manusia yang punya “khasiat” mencegah DBD tetapi  penutup (cover)  bagi drum, tangki  air atau berbagai penampungan air lain berfungsi  dan sebagaimana laiknya topi  pelindung bagi  kepala. TAD ini dimaksudkan   untuk melindungi air dari nyamuk yang akan bertelur di dalamnya. Tetap mendapatkan air dan  secara fisik dapat menjadi penghalang bagi nyamuk untuk bertelur di dalam air tersebut.
Bahan TAD  yang  bisa  berasal  dari  kasa nyamuk atau dari berbagai macam kain termasuk kain perca  dengan karet elastis  yang dijahit sebagai pengikat  di  mulut penampung air  bisa jadi menjadi salah satu alternatif di daerah yang endemis DBD dan sekaligus mempunyai masalah dengan ketersediaan air bersih. Sebagai  pemikiran alternatif, TAD tanpa insektisida tambahan  bisa menjadi salah satu pengembangan alat baru  yang aplikatif dan   membutuhkan kajian ilmiah yang  lebih mendalam sebagai  sebuah strategi baru dalam pencegahan DBD. Walaupun tidak menutup kemungkinan  dalam pengembangannya dapat dikombinasi dengan insektisida yang aman bagi air minum manusia, layaknya fungsi larvasida saat ini.
Dari percobaan kecil-kecilan maka didapatkan hasil bahwa TAD  cukup efektif untuk menghalangi kotoran besar masuk ke dalam air. Bila bahan yang dipakai dengan kerapatan yang lebih tinggi maka kemungkinan nyamuk untuk bertelur di dalamnya  menjadi makin kecil. Dalam hal  kemampuan menampung air  dari talang maka bila  semakin rapat  jenis kain yang dipakai maka air akan makin sulit untuk masuk ke dalam  drum tersebut. Sehingga di dapatkan hasil ideal  bahan yang dipakai adalah kasa anti nyamuk dengan diameter terkecil. Keunggulan lain  kasa ini juga bisa dibersihkan secara periodik dan jatuhnya akan lebih murah dalam jangka panjang.
Perlu Sinergi
P2 penyakit DBD diyakini  memang tidak bisa  hanya mengandalkan metode tunggal saja, tetapi harus kombinasi. Bila  selama ini  muncul kesan hanya nyamuk “elit” Aedes aegypti  sebagai vektor utama maka keberadaan  vektor Aedes albopictus yang menjadi vektor sekunder yang  juga cocok hidup di lingkungan luar rumah  tidak dapat dikesampingkan. Banyaknya sampah plastik, botol, kaleng  dan gelas yang dapat menampung air hujan juga menjadi penyebab tingginya  perindukan nyamuk tersebut di luar rumah disamping adanya potongan bambu -misalnya-  yang dapat menampung air hujan.
Sehingga pada akhirnya gerakan pembrantasan sarang nyamuk (PSN) DBD memang juga cukup relevan bila dilaksanakan di dalam  sekaligus juga di luar rumah. Pada gilirannya  maka  bukan hanya DBD saja yang teratasi tetapi juga penyakit  dengan vektor nyamuk lain seperti malaria, filariasis dan chikungunya juga ikut tertekan. Semoga.


No comments: