Tuesday, October 27, 2015

Tafsir Kompleks di Balik Aroma Rokok

(late post) Tafsir Kompleks di Balik  Aroma Rokok

Tri Astuti Sugiyatmi**
Seorang artis yang sekaligus anggota dewan yang kepergok kamera sedang merokok di ruang Komisi X  mendapat tanggapan dari beberapa pihak. Tanggapan dari partai pengusungnya dan fraksinya yang dalam waktu cukup cepat  melegakan banyak pihak. Bahkan mereka mengaku akan memberi teguran dengan alasan  dianggap melanggar kode etik. Walaupun terlalu dini tapi ini menjadi  upaya yang cukup memberi harapan pada  masyarakat luas.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di  eksekutif anggota Kabinet Kerja justru sebaliknya. Aroma’ rokok  sudah  tercium dari (anggota) Kabinet Kerja sejak hari pertama pengumuman  dan pelantikan  menteri pada Kabinet Kerja bentukan Presiden Jokowi .  Salah satu   menteri yang  terpergok merokok di depan juruwarta juga  mengundang  banyak komentar. Sikap yang santai  terkait kebiasaan merokoknya  tak urung menjadi  tanda tanya besar.
Terkait dengan isu rokok di anggota Kabinet juga masih segar di ingatan kita saat Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa membagikan bantuan makanannya yang disisipi sejumlah bungkus rokok kepada warga pedalaman (orang rimba) di Provinsi Jambi. Bila  pemberian rokok  yang ditengarai didanai oleh   sponsor rokok adalah sebuah “kecelakaan” semata  maka seharusnya Mensos akan minta maaf kepada masyarakat luas. Ironisnya sampai sekarang  tidak ada kata permintaan maaf dari kemensos tentang hal itu. Maka dapat disimpulkan bahwa ini adalah sebuah kesengajaan.
Dua isu rokok yang berada di wilayah legislative dan eksekutif yang  cukup mencolok itu menunjukkan perbedaan tanggapan  khusunya pada kasus di atas,  menimbulkan tafsir  yang lebih kompleks.
Di sisi lain Kementrian kesehatan sebagai baian dari Kabinet Kerja  sudah mempunyai program yang terkait dengan pengendalian  pertembakauan. Mulai dari promosi kesehatan tentang bahaya merokok, program klinik berhenti merokok serta upaya untuk mempersempit ruang gerak para perokok dengan Kawasan tanpa Rokok maupun kawasan terbatas merokok. Di samping ada upaya untuk pengaturan iklan merokok di berbagai media.
Sebaliknya di sisi legislative  periode sebelumnya  justru sangat pro rokok.  Yang paling menyolok adalah hebohnya kronologis  hilangnya Pasal 113 ayat 2 dan ayat 3  (ayat yang menggolongkan tembakau sebagai sebagai zat adiktif dan pengaturan segala hal terkait tembakau) pada UU 36 tahun 2009  tentang Kesehatan. Ditengarai hilangnya ayat tembakau ada hubungannya dengan ulah  oknum  anggota DPR yang menunjukkan banyak pihak punya kepentingan dalam hal ini. 
Bahkan dalam program legislasi nasional tahun 2013,  RUU Pertembakauan juga muncul sebagai usulan sebuah perusahaan rokok yang juga sangat berpotensi melemahkan aspek perlindungan masyarakat akibat konsumsi rokok.
  
 Jadi ada sebuah tafsir yang cukup kompleks yang diperlihatkan pada sebuah kebijakan terutama rokok antara dewan yang lama (oknum PDIP) dengan dewan yang baru (oknum partai lawan-PAN). Sedangkan pada eksekutif  keengganann  untuk meratifikasi piagam FCTC (Framework Convention on Tobacco Control)  pada pemerintah  SBY dan Jokowi ini masih tetap  walaupun khsusunya pada pemerntah sekarang makin parah khusunya kebijakan pro rokok yang cukup terlihat secara telanjang seperti pada kasus di atas. Sehingga janganlah heran bila negara kita  menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum menandatangani dan mengaksesi kerangka kerja internasional dari badan kesehatan dunia (WHO) untuk mencegah meluasnya epidemi merokok itu.
Dampak
Akibatnya bisa ditebak bahwa  isu kesehatan yang digelindingkan untuk menangkal produk yang mengandung 4000 zat berbahaya ini tidak akan cukup kuat untuk menahan   gempuran iklan rokok yang sangat dikesankan positif itu. Papan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menjadi aturan semata yang begitu mudah untuk dilanggar.   Gambar seram pada kemasan rokok  bahkan hanya dianggap sepi oleh para pecandu berat.
Studi tentang  dampak rokok yang menunjukkan   Angka kesakitan dan kematian akibat merokok  di Indonesia  yang sangat luar biasa tidak pernah dipakai sebagai bahan untuk mengambil kebijakan publik.  Begitu juga dampak sosial dari merokok juga tidak diragukan lagi tidak sekalipun dilirik untuk menjadi asupan kebijakan. Bagaimana  Usia mulai merokok yang semakin muda menimbulkan keprihatinan tersendiri.  Ditengarai juga bahwa rokok juga menjadi pintu masuk bagi candu jenis lain seperti  napza (narkoba, psikotropika dan zat adiktif lainnya). Walaupun   sebagian kalangan menganggap hal tersebut   berlebihan.  Dampak dari sisi ekonomi  yang disampaian oleh Badan kebijakan fiskal pada tahun 2012 menggambarkan penerimaan cukai yang hanya sekitar 50T  sangat tidak imbang  untuk  menutupi total kerugian ekonomi secara makro akibat konsumsi merokok yang mencapai angka 245,41T.
Pro si Miskin atau Pro Pemiskinan
Dengan berbagai “drama” terkait tarik menarik regulasi antara yang pro dan kontra tembakau di level “atas”akan menjadikan masyarakat juga semakin  tahu dan paham bagaimana  kemungkinan arah kebijakan ke depan terkait dengan tembakau 
Penulis sangat  sepakat dengan aktivis YLKI  Tulus Abadi yang  menganggap bahwa tindakan Mensos tersebut   akan  menjadikan   masyarakat semakin miskin.  Mensos bukan sedang menjalankan pro poor policy (kebijakan yang pro pada si miskin)  tetapi justru  lebih  jauh lagi  bahwa  pembagian rokok pada masyarakat miskin karena adanya sponsor industri rokok adalah sebuah tindakan  yang terstruktur untuk  memiskinkanan masyarakat (pro pemiskinan masyarakat). Sebuah situasi yang sangat berbeda!
Dalam kasus ini menurut hemat penulis  sikap  top leader -dalam hal ini Bapak Presiden yang terhormat- akan menentukan arah ke depan apakah hasil-hasil pembangunan manusia yang sudah dan akan dilakukan akan semakin mendekatkan dengan berbagai macam indikator dan parameter  sebuah kesuksesan atau justru sebaliknya.  Maka, bola tentang rokok  ada di tangan Anda, Bapak Presiden……
Satu hal yang mengejutkan bahwa biaya konsumsi rokok (serta sirih)  pada masyarakat miskin menempati porsi pengeluaran yang terbesar kedua setelah kebutuhan akan padi-padian sebagai makanan pokok. Sangat ironis bahwa biaya untuk rokok juga berlipat- lipat dari biaya yang dikeluarkan untuk investasi  pendidikan dan kesehatan  yang sebenarnya  sebagai  syarat utama untuk rumah tangga miskin bisa bangkit dari keadaan yang membelitnya.


No comments: