(late post) Tafsir Kompleks di Balik Aroma
Rokok
Tri Astuti Sugiyatmi**
Seorang artis yang sekaligus anggota dewan yang kepergok
kamera sedang merokok di ruang Komisi X
mendapat tanggapan dari beberapa pihak. Tanggapan dari partai
pengusungnya dan fraksinya yang dalam waktu cukup cepat melegakan banyak pihak. Bahkan mereka mengaku
akan memberi teguran dengan alasan dianggap melanggar kode etik. Walaupun terlalu
dini tapi ini menjadi upaya yang cukup
memberi harapan pada masyarakat luas.
Bandingkan dengan apa yang terjadi di eksekutif anggota Kabinet Kerja justru
sebaliknya. Aroma’ rokok sudah tercium dari (anggota) Kabinet Kerja sejak
hari pertama pengumuman dan
pelantikan menteri pada Kabinet Kerja
bentukan Presiden Jokowi . Salah
satu menteri yang terpergok merokok di depan juruwarta juga mengundang
banyak komentar. Sikap yang santai terkait kebiasaan merokoknya tak urung menjadi tanda tanya besar.
Terkait dengan isu rokok di anggota Kabinet juga masih segar
di ingatan kita saat Menteri Sosial (Mensos) Khofifah Indar Parawansa membagikan
bantuan makanannya yang disisipi sejumlah bungkus rokok kepada warga pedalaman
(orang rimba) di Provinsi Jambi. Bila
pemberian rokok yang ditengarai
didanai oleh sponsor rokok adalah
sebuah “kecelakaan” semata maka
seharusnya Mensos akan minta maaf kepada masyarakat luas. Ironisnya sampai
sekarang tidak ada kata permintaan maaf
dari kemensos tentang hal itu. Maka dapat disimpulkan bahwa ini adalah sebuah
kesengajaan.
Dua isu rokok yang berada di wilayah legislative dan
eksekutif yang cukup mencolok itu
menunjukkan perbedaan tanggapan khusunya
pada kasus di atas, menimbulkan
tafsir yang lebih kompleks.
Di sisi lain Kementrian kesehatan sebagai baian dari Kabinet
Kerja sudah mempunyai program yang
terkait dengan pengendalian
pertembakauan. Mulai dari promosi kesehatan tentang bahaya merokok,
program klinik berhenti merokok serta upaya untuk mempersempit ruang gerak para
perokok dengan Kawasan tanpa Rokok maupun kawasan terbatas merokok. Di samping
ada upaya untuk pengaturan iklan merokok di berbagai media.
Sebaliknya di sisi legislative periode sebelumnya justru sangat pro rokok. Yang paling menyolok adalah hebohnya
kronologis hilangnya Pasal 113 ayat 2
dan ayat 3 (ayat yang menggolongkan
tembakau sebagai sebagai zat adiktif dan pengaturan segala hal terkait
tembakau) pada UU 36 tahun 2009 tentang
Kesehatan. Ditengarai hilangnya ayat tembakau ada hubungannya dengan ulah oknum
anggota DPR yang menunjukkan banyak pihak punya kepentingan dalam hal
ini.
Bahkan dalam program legislasi nasional tahun 2013, RUU Pertembakauan juga muncul sebagai usulan
sebuah perusahaan rokok yang juga sangat berpotensi melemahkan aspek
perlindungan masyarakat akibat konsumsi rokok.
Jadi ada sebuah
tafsir yang cukup kompleks yang diperlihatkan pada sebuah kebijakan terutama
rokok antara dewan yang lama (oknum PDIP) dengan dewan yang baru (oknum partai
lawan-PAN). Sedangkan pada eksekutif
keengganann untuk meratifikasi
piagam FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) pada pemerintah SBY dan Jokowi ini masih tetap walaupun khsusunya pada pemerntah sekarang
makin parah khusunya kebijakan pro rokok yang cukup terlihat secara telanjang
seperti pada kasus di atas. Sehingga janganlah heran bila negara kita menjadi satu-satunya negara di Asia yang
belum menandatangani dan mengaksesi kerangka kerja internasional dari badan
kesehatan dunia (WHO) untuk mencegah meluasnya epidemi merokok itu.
Dampak
Akibatnya bisa ditebak bahwa isu kesehatan yang digelindingkan untuk menangkal
produk yang mengandung 4000 zat berbahaya ini tidak akan cukup kuat untuk
menahan gempuran iklan rokok yang
sangat dikesankan positif itu. Papan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) menjadi aturan
semata yang begitu mudah untuk dilanggar.
Gambar seram pada kemasan rokok
bahkan hanya dianggap sepi oleh para pecandu berat.
Studi tentang dampak
rokok yang menunjukkan Angka kesakitan
dan kematian akibat merokok di Indonesia
yang sangat luar biasa tidak pernah
dipakai sebagai bahan untuk mengambil kebijakan publik. Begitu juga dampak sosial dari merokok juga
tidak diragukan lagi tidak sekalipun dilirik untuk menjadi asupan kebijakan.
Bagaimana Usia mulai merokok yang
semakin muda menimbulkan keprihatinan tersendiri. Ditengarai juga bahwa rokok juga menjadi
pintu masuk bagi candu jenis lain seperti
napza (narkoba, psikotropika dan zat adiktif lainnya). Walaupun sebagian kalangan menganggap hal
tersebut berlebihan. Dampak dari sisi ekonomi yang disampaian oleh Badan kebijakan fiskal
pada tahun 2012 menggambarkan penerimaan cukai yang hanya sekitar 50T sangat tidak imbang untuk menutupi total kerugian ekonomi secara makro
akibat konsumsi merokok yang mencapai angka 245,41T.
Pro si Miskin atau
Pro Pemiskinan
Dengan berbagai “drama” terkait tarik menarik regulasi
antara yang pro dan kontra tembakau di level “atas”akan menjadikan masyarakat
juga semakin tahu dan paham
bagaimana kemungkinan arah kebijakan ke
depan terkait dengan tembakau
Penulis sangat
sepakat dengan aktivis YLKI Tulus
Abadi yang menganggap bahwa tindakan
Mensos tersebut akan menjadikan
masyarakat semakin miskin. Mensos
bukan sedang menjalankan pro poor policy
(kebijakan yang pro pada si miskin)
tetapi justru lebih jauh lagi
bahwa pembagian rokok pada
masyarakat miskin karena adanya sponsor industri rokok adalah sebuah tindakan yang terstruktur untuk memiskinkanan masyarakat (pro pemiskinan
masyarakat). Sebuah situasi yang sangat berbeda!
Dalam kasus ini menurut hemat penulis sikap top leader -dalam hal ini Bapak Presiden
yang terhormat- akan menentukan arah ke depan apakah hasil-hasil pembangunan
manusia yang sudah dan akan dilakukan akan semakin mendekatkan dengan berbagai
macam indikator dan parameter sebuah
kesuksesan atau justru sebaliknya. Maka,
bola tentang rokok ada di tangan Anda,
Bapak Presiden……
Satu hal yang mengejutkan bahwa biaya konsumsi rokok (serta
sirih) pada masyarakat miskin menempati
porsi pengeluaran yang terbesar kedua setelah kebutuhan akan padi-padian
sebagai makanan pokok. Sangat ironis bahwa biaya untuk rokok juga berlipat-
lipat dari biaya yang dikeluarkan untuk investasi pendidikan dan kesehatan yang sebenarnya sebagai
syarat utama untuk rumah tangga miskin bisa bangkit dari keadaan yang
membelitnya.
No comments:
Post a Comment