Wednesday, February 24, 2016

KETERKAITAN DBD, ZIKA DAN PERUBAHAN IKLIM

KETERKAITAN DBD, ZIKA DAN PERUBAHAN IKLIM
Dalam beberapa waktu belakangan ini kasus penyakit DBD (Demam Berdarah Dengue) sedang merebak di banyak daerah. Bahkan ada yang sudah menyatakan sebagai wabah. Beberapa daerah kabupaten /kota yang masuk propinsi di Jabar, Jatim, Sumbar dan Sulsel sudah banyak yang menyatakan Status KLB akibat DBD. Korban sakit dan korban meninggal sudah banyak berjatuhan, sementara bangsal di rumah sakit banyak yang penuh.
Penyakit yang disebabkan oleh virus dengue dianggap sebagai penyakit yang datangnya musiman. Biasanya hanya pada saat bulan-bulan ini yaitu saat peralihan dari kemarau ke musim hujan. Hujan yang mulai turun akan menyebabkan air banyak tergenang yang secara otomatis menjadi perindukan nyamuk, bila perilaku masyarakat dalam menerapkan pola hidup bersih sehat masih belum bagus. Ditambah lagi kondisi lingkungan yang buruk seperti sampah yang berserakan yang juga dapat menampung air hujan juga punya kontribusi tersendiri dalam terjadinya outbreak penyakit.
Sementara di belahan bumi lain, di benua Amerika, wabah virus zika (ZIKV) – dengan gejala yang mrip DBD dan angka kematian lebih kecil daripada DBD.,- juga sedang ramai diperbincangkan. Sembilan negara sudah berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB), 21 lainnya berstatus transmisi aktif. Diperkirakan ZIKV bisa menyebar ke Afrika, Asia dan Eropa. Terakhir sudah masuk ke Cina di benua Asia.
Memang dengue berbeda dengan ZIKV akan tetapi ada persamaan antara keduanya. Kedua virus ini masuk dalam kelompok arbovirus . Keduanya juga dapat ditularkan oleh nyamuk yang sama yang terdiri dari Aedes aegypti maupun Aedes albopictus. Melihat kesamaan kelompok virus dan metode penyebarannya maka potensi penyebaran dan risiko ZIKV di Indonesia bisa jadi cukup tinggi, walaupun sampai sekarang dilaporkan masih negatif.
Yang cukup menarik ZIKV juga ditengarai disebarkan lewat cairan tubuh seperti penularan dari ibu hamil ke janin. Adanya dugaan keras ZIKV berhubungan dengan mikrocephalus kongenital (ukuran kepala dan otak bayi yang lebih kecil ) maupun berkomplikasi sindroma Guillain Barre membuat badan kesehatan dunia (WHO) memasukkannya sebagai salah satu kegawatdaruratan kesehatan masyarakat internasional (Public Health Emergency International Concern). Di dalam negeri travel advisory untuk WNI yang akan bepergian ke negara terjangkit juga sudah dikeluarkan.
DBD dan Perubahan Iklim
Fenomena mengganasnya virus dengue saat ini selain akibat faktor perilaku juga dianggap ada kontribusi dari lingkungan. Penelitian beberapa ahli menyatakan penyakit yang cukup mematikan ini dianggap terkait dengan perubahan iklim (PI). Istilah PI atau climate change sendiri sebagai akibat dari kejadian pemanasan global (global warming).
Dalam beberapa studi disebutkan bahwa wilayah yang temperaturnya semakin menghangat dan lembab sangat cocok untuk berkembangnya nyamuk penyebar penyakit. Hal inilah yang mengakibatkan siklus perkawinan dan metamorfosa nyamuk menjadi lebih singkat yang akan menyebabkan jumlah populasi nyamuk akan lebih berkembang. Di samping ada factor curah hujan yang lebih tinggi. Bergabung dengan factor kenaikan jumlah penduduk yang diasumsikan sebagai kenaikan jumlah kebutuhan air bersih dan jumlah penampungan air yang ada maka dapat disimpulkan bahwa ada keterkaitan antara DBD dengan PI.
Walaupun ZIKV sebenarnya sudah lama muncul, tapi hubunganya dengan PI belum tereksplorasi dengan baik. Namun melihat bahwa Sang Penyebar ZIKV juga sama dengan vector DBD maka secara empirik dapat dinyatakan ada kemungkinan ZIKV juga akan menjadi penyakit sebagai dampak perubahan iklim yang berikutnya. Walaupun tentu saja perlu pendalaman dalam hal ini.
Perlu Aksi Adaptasi
Dalam hal wabah DBD yang sedang terjadi di banyak tempat maka yang dibutuhkan sekarang adalah bagaimana memutus rantai penularan secara cepat. Kegiatan penanggulangan pada fokus dan atau wabah di daerah tertular menjadi tanggung jawab semua pihak. Urusan DBD diyakini tidak akan pernah selesai bila hal ini hanya menjadi tanggung jawab dan beban pihak kesehatan baik dinas kesehatan/puskesmas di wilayah terjangkit. Upaya–upaya dalam pengendalian wabah DBD seperti pemakaian insektisida pada pengasapan (fogging) dan penaburan larvasida tidak akan efektif saat tidak ada peran serta masyarakat dalam PSN (pemberantasan sarang nyamuk) yang rutin dan berkelanjutan.
Upaya inovasi dapat juga dalam memperkaya jargon 3M yang sudah lebih dulu ada (menutup, menguras dan mengubur barang bekas) juga bisa terus dikembangkan. Upaya menutup kontainer air dengan bahan yang tetap dapat dilewati air dari talang menjadi sebuah alternatif bagi daerah tadah hujan ataupun memakai ikan pemakan jentik sebagai upaya untuk meningkatkan angka bebas jentik juga patut dikembangkan dengan lebih baik lagi.
Upaya teknis pengamatan kasus, pengendalian vektor terpadu dan penggalangan kemitraan adalah menjadi kunci dalam pengendalian penyakit yang bersumber binatang ini. Sedangkan upaya-upaya kuratif mengobati pasien yang sudah ‘kadung‘ sakit di berbagai fasilitas pelayanan kesehatan adalah menjadi upaya “terakhir” yang dapat dikerjakan. Adanya kemiripan virus dan vektornya antara dengue dan ZIKV menyebabkan upaya pencegahan yang dilakukan juga sama. Dengan menangani DBD secara baik, maka sekaligus sebagai antisipasi terhadap ZIKV juga.
Pada wilayah dan daerah yang belum terkena KLB penyakit, maka secepat mungkin untuk mulai melakukan mapping terkait tingkat kerentanan (vulnerability) yang dimaknai sebagai tingkat kemudahan terkena terhadap kemungkinan wabah penyakit. Pemanfaatan tool SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan) yang diinisiasi oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bisa menjadi satu alternatif karena SIDIK sudah berhasil memadukan banyak variabel dan indikator untuk menilai tingkat kerentanan suatu wilayah terhadap suatu kondisi. Kerentanan akan semakin tinggi manakala tingkat sensitivitas dan tingkat keterpaparan tinggi dengan tingkat kemampuan adaptasi yang rendah.
Dengan mengetahui titik kritis yang menyebabkan kerentanan maka akan tergambar upaya apa yang harus ditingkatkan atau justru harus diturunkan dengan tujuan akhirnya tingkat kerentanan akan berkurang. SIDIK juga akan merekomendasikan prioritisasi dalam upaya adaptasi perubahan iklim.
Tingkat kemampuan adaptasi masyarakat terhadap dampak PI memang harus dibangkitkan. Dalam hal ini upaya membangun kapasitas anggota masyarakat terkait pengetahuan, pemahaman serta ketrampilan tentang suatu hal sangat dibutuhkan. Dalam hal ini wabah dengue dan zika maka komunikasi untuk perubahan perilaku dalam COMBI (Communication For Behavioral Impact) diperlukan untuk disosialisasikan secara terstruktur. Inti dari COMBI ini adalah mengubah masyarakat dari yang tidak tahu menjadi tahu, dari masyarakat yang sudah tahu menjadi mau, dari masyarakat yang sudah mau menjadi mampu. Tentu saja ini terkait dengan kerentanan apa yang dihadapi. Dalam hal ini terkait pencegahan dan penanggulangan DBD maupun potensi dari ZIKV.
Diharapkan hal-hal itulah yang akan berkontribusi untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan yang memiliki ketahanan yang tinggi terhadap semua dampak PI (climate resilience) sebagaimana tujuan bersama yang termaktub dalam Sustainable Development Goals (SDG’s) sebagai kelanjutan tujuan program pembangunan millennium (MDG’s) yang berakhir pada 2015 yang lalu.
( tri astuti sugiyatmi dari rasa prihatin banyaknya kasus)

No comments: