Sunday, July 16, 2017

Para Perokok Itu


Hari ini -bisa jadi -menjadi hari terakhir puasa ramadhan, sebelum besok hari kemenangan tiba. Di sela-sela persiapan mudik ke Jawa bertemu anak dan kerabat maka aku pergi ke pasar siang ini. Niatku hanya pengin cari ikan asin tipis – oleh-oleh khas Tarakan. Tapi ternyata ikan asin tipis sedang kosong. Mungkin sudah sold out sebelum aku datang. Maklumlah dalam kondisi seperti ini pasti banyak yang nyari sebagai buah tangan bagi para perantau atau pengunjung kota.
Karena yang dicari tidak ada maka aku berniat nyari kebutuhan lain aja. Rugi aja sudah kadung keluar tapi nggak dapat apa-apa. Oh bawang putih habis di rumah. Jadilah aku cari-cari bawang putih di sekitar situ.
Pedagang yang pertama, bawang putihnya yang dijual di depannya cukup bagus.besar, dan kelihatan putih bersih. Tapi ah, aku hanya melirik saja. Habis Bapaknya di tangan kirinya terselip rokok yang sedang menyala...aduuh males aja jadinya.
Di pedagang sebelahnya juga ada bawang putih yang cukup bagus dengan pedagang perempuan tapi ternyata pengunjungnya yang sedang berbincang serius dengannya sama dengan Bapak pedagang pertama, terselip rokok di jarinya. Aku mengurungkan niat mampir di situ.
Aku jalan lagi, ada pedagang perempuan yang sedang ngobrol dengan temannya. Ada bawang putih yang tidak terlalu bagus, tidak terlalu putih. Aku memilih-milih bawang dan akhirnya beli di situ. Terakhir, saat aku bayar diaa mengisap rokok dengan santainya. Aduuh...!!
Biasanya aku hampir selalu ‘nyinyir ‘ dengan para perokok itu. Ajak ngobrol sampai diskusi tentang bhaya rokok lah. Atau selalu berpesan ‘jangan untuk beli rokok ya’ kalau kebetulan kasih sedikit kelebihan pembayaran atau apa lah. Niatnya ya kampanye anti rokok sih.
Untuk 2 laki-laki yang pertama aku mafhum, husnudhan saja, mungkin memang non muslim, jadi wajar aja kalo tidak berpuasa seperti ini, namun tetap aja rokok di tempat umum itu lho yang bikin gemes. Memang pasar hanyalah termasuk kawasan terbatas rokok saja sih. Nah yang terakhir, aku sempat terhenyak karena nggak nyangka aja dia akan sedemonstratif itu dalam mengisap benda 12 cm itu. Aku merasa ada sesuatu yang nyesak di dada. Saat itu aku sempat melihat doa-doa yang ditempelkan di pada kotak uangnya yang bisa jadi dia seorang muslim. Sebenarnya aku juga maklum kalo perempuan tidak berpuasa, bisa jadi sedang kedatangan tamu bulanan atau sedang sakit atau safar. Cuma aku sedih aja bahwa betapa perempuan yang kelihatannya masih cukup muda itu sudah tidak punya rasa malu lagi untuk menunjukkan kecanduannya pada rokok pada bulan puasa ini.
Betapa memang data yang menunjukkan adanya kenaikan yang cukup signifikan pada permpuan yang merokok dibanding pada laki-laki menunjukkan wujudnya di depanku. Yah, wanita sebagai perokok aktif tentu saja membuat berbagai ancaman keadaan dan penyakit akan semakin mengintainya. Bila saat wanita jadi the second-hand smoker atau third - hand smoker menjadi keprihatinan tersendiri di saat suami merokok di dalam rumah/ruangan ; eh ini ada seorang wanita muda dengan kesadarannya sendiri dan secara sukarela menjadi perokok aktif yang biasanya dilakukan oleh para pria pencinta tembakau.
Melihat ini aku hanya terdiam. Ada keinginann untuk berkomunikasi lebih lanjut dengan ibu ini, tapi entahlah di satu sisi kok hatiku melarang. Padahal beberapa waktu sebelumnya baru saja aku kopi tulisanku tentang ajakan Ramadhan tanpa rokok dan membagikannya pada beberapa kenalan dan beberapa pedagang langgaanan dan orang di pasar itu. Yang kemarin aku kasih rata-rata bilang “tidak merokok bu” atau menyambut baik ajakan itu. Tapi hari ini rasanya aku tidak mampu berpikir panjang untuk mengajak mereka berhenti sejenak dari kebiasaan lamanya itu. Entah lain waktu, aku akan coba bawakan kopian tentang hal-hal terkait bahaya rokok. Sesuatu yang menurutku hampir pasti akan tidak mudah, karena kelihatan pada kasus yang terakhir bahwa ada kebanggaan yang membuncah akan sebuah perilaku anomali pada seorang wanita perokok di penghujung bulan suci ini.
Kelihatannya memang mereka perlu diajak hitung-hitungan ekonomi saja. Berapa biaya rokoknya yang dikeluarkan dalam sehari, seminggu, sebulan setahun dan seterusnya.
Namun yang seringkali terjadi bagi seorang perokok adalah : biasanya justru tidak pernah hitung-hitungan saat akan beli rokok namun akan sangat berhitung dengan ketat saat memakai uangnya untuk beramal katakan begitu atau untuk beli telur atau susu anaknya. Apalagi untuk biaya pendidikan atau bayar premi asuransi kesehatan. Untuk yang terakhir mungkin nggak terpikir. Ngapain bayar asuransi kesehatan jika perokok sakit juga tetap ditanggung dengan total oleh instnsi penjamin. Wacana bahwa perokok tidak bisa dapat PBI (penerima bantuan iuran) bisa jadi sangat efektif untuk mengurangi kebiasaan yang nggak ada untungnya ini.
Bagi perokok dari golongan pedagang bagusnya langsung diajak hitung-hitungan nyata dari kerugian ekonomi akibat rokok itu. Dan bagus pula bila langsung dikonversikan menjadi barang, motor, mobil atau bahkan rumah. Atau biaya rokok yang dikeluarkan versus keuntungan yang didapat dari bisnisnya itu. Mungkin dengan cara yang ‘mirip’ menghitung untung rugi –seperti pada kebiasaan profesinya akan lebih mudah untuk diterima.
Kebetulan juga siang tadi sebelum ke pasar aku mendengarkan ceramah dai kondang dari Bandung- Aa gym yang berkaitan dengan rokok itu. Aa Gym mencontohkan dan memberi ilutrasi seorang perokok yang ikut Jumatan dan mengantongi 2 nilai uang di saku kanan dan kirinya. Sepuluh ribu rupiah disaku kirinya dan seribu rupiah di saku lainnya. Aa Gym dengan gaya khasnya bilang bahwa perokok itu salah memasukkan uang ke kotak amal bisa menjadi inspirasi tersendiri. Bahwa para perokok menganggarkan rokoknya sekitar Rp 10.000 (sepuluhribu) sementara untuk kotak amalnya hanya Rp 1.000 (seribu). Setelah dihitung-hitung maka pengeluaran untuk rokok jauh lebih besar atau sekitar sepuluh kali lipat dari amal –yang sejatinya akan jadi ‘teman abadi’ pada saatnya kelak. Bila setiap Jumat hanya 1.000 saja maka dalam setahun (48 kali jumat) akan memasukkan ke kotak amal hanya sekitar 48.000/tahun sebuah jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan pengeluaran untuk rokok yang bisa mencapai 3.600.000 per tahunnya.
Bila membandingkan dengan pahala amal, biaya umroh atau haji menurutku hanya kepada perokok ‘telanjur” yang memang masih bisa memaknai sesuatu khususnya pahala sebagai sesuatu yang menjadi berharga suatu saat nanti. Pahala bahkan surga dan neraka adalah tidak kelihatan barangnya (intagible) maka hanya berlaku bagi orang-orang yang meyakini adanya. Bagi yang merasa bahwa akhirat adalah sebuah ilusi maka jangan sekali-kali pakai metode ini. Belum sampai kontennya mereka sudah akan alergi duluan.
Bagi perokok miskin (mohon maaf untuk menyebut yang kekurangan) maka ancaman seorang ulama di Malaysia bisa menjadi terapinya. Bahwa si miskin yang masih nyandu rokok sebaiknya tidak usah dimasukkan dalam golongan penerima zakat. Aku sih sangat setuju. Banyak kasus untuk kebutuhan primer sangat kedodoran tapi untuk rokok yang bukan sebagai kebutuhan-tapi hanya keinginan- mereka bela-belain dengan mengalahkan yang primer-primer. Memang ini masih di negara jiran, bisa jadi suatu ketika dapat dikaji lebih lanjut dan dapat diterapkan di sini juga.
Rokok adalah permasalahan di satu sisi, Perokok dan perilakunya sebagai permasalahan di kutub yang berbeda tetapi antara keduanya sangat erat berkaitan.
Kita sedang berlari dan berkejaran dengan industri rokok (tobbaco industry=TI) yang memang punya segalannya (dana tanpa batas untuk biaya iklan (advertising), promosi serta sponsorship. Kita ( pihak yang pro tobacco control = TC ) hanya punya semangat, karena regulasi pun belum berpihak pada kita. Tujuan masih sangat jauh, tapi pilihannya tetap harus melangkah,walaupun sangat disadari entah kapan sampainya...
Buatku sih, Bismillah saja dan meniatkannya untuk sesuatu yang intagible tadi.........(by. Tri Astuti Sugiyatmi di penghujung Ramadhan 1438H)
Tunjukkan lebih banyak 

No comments: