Klakson panjang
berkali-kali terdengar bersahut-sahutan.
Teeeeeeeeeeeet………….teeettttttttttt.Di
tengah padatnya arus lalu lintas
sore itu aku jadi salting dan merasa bersalah luar biasa. Ah…aku terlambat menyadari kesalahan jalur
yang aku ambil. Seharusnya- menurut mereka sih- aku mengambil jalur paling
kanan karena mau belok kanan. Saat aku
ambil keputusan, ternyata mikirnya agak beda sedikit. Selain itu rute yang baru aku pelajari dan
belum pernah melewatinya, ternyata juga karena jalan itu ada 4 jalur di sisi kiri dengan ditengah pembatas
serta 4 jalur di sisi kanan. Demikian juga jalur di depanku alias di depan lampu merah. 4jalur kanan dan
kiri masing2. Jalan itu seperti perempatan.
Dari sisi 4 mata angin ada jalannya.
Tapi masing2 arah berbeda-beda jumlah
jalurnya. Dan katakan dari arah
barat dan timur misalnya masing2 ada
4 jalur di kiri dan 4 jalur di kanan. Memang lampu lalu lintasnya juga bersusun-susun.
Aku yang ada di sisi katakan barat mau ke selatan…. Saat itu
aku ambil yang nomor 3 dari isi kiri. Kalo yang paling kiri, aku pikir untuk yang mau ambil ke kiri alias ke utara. Nah yang ke dua dari kiri aku
pikir untuk yang mau lurus. Nah untuk jalur ke- 3 dari kiri aku pikir untuk
yang mau ke kanan. Serta yang ke-4 juga
untuk yang ke kanan. Mbingungi yo… aku
juga bingung ki…
Karena ketidakhafalan tentang jalan ini maka aku seperti
tadi jadinya membuat kekisruhan di jalan…he..he. Walaupun belakangan saya juga
melihat mobil angkutan bahan bangunan
yang lokalan dari situ aja juga ambil
jalur yang aku ambil.
Sebenarnya yang mau aku omongin di sini adalah bahwa
menjadi sopir –dalam arti yang sebenarnya
– memang butuh latihan (itu pasti…jangan coba-coba nyetir di jalan raya kalo
masih belum bisa /lancar bawa kendaraan baik motor ataupun mobil). Pengalamanku sendiri saat belum lancer naik
motor- saat inipun tidak bisa- masuk
sawah – dipinggir jalan raya- gara-gara mau ngerem ternyata malah
ngegas. Selain itu ternyata butuh
pengalaman juga ( walaupun tidak harus
banyak banget), karena ini ternyata untuk mengasah kecepatan dalam menentukan
pilihan jalan. Eh kelihatannya ringan tapi aku merasakan dalam beberapa menit
membuat banyak orang jengkel…ternyata berat juga dirasa.
Saat dalam macet itu…….aku langsung weeeng! Teringat dengan
materi yang aku sampaikan pada beberapa waktu sebelumnya. Driver vs passanger. ini sih ngambil dari bukunya Rhenald Kasali (Self Driving). Ya
walaupun beda bahasan yang disini nyetirin kendaraan beneran dan yang satu itu tentang ‘mental model’ seseorang apakah
sebagai sopir atau penumpang. Tapi ini
menurutku memang cukup nyambung…kalo disambung-sambungin.
Seorang dengan mental sopir berbeda dengan yang bermental
penumpang. Penumpang akan masuk ke mobil
hanya tinggal sebut tempat tujuan sama sopir pun maka tanpa berpikir ruwet dan macetnya jalan
maka penumpang akan sampai setelah beberapa saat. Aku sendiri , kalo naik
taksi, ojek atau Go-J*k, maka setelah buka pintu dan sebut tempat tujuan, setelah itu biasanya
asyik sendiri dengan HP atau bahkan tidur pun maka tahu2 sudah sampai tujuan.
Tentu saja ada harga yang harus dibayar juga sih. Tapi setidaknya seorang
penumpang tidak perlu repot belajar nyetir, urus SIM, ngapalin jalan dan menanggung risiko bila ada
sesuatu yang terjadi di jalan.
Bahwa untukmenjadi seorang Driver dibutuhkan “modal” yang
lebih banyak. Kemauan, Keberanian dan
kemampuan. Tentu saja untuk mencapai kemampuan atau kompetensi yang diinginkan
tentu juga butuh modal keuangan.
Bandingkan dengan seorang “penumpang” yang tidak perlu repot-repot kursus katakan, nyari lisensi, mengasah
kemampuan, wawasan dan pengalaman.
Pendek kata untuk menjadi seorang bermental penumpang
memang enak. Tidak menanggung risiko apa-apa. Namun jeleknya ya tidak
akan berkembang kemampuan dirinya. Sebaliknya orang dengan mental driver memang
repot dan kadang melelahkan namun di balik itu ada sesuatu pencapaian yang luar
biasa yang tidak pernah dimiliki oleh seorang
penumpang.
Aku jadi teringat saat aku sharing informasi masalah ini dan materi terkait seperti leadership di dalam
kelas maka yang aku tidak akan pernah lupa salah satunya ada sekitar 8-an mahasiswa
dalam 2 kelas yang berbeda banyak
yang menangis dan tidak kuasa melanjutkan cerita saat disuruh mencari tokoh pahlawan atau idolanya.
Rata-rata yang menangis saat mereka menceritakan bahwa idolanya dia adalah ayah
atau ibunya atau walinya. Surprise
bagiku. Yang tadinya hanya bicara kepemimpinan, memimpin diri sendiri, driver
vs passanger dan sekitarannya, malah
jadi membawa ke pengalaman yang luar biasa. Sesuatu yang aku tdk pernah sangka.
Membicarakan tentang self driving memang sesuatu yang
sungguh berat. Bagaimana ‘menyetir’
dan mengarahkan diri sendiri memang
menjadi pekerjaan yang paling berat. Karena
memang perang terberat katanya adalah perang dengan hawa nafsu sendiri.
Kalo perang yang kelihatan mata maka jelas musuhnya, siapa common enemy
nya, sehingga strategi yang dipasang
pun menjadi bisa dipelajari dengan
baik. Tapi dengan diri sendiri rasanya susah. Rasanya kita akan sulit sekali mengenali
kelemahan sendiri bila tanpa bantuan orang lain. Ya ego kita masih menutupi apa2 yang sudah
tampak kurang pas/kurang elok bahkan yang salah dengan pembenaran-pembenaran
tersendiri.
Sebenarnya memang sudah jelas tampak mana yang lurus dan
yang bengkok. Mana yang ke kanan dan yang kiri, mana hitam dan putih. Namun dengan berbagai alasan/ dalih dan
kadang-kadang sedikit diilmiah-ilmiahkan
maka untuk membedakan yang begitu
seringkali sangatlah sulit.
Men ‘drive’ diri sendiri memanglah sangat sulit. Pertarungan nurani dan hawa nafsu selalu
saja terjadi. Dan kelihatannya inilah sesungguhnya tantangan kita sampai
kapanpun, bahkan keyakinanku adalah sampai
akhir hayat. Men drive diri sendiri
ternyata urusannya sangalah panjang.
Banyak fungsi-fungsi manajemen yang
harus menjadi kemampuan dasarnya.
Prinsip-prinsip P_D-C_A adalah menjadi sebuah keniscayaan. Tapi sekali lagi bahwa karena perangkat
evalusinya -jika dipegang sendiri saja_
akan terasa sangat sulit karena seringkali tidak lagi obyektif. Itulah kenapa tetap
butuh cermin dari luar. masukan, kritik
dan saran dari luar. Namun memang
cermin yang kita pakai pun harus yang mendekati kenyataan. Mungkin
semacam cermin datar- lah kalo dalam fisika. Memang sih cermin cekung dan cembung juga
banyak gunanya, tapi tentu saja dalam kondisi tertentu. Artinya tetap harus cek ricek. Jangan sampai ternyata yang sudah betul-betul
kita percaya memberi masukan yang lebay
atau tidak akurat. Memang dari sini ada tuntutan supaya kita berilmu
yang banyak supaya kita bisa menyaring info, atau apapun dari pihak lain walaupun
dari produk teknologi canggih sekalipun.
Sudah aku buktikan. Karena belum hafal jalan maka aku perlu
panduan GPS dari android dalam menyetir.
Tetapi kadangkala GPS itupun tidak valid
100%. Saat sudah dekat rumah yang aku
tuju, dimana aku sudah hafal mati jalan itu ternyata GPS nya bilang: lokasi
anda terletak disisi kanan jalan. Padahal jelas-jelas di sebelah kiri…. he…he. Tentu saja kalo aku ikuti ke kanan ya kena
rumah orang atau malah jalan buntu.
Jadi bagiku self driving adalah juga bagaimana menyikapi
sebuah berita. Genderang perang
informasi –ideologi sudah ditabuh.
sebuah berita dan data tentang
sesuatu ditanggapi dari banyak sisi dan pandangan. Saat sebuah kebaikan berbagi ditanggapi dengan iri; saat sebuah kejahatan
kemanusiaan hebat ditanggapi sebagai kejadian biasa saja; Saat
sebuah semut dianggap sebesar gajah dan sebaliknya, maka saat itulah kita harus kembali ke sudut sepi yang jarang kita
kunjungi….
No comments:
Post a Comment