Saturday, September 9, 2017

Self Driving



Klakson panjang  berkali-kali terdengar bersahut-sahutan. Teeeeeeeeeeeet………….teeettttttttttt.Di  tengah padatnya arus  lalu lintas sore itu aku jadi salting dan merasa bersalah luar biasa.  Ah…aku terlambat menyadari kesalahan jalur yang aku ambil. Seharusnya- menurut mereka sih- aku mengambil jalur paling kanan karena  mau belok kanan. Saat aku ambil keputusan, ternyata mikirnya agak beda sedikit.  Selain itu rute yang baru aku pelajari dan belum pernah melewatinya, ternyata juga karena jalan itu ada 4   jalur di sisi kiri dengan ditengah pembatas serta 4 jalur di sisi kanan. Demikian juga jalur di depanku  alias di depan lampu merah. 4jalur kanan dan kiri masing2.  Jalan itu seperti perempatan. Dari  sisi 4 mata angin ada jalannya. Tapi masing2 arah  berbeda-beda jumlah jalurnya.  Dan katakan dari arah barat  dan timur misalnya  masing2 ada  4 jalur di kiri dan 4 jalur di kanan. Memang lampu lalu lintasnya  juga bersusun-susun. 
Aku yang ada di sisi katakan barat mau ke selatan…. Saat itu aku ambil yang nomor 3 dari isi kiri. Kalo yang paling kiri,  aku pikir untuk yang mau ambil ke kiri  alias ke utara. Nah yang ke dua dari kiri aku pikir untuk yang mau lurus. Nah untuk jalur ke- 3 dari kiri aku pikir untuk yang mau ke kanan.  Serta yang ke-4 juga untuk yang ke kanan.  Mbingungi yo… aku juga bingung ki…
Karena ketidakhafalan tentang jalan ini maka aku seperti tadi jadinya membuat kekisruhan di jalan…he..he. Walaupun belakangan saya juga melihat mobil  angkutan bahan bangunan yang  lokalan dari situ aja juga ambil jalur yang aku ambil.
Sebenarnya yang mau aku omongin di sini adalah bahwa menjadi  sopir –dalam arti yang sebenarnya – memang butuh latihan (itu pasti…jangan coba-coba nyetir di jalan raya kalo masih belum bisa /lancar bawa kendaraan baik motor ataupun mobil).  Pengalamanku sendiri saat belum lancer naik motor- saat inipun tidak bisa-  masuk  sawah – dipinggir jalan raya- gara-gara mau ngerem ternyata malah ngegas.  Selain itu ternyata butuh pengalaman juga ( walaupun  tidak harus banyak banget), karena ini ternyata  untuk mengasah kecepatan dalam menentukan pilihan jalan. Eh kelihatannya ringan tapi aku merasakan dalam beberapa menit membuat banyak orang jengkel…ternyata berat juga dirasa.
Saat dalam macet itu…….aku langsung weeeng! Teringat dengan materi yang aku sampaikan pada beberapa waktu sebelumnya.  Driver vs passanger. ini sih ngambil dari  bukunya Rhenald Kasali (Self Driving).  Ya  walaupun beda bahasan   yang disini nyetirin  kendaraan beneran dan yang satu itu  tentang ‘mental model’ seseorang apakah sebagai sopir  atau penumpang. Tapi ini menurutku memang cukup nyambung…kalo disambung-sambungin.   
Seorang dengan mental sopir berbeda dengan yang bermental penumpang.  Penumpang akan masuk ke mobil hanya tinggal sebut tempat tujuan sama sopir pun  maka tanpa berpikir ruwet dan macetnya jalan maka penumpang akan sampai setelah beberapa saat. Aku sendiri , kalo naik taksi, ojek atau Go-J*k, maka setelah buka pintu dan  sebut tempat tujuan, setelah itu biasanya asyik sendiri dengan HP atau bahkan tidur pun maka tahu2 sudah sampai tujuan. Tentu saja ada harga yang harus dibayar juga sih. Tapi setidaknya seorang penumpang tidak perlu repot belajar nyetir, urus SIM,  ngapalin jalan dan menanggung risiko bila ada sesuatu yang terjadi di jalan.
Bahwa untukmenjadi seorang Driver dibutuhkan “modal” yang lebih banyak. Kemauan,  Keberanian dan kemampuan. Tentu saja untuk mencapai kemampuan atau kompetensi yang diinginkan tentu juga butuh modal keuangan.  Bandingkan dengan seorang “penumpang” yang tidak perlu repot-repot  kursus katakan, nyari lisensi, mengasah kemampuan, wawasan  dan pengalaman.
Pendek kata untuk menjadi seorang bermental  penumpang  memang enak. Tidak menanggung risiko apa-apa. Namun jeleknya ya tidak akan berkembang  kemampuan dirinya.  Sebaliknya orang dengan mental driver memang repot dan kadang melelahkan namun di balik itu ada sesuatu pencapaian yang luar biasa yang  tidak pernah dimiliki oleh seorang penumpang. 
Aku jadi teringat saat aku sharing informasi masalah ini  dan materi terkait seperti leadership di dalam kelas maka yang aku tidak akan pernah lupa salah satunya ada sekitar 8-an  mahasiswa  dalam 2 kelas yang berbeda  banyak yang menangis dan tidak kuasa melanjutkan cerita saat  disuruh mencari tokoh pahlawan atau idolanya. Rata-rata yang menangis saat mereka menceritakan bahwa idolanya dia adalah ayah atau ibunya atau walinya.  Surprise bagiku. Yang tadinya hanya bicara kepemimpinan, memimpin diri sendiri, driver vs passanger  dan sekitarannya, malah jadi membawa ke pengalaman yang luar biasa. Sesuatu yang aku tdk pernah sangka.
Membicarakan tentang self driving memang sesuatu yang sungguh berat. Bagaimana  ‘menyetir’ dan  mengarahkan diri sendiri memang menjadi pekerjaan yang paling berat. Karena  memang perang terberat katanya adalah perang dengan hawa nafsu sendiri. Kalo perang yang kelihatan mata maka jelas musuhnya, siapa common enemy nya,  sehingga strategi yang dipasang pun  menjadi bisa dipelajari dengan baik.   Tapi dengan diri sendiri rasanya susah.  Rasanya kita akan sulit sekali mengenali kelemahan sendiri bila tanpa bantuan orang lain. Ya  ego kita masih menutupi apa2 yang sudah tampak kurang pas/kurang elok bahkan yang salah dengan pembenaran-pembenaran tersendiri.   
Sebenarnya memang sudah jelas tampak mana yang lurus dan yang bengkok. Mana yang ke kanan dan yang kiri, mana hitam dan putih.  Namun dengan berbagai alasan/ dalih dan kadang-kadang  sedikit diilmiah-ilmiahkan  maka untuk membedakan yang begitu seringkali sangatlah sulit.
Men ‘drive’ diri sendiri memanglah sangat sulit.   Pertarungan nurani dan hawa nafsu selalu saja terjadi.  Dan kelihatannya  inilah sesungguhnya tantangan kita sampai kapanpun, bahkan  keyakinanku adalah sampai akhir hayat.  Men drive diri sendiri ternyata urusannya sangalah panjang.  Banyak fungsi-fungsi manajemen yang  harus menjadi kemampuan dasarnya.  Prinsip-prinsip P_D-C_A adalah menjadi sebuah keniscayaan.  Tapi sekali lagi bahwa karena perangkat evalusinya  -jika dipegang sendiri saja_ akan terasa sangat sulit karena seringkali  tidak lagi obyektif. Itulah kenapa tetap butuh  cermin dari luar. masukan, kritik dan saran dari luar.  Namun  memang  cermin yang kita pakai pun harus yang mendekati kenyataan. Mungkin semacam cermin datar- lah kalo dalam fisika.  Memang sih cermin cekung dan cembung juga banyak gunanya, tapi tentu saja dalam kondisi tertentu. Artinya  tetap harus cek ricek.  Jangan sampai ternyata yang sudah betul-betul kita percaya memberi masukan yang lebay  atau tidak akurat. Memang dari sini ada tuntutan supaya kita berilmu yang banyak supaya kita bisa menyaring info, atau apapun dari pihak lain walaupun dari  produk  teknologi canggih  sekalipun.
Sudah aku buktikan. Karena belum hafal jalan maka aku perlu panduan GPS dari android  dalam menyetir. Tetapi kadangkala  GPS itupun tidak valid 100%. Saat  sudah dekat rumah yang aku tuju, dimana aku sudah hafal mati jalan itu ternyata GPS nya bilang: lokasi anda terletak disisi kanan jalan. Padahal jelas-jelas di sebelah kiri…. he…he.  Tentu saja kalo aku ikuti ke kanan ya kena rumah orang atau malah jalan buntu.
Jadi bagiku self driving adalah juga bagaimana menyikapi sebuah berita.  Genderang perang informasi –ideologi sudah ditabuh.  sebuah  berita dan data tentang sesuatu ditanggapi dari banyak sisi dan pandangan.  Saat sebuah kebaikan berbagi  ditanggapi dengan iri; saat sebuah kejahatan kemanusiaan hebat   ditanggapi sebagai kejadian biasa saja; Saat sebuah semut dianggap sebesar gajah dan sebaliknya, maka saat itulah kita  harus kembali ke sudut sepi yang jarang kita kunjungi….




No comments: