Friday, September 29, 2017

Imunisasi vs Kejadian Luar Biasa/Wabah


Tri Astuti Sugiyatmi*

Berita tentang program masal pemberian vaksin MR (Measles dan Rubella) sebagai vaksin baru di umur 9 bulan s.d 15 tahun 2017 di  pulau Jawa masih menghiasi media  baik online maupun media cetak. Namun sayangnya, yang menonjol hanyalah tentang kejadian yang terjadi pasca imunisasinya bahkan yang kebetulan munculnya bersamaan (koinsiden) sekalipun. Kemunculan iklan layanan masyarakat di TV yang menampilkan tokoh masyarakat serta korban congenital rubella syndrome/CRS (penyakit jantung, ketulian, kebutaan pada bayi) belumlah cukup untuk meng-counter isu-isu negative tentang program imunisasi ini.  Sehingga yang terjadi adalah ketakutan masyarakat yang tidak perlu yang sudah mulai merebak bahkan sampai di luar Pulau Jawa yang baru akan mendapat program ini di fase II yaitu  pada tahun 2018.  Masalah semakin parah karena banyak komentar-komentar negative dari para netizen khususnya di medsos yang tidak berdasar ataupun mendasarkan pada informasi yang hoax.
Jika informasi yang demikian akan menjadi pegangan dari para orangtua maka pada gilirannya mereka akan menolak program yang sebenarnya  punya tujuan yang sangat mulia itu. Pencapaian program akan rendah dan  tidak merata. Pada gilirannya gampang sekali penyakit itu akan masuk melalui orang-orang yang tidak diimunisasi. Sehingga tujuan program imunisasi yaitu melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya dari penyakit  akan menjadi taruhannya.  Pada gilirannya kejadian luar biasa  (KLB)/wabah pun akan menjadi ancaman berikutnya. Wabah itu sendiri merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata yang melebihi keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu. Sementara untuk KLB merupakan peningkatan kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologi yang dapat menjurus ke arah wabah. Jadi adanya peningkatan kasus yang menjurus ke KLB menjadi sebuah early warning akan hadirnya bencana yang lebih besar yaitu wabah, tentu saja  jika tidak ada response yang memadai.
Ada 17 penyakit menurut Peraturan Menkes No 1501/tahun 2010 yang dapat menyebabkan wabah. Sebagian ada yang dapat dicegah dengan imunisasi program yaitu imunisasi yang jenis vaksinnya, jadwal atau waktu pemberian yang ditentukan oleh pemerintah  dan layanannya tidak berbayar. Yang masuk dalam kategori itu misalnya seperti vaksin untuk mencegah campak, difteri, polio, meningitis, hepatitis. Kabar buruknya adalah bahwa ada yang bisa dicegah namun belum masuk dalam  imunisasi program seperti DBD jadi harus berbayar dan biasanya hanya dapat diakses di layanan private. Sebagian lagi memang tidak/belum ada vaksinnya.  Diluar itu  maka ada Merscov, ebola, zika, flu-flu-an sebagai  penyakit infeksi emerging atau new emerging sebagai ancaman wabah atau pandemi antar negara atau benua. Apalagi belum ditemukan vaksinnya sebagai pencegahan yang spesifik.



Imunisasi : Upaya Pencegahan
Sejarah dunia mencatat bahwa  penyakit cacar (smallpox) variola musnah dari muka bumi sejak 25 April 1974 berkat imunisasi.  Anak kelahiran setelah tahun tersebut maka tidak ada bekas “cacar” di lengan kirinya. Penyakit variola yang sangat mengerikan itu  sampai sekarang sudah tidak pernah  ada lagi. Penyakit cacar itu sudah tereradikasi.  Maka tidaklah berlebihan kiranya bila imunisasi ditasbihkan sebagai  menjadi program pencegahan yang paling cost effective (baca: murah)
Namun berbicara program imunisasi saat ini maka banyak sekali  tantangannya. Dengan era teknologi informasi seperti sekarang ini dimana semua orang bisa beropini bahkan menjadi “wartawan“ dengan citizen journalism maka validitas data, bukti, kajian dari para ahli seringkali  tertutupi ataupun kalah dengan dahsyatnya isu  negative yang sedang viral di media on line. Memang pada dasarnya kembali ke karakter  berita bahwa  bad news is good news adalah sebuah keniscayaan. Sementara sesuatu yang memang baik-baik saja seperti tetap sehat setelah program imunisasi, tidak ada kejadian luar biasa ataupun wabah adalah sesuatu yang dianggap biasa saja/normal dan dirasa tidak perlu disampaikan ke masyarakat.
Program imunisasi dikabarkan oleh yang anti vaksin sebagai konspirasi dari dunia barat untuk memperlemah generasi, padahal dari kalangan pro vaksin justru menganggap sebaliknya. Bahwa antivaks digembar-gemborkan adalah supaya umat menjadi lemah dan sakit-sakitan. Jadi  ada dua sisi angle yang berbeda dalam memandang  satu kasus yang sama. Buktinya Negara yang dituduh berkonspirasi juga melakukan program imunisasi seperti di US, Negara Eropa dan wilayah Israel. Sementara negara Islam lainnya juga melaksanakan program ini seperti Arab Saudi, Mesir. Palestina dan Malaysia. Sementara kabarnya malah vaksin ke Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI justru dipasok oleh BUMN Negara kita, PT Biofarma. 
Masyarakat disuguhi ‘perang opini’ yang sangat luar biasa antara pihak yang  pro vaksin vs antivaks yang makin  meruncing.  Beberapa argumen dari kelompok masyarakat yang anti vaksin  menyatakan bahwa tidak adanya jaminan 100% bahwa imunisasi dapat mencegah penyakit menjadi salah satu alasan kuat penolakannya. Untuk masyarakat yang berpandangan seperti itu perlu disadarkan bahwa yang dikelola oleh sebuah program adalah penurunan  faktor risiko. Untuk hasil akhir katakan takdir –bagi umat muslim- mereka terkena atau tidak dari sebuah penyakit sudah bukan domain dari program lagi.
Ada juga yang  beranggapan sudah cukup dengan ASI, jaga kebersihan, makanan yang bergizi, lingkungan yang baik, namun tidak perlu imunisasi. Untuk kasus penyakit yang belum ada vaksinnya, memang hanya itu yang bisa dilakukan disamping memang perlu berobat setelah terkena. Kasus seorang putra dari selebriti  antivaks bisa menjadi contoh.  Baiknya gizi dalam makanan serta lingkungan ternyata  tidak juga bisa mencegah dari serangan penyakit campak yang cukup parah. 
Memang masalah konten juga seringkali menimbulkan pro kontra. Bahan  tambahan vaksin sendiri yang dituduh menyebabkan autis. Bantahan para ahli terhadap bahan tambahan yang diduga penyebab autis sudah banyak dirilis. Muncul masalah lain lagi bahwa vaksin sebagai produk biologi yang berisi mikroorgaanisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan  maka biasanya digeneralisir bahwa  pengolahan  semua vaksin   bersinggungan dengan enzim tripsin babi (porcine). Padahal untuk vaksin rutin hanya polio-lah yang seperti itu, Namun untuk halal haram sebetulnya juga sudah ada  fatwa dari lembaga berwenang  (fatwa Majelis Ulama Indonesia no 4/2016). Untuk masalah yang mendekati wilayah agama maka penulis kembalikan pada ahlinya.
Tantangan lain yang sering mengganggu program ini adalah adanya di blow up nya efek simpang dari imunisasi atau adverse event following immunization (AEFI) atau sering disebut sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI).  Kasus kelumpuhan ataupun kematian yang belakangan dikait-kaitkan dengan vaksin/imunisasi menjadi momentum bagi kelompok antivaks untuk menyerang program ini.
Sebagai bahan yang dimasukkan di dalam tubuh manusia pastilah ada efek simpangnya. Jangankan vaksin, obat  yang biasa dipakai sekalipun juga bisa menimbulkan alergi.  Maka reaksi simpang yang terkontrol dan dipersiapkan segala kemungkinannya adalah sebuah risiko logis dari hadirnya sebuah program. Logikanya saat program belum ada, kasus cukup tinggi. Untuk mengatasi kasus tersebut lahirlah vaksin melalui program imunisasi. Saat cakupan imunisasi meningkat maka penyakit akan menurun  (eliminasi) bahkan bisa sampai hilang sama sekali (eradikasi), namun konsekuensinya KIPI akan muncul. Yang menjadi masalah bila penolakan masyarakat sangat besar pada program maka ancaman KLB sudah ada di depan mata.
Namun dengan kemajuan ilmu dan teknologi maka hal-hal yang seperti itu akan semakin dieliminir  khusus dari vaksinnya. Memang yang tidak bisa diubah adalah reaksi individual yang memang sifatnya sangat custom.
Belajar dari KLB campak di Tarakan-Kalimantan Utara pada 2012 dan 2016 yang menyebabkan masuknya pasien ke RS atau KLB difteri di beberapa daerah Jatim  pada tahun 2011 dan 2012 yang menimbulkan banyak kematian serta KLB polio 2005 di Sukabumi yang menelan korban sampai 350-an balita menjadi lumpuh layuh yang permanen. Pada wilayah tersebut, biasanya cakupan imunisasinya rendah. Hal inilah yang menyebabkan  imunitas komunitas (herd immunity) tidak terbentuk.  Hal ini dapat digambarkan ketahanan sebuah masyarakat terhadap sebuah penyakit akan hadir pada saat sebagian besar penduduknya tahu, paham dan mau mencegah penyakit tersebut dengan imunisasi. BIla masyarakat yang rentan lebih banyak jumlahnya maka ketahanan masyarakatnya akan rendah.   Faktor risiko serta probabilitas  terjangkitnya KLB bahkan wabah akan mudah terjadi .
Sebaliknya pada cakupan imunisasi yang tinggi maka  saat ada kuman atau virus yang masuk maka probabilitas kuman akan bertemu dengan anak yang kebal maka yang tidak imunisasi-pun bila jumlahnya kecil (kurang dari <5 akan="" ikut="" maka="" nbsp="" o:p="" terlindungi.="">
Pada saat KLB/Wabah terjadi maka  akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit, kepanikan pada banyak orang tua, tingginya pengeluaran biaya baik untuk berobat maupun untuk penanggulangan di lapangan. Yang jelas kegiatan imunisasi untuk merespon sebuah wabah atau Outbreak Response Immunization=ORI   akan sangat menyita sumber daya yang ada, baik tenaga dan biaya.

Maka sekarang tinggal menimbang. Imunisasi adalah hak anak namun keputusan ada di tangan orang tua sekalian.   Silahkan !

No comments: