Tri Astuti Sugiyatmi*
Berita tentang program masal
pemberian vaksin MR (Measles dan Rubella) sebagai vaksin baru di umur 9 bulan
s.d 15 tahun 2017 di pulau Jawa masih
menghiasi media baik online maupun media
cetak. Namun sayangnya, yang menonjol hanyalah tentang kejadian yang terjadi
pasca imunisasinya bahkan yang kebetulan munculnya bersamaan (koinsiden) sekalipun.
Kemunculan iklan layanan masyarakat di TV yang menampilkan tokoh masyarakat
serta korban congenital rubella syndrome/CRS
(penyakit jantung, ketulian, kebutaan pada bayi) belumlah cukup untuk meng-counter isu-isu negative tentang program
imunisasi ini. Sehingga yang terjadi
adalah ketakutan masyarakat yang tidak perlu yang sudah mulai merebak bahkan
sampai di luar Pulau Jawa yang baru akan mendapat program ini di fase II yaitu pada tahun 2018. Masalah semakin parah karena banyak
komentar-komentar negative dari para netizen khususnya di medsos yang tidak
berdasar ataupun mendasarkan pada informasi yang hoax.
Jika informasi yang demikian akan
menjadi pegangan dari para orangtua maka pada gilirannya mereka akan menolak
program yang sebenarnya punya tujuan
yang sangat mulia itu. Pencapaian program akan rendah dan tidak merata. Pada gilirannya gampang sekali
penyakit itu akan masuk melalui orang-orang yang tidak diimunisasi. Sehingga tujuan
program imunisasi yaitu melindungi yang bersangkutan dan masyarakat sekitarnya
dari penyakit akan menjadi taruhannya. Pada gilirannya kejadian luar biasa (KLB)/wabah pun akan menjadi ancaman
berikutnya. Wabah itu sendiri merupakan kejadian berjangkitnya suatu penyakit
menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata yang
melebihi keadaan lazim pada waktu dan daerah tertentu. Sementara untuk KLB merupakan
peningkatan kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna secara
epidemiologi yang dapat menjurus ke arah wabah. Jadi adanya peningkatan kasus
yang menjurus ke KLB menjadi sebuah early
warning akan hadirnya bencana yang lebih besar yaitu wabah, tentu saja jika tidak ada response yang memadai.
Ada 17 penyakit menurut Peraturan
Menkes No 1501/tahun 2010 yang dapat menyebabkan wabah. Sebagian ada yang dapat
dicegah dengan imunisasi program yaitu imunisasi yang jenis vaksinnya, jadwal
atau waktu pemberian yang ditentukan oleh pemerintah dan layanannya tidak berbayar. Yang masuk
dalam kategori itu misalnya seperti vaksin untuk mencegah campak, difteri,
polio, meningitis, hepatitis. Kabar buruknya adalah bahwa ada yang bisa dicegah
namun belum masuk dalam imunisasi
program seperti DBD jadi harus berbayar dan biasanya hanya dapat diakses di
layanan private. Sebagian lagi memang tidak/belum ada vaksinnya. Diluar itu
maka ada Merscov, ebola, zika, flu-flu-an sebagai penyakit infeksi emerging atau new emerging sebagai ancaman wabah atau pandemi antar
negara atau benua. Apalagi belum ditemukan vaksinnya sebagai pencegahan yang
spesifik.
Imunisasi : Upaya Pencegahan
Sejarah dunia
mencatat bahwa penyakit cacar (smallpox)
variola musnah dari muka bumi sejak 25 April 1974 berkat imunisasi. Anak kelahiran setelah tahun tersebut maka
tidak ada bekas “cacar” di lengan kirinya. Penyakit variola yang sangat
mengerikan itu sampai sekarang sudah
tidak pernah ada lagi. Penyakit cacar
itu sudah tereradikasi. Maka tidaklah
berlebihan kiranya bila imunisasi ditasbihkan sebagai menjadi program pencegahan yang paling cost effective (baca: murah)
Namun berbicara program imunisasi
saat ini maka banyak sekali
tantangannya. Dengan era teknologi informasi seperti sekarang ini dimana
semua orang bisa beropini bahkan menjadi “wartawan“ dengan citizen journalism
maka validitas data, bukti, kajian dari para ahli seringkali tertutupi ataupun kalah dengan dahsyatnya
isu negative yang sedang viral di media
on line. Memang pada dasarnya kembali ke karakter berita bahwa bad news
is good news adalah sebuah keniscayaan. Sementara sesuatu yang memang
baik-baik saja seperti tetap sehat setelah program imunisasi, tidak ada
kejadian luar biasa ataupun wabah adalah sesuatu yang dianggap biasa
saja/normal dan dirasa tidak perlu disampaikan ke masyarakat.
Program imunisasi dikabarkan oleh
yang anti vaksin sebagai konspirasi dari dunia barat untuk memperlemah
generasi, padahal dari kalangan pro vaksin justru menganggap sebaliknya. Bahwa
antivaks digembar-gemborkan adalah supaya umat menjadi lemah dan sakit-sakitan.
Jadi ada dua sisi angle yang berbeda dalam memandang
satu kasus yang sama. Buktinya Negara yang dituduh berkonspirasi juga
melakukan program imunisasi seperti di US, Negara Eropa dan wilayah Israel.
Sementara negara Islam lainnya juga melaksanakan program ini seperti Arab
Saudi, Mesir. Palestina dan Malaysia. Sementara kabarnya malah vaksin ke
Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI justru dipasok oleh BUMN Negara
kita, PT Biofarma.
Masyarakat disuguhi ‘perang
opini’ yang sangat luar biasa antara pihak yang pro vaksin vs antivaks yang makin meruncing.
Beberapa argumen dari kelompok masyarakat yang anti vaksin menyatakan bahwa tidak adanya jaminan 100%
bahwa imunisasi dapat mencegah penyakit menjadi salah satu alasan kuat
penolakannya. Untuk masyarakat yang berpandangan seperti itu perlu disadarkan
bahwa yang dikelola oleh sebuah program adalah penurunan faktor risiko. Untuk hasil akhir katakan
takdir –bagi umat muslim- mereka terkena atau tidak dari sebuah penyakit sudah
bukan domain dari program lagi.
Ada juga yang beranggapan sudah cukup dengan ASI, jaga
kebersihan, makanan yang bergizi, lingkungan yang baik, namun tidak perlu
imunisasi. Untuk kasus penyakit yang belum ada vaksinnya, memang hanya itu yang
bisa dilakukan disamping memang perlu berobat setelah terkena. Kasus seorang
putra dari selebriti antivaks bisa
menjadi contoh. Baiknya gizi dalam
makanan serta lingkungan ternyata tidak
juga bisa mencegah dari serangan penyakit campak yang cukup parah.
Memang masalah konten juga
seringkali menimbulkan pro kontra. Bahan
tambahan vaksin sendiri yang dituduh menyebabkan autis. Bantahan para
ahli terhadap bahan tambahan yang diduga penyebab autis sudah banyak dirilis. Muncul
masalah lain lagi bahwa vaksin sebagai produk biologi yang berisi mikroorgaanisme
yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan maka biasanya digeneralisir bahwa pengolahan semua vaksin
bersinggungan dengan enzim tripsin babi (porcine). Padahal untuk vaksin
rutin hanya polio-lah yang seperti itu, Namun untuk halal haram sebetulnya juga
sudah ada fatwa dari lembaga berwenang (fatwa Majelis Ulama Indonesia no 4/2016).
Untuk masalah yang mendekati wilayah agama maka penulis kembalikan pada
ahlinya.
Tantangan lain yang sering
mengganggu program ini adalah adanya di blow
up nya efek simpang dari imunisasi atau adverse
event following immunization (AEFI) atau sering disebut sebagai kejadian
ikutan pasca imunisasi (KIPI). Kasus
kelumpuhan ataupun kematian yang belakangan dikait-kaitkan dengan
vaksin/imunisasi menjadi momentum bagi kelompok antivaks untuk menyerang
program ini.
Sebagai bahan yang dimasukkan di
dalam tubuh manusia pastilah ada efek simpangnya. Jangankan vaksin, obat yang biasa dipakai sekalipun juga bisa
menimbulkan alergi. Maka reaksi simpang
yang terkontrol dan dipersiapkan segala kemungkinannya adalah sebuah risiko
logis dari hadirnya sebuah program. Logikanya saat program belum ada, kasus
cukup tinggi. Untuk mengatasi kasus tersebut lahirlah vaksin melalui program
imunisasi. Saat cakupan imunisasi meningkat maka penyakit akan menurun (eliminasi) bahkan bisa sampai hilang sama
sekali (eradikasi), namun konsekuensinya KIPI akan muncul. Yang menjadi masalah
bila penolakan masyarakat sangat besar pada program maka ancaman KLB sudah ada
di depan mata.
Namun dengan kemajuan ilmu dan
teknologi maka hal-hal yang seperti itu akan semakin dieliminir khusus dari vaksinnya. Memang yang tidak bisa
diubah adalah reaksi individual yang memang sifatnya sangat custom.
Belajar dari KLB campak di
Tarakan-Kalimantan Utara pada 2012 dan 2016 yang menyebabkan masuknya pasien ke
RS atau KLB difteri di beberapa daerah Jatim
pada tahun 2011 dan 2012 yang menimbulkan banyak kematian serta KLB
polio 2005 di Sukabumi yang menelan korban sampai 350-an balita menjadi lumpuh
layuh yang permanen. Pada wilayah tersebut, biasanya cakupan imunisasinya
rendah. Hal inilah yang menyebabkan imunitas komunitas (herd immunity) tidak terbentuk.
Hal ini dapat digambarkan ketahanan sebuah masyarakat terhadap sebuah
penyakit akan hadir pada saat sebagian besar penduduknya tahu, paham dan mau
mencegah penyakit tersebut dengan imunisasi. BIla masyarakat yang rentan lebih
banyak jumlahnya maka ketahanan masyarakatnya akan rendah. Faktor risiko serta probabilitas terjangkitnya KLB bahkan wabah akan mudah
terjadi .
Sebaliknya pada cakupan imunisasi
yang tinggi maka saat ada kuman atau
virus yang masuk maka probabilitas kuman akan bertemu dengan anak yang kebal
maka yang tidak imunisasi-pun bila jumlahnya kecil (kurang dari <5 akan="" ikut="" maka="" nbsp="" o:p="" terlindungi.="">5>
Pada saat KLB/Wabah terjadi maka akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit,
kepanikan pada banyak orang tua, tingginya pengeluaran biaya baik untuk berobat
maupun untuk penanggulangan di lapangan. Yang jelas kegiatan imunisasi untuk
merespon sebuah wabah atau Outbreak
Response Immunization=ORI akan
sangat menyita sumber daya yang ada, baik tenaga dan biaya.
Maka sekarang tinggal menimbang.
Imunisasi adalah hak anak namun keputusan ada di tangan orang tua
sekalian. Silahkan !
No comments:
Post a Comment