Merokok bagi sebagian dari kita menjadi kegiatan yang sudah dianggap
sangat biasa. Bahkan kita juga biasa melihat orang merokok dilakukan
sambil menggendong balita/bayi, merokok sambil menyetir kendaraan, saat
bersiap ke rumah ibadah, menarik becak maupun saat rapat super penting
di kantor-kantor pemerintah. Pendeknya merokok selain menjadi kegiatan
sambilan juga kadangkala bisa menjadi kegiatan utama bagi semua kalangan
di hampir semua tempat. Hampir tidak ada area publik seperti di taman,
di angkutan umum maupun di berbagai kantor pemerintahan yang bebas
rokok. Sangat wajar untuk sebuah negara yang belum meratifikasi
mengaksesi kerangka kerja internasional dari badan kesehatan dunia (WHO)
untuk mencegah meluasnya epidemi merokok itu. Mengutip tulisan Prof.
dr. Hasbullah Thabrany dkk, seorang ahli kesehatan masyarakat dari
Universitas Indonesia maka negara kita menjadi surga bagi para perokok
dan industrinya seperti dalam bukunya yang berjudul : Indonesia, the heaven for cigarette companies and the hell for the people.
Walaupun dalam berbagai aturan sudah jelas tercantum seperti UU No 36
Tahun 2009 tentang kesehatan dan berbagai aturan di bawahnya tetapi
eksistensi rokok sebagai bahan adiktif yang merajai semua kalangan
(golongan) dan semua kawasan tidak terbantahkan. Produksi, distribusi,
periklanan sampai pada perilaku masyarakat dalam merokok menjadi
pekerjaan rumah (PR) yang masih menggantung. Bahkan Indonesia tercatat
menjadi satu-satunya di negara Asia Pasifik yang belum meratifikasi Framework Convention of Tobacco Control (FCTC).
Burke Fishburn menegaskan menciptakan lingkungan bebas asap rokok
adalah satu satunya strategi yang memberikan perlindungan dari bahaya
asap rokok lain. Di sisi lain, merokok seperti diketahui menjadi salah
satu faktor risiko untuk berkembang mejadi penyakit tidak menular (PTM)
seperti kanker, kencing manis dan darah tinggi. Sehingga sangatlah wajar
bila sekarang angka kesakitan PTM juga mengalami kenaikan yang sangat
berarti bahkan menduduki beberapa urutan dalam 10 besar penyakit.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
Dari hal-hal tersebut, muncullah kepentingan untuk menciptakan
Kawasan Terbatas Merokok dan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Dalam pembahasan
ini maka penulis akan lebih fokus pada KTR sebagai sebuah istilah yang
mengacu bahwa di dalam area/kawasan tersebut tidak boleh ada 'sesuatu'
yang berhubungan dengan rokok. Seperti iklan rokok dalam bentuk banner, leaflet, toko/warung penjual rokok, ruang khusus merokok maupun asbak untuk membuang puntung rokok.
Istilah Kawasan Tanpa Asap Rokok (KTR) muncul karena dianggap tidak
ada batas aman asap rokok terhadap orang lain. Penerapan KTR 100%
berarti tidak menyediakan ruang untuk merokok dalam bentuk apapun baik
yang berventilasi maupun yang menggunakan penyaring udara, karena
dianggap tidak dapat secara penuh melindungi paparan dari asap rokok.
Sementara indikator kepatuhan KTR terdiri atas 8 komponen yaitu 1)
tidak ada orang merokok;2) tidak terdapat ruangan khusus merokok; 3)
terdapat tanda larangan merokok; 4) tidak tercium asap rokok; 5) tidak
terdapat asbak/ korek/pemantik ; 6) tidak ditemukan puntung rokok; 7)
tidak ditemukan adanya indikasi merek atau sponsor, promosi dna iklan
rokok di area KTR serta 8) tidak ditemukan penjualan rokok pada sarana
kesehatan, sarana belajar/sekolah, sarana terkait dengan anak, sarana
ibadah, tempat kerja serta tempat umum dan sarana olahraga kecuali di
pasar modern/mall, hotel, restaurant, tempat hiburan dan pasar
tradisional.
Sampai saat ini, penerapan KTR di beberapa tempat seperti di
fasilitas kesehatan dan fasilitas pendidikan /sekolah sudah dicanangkan.
Tetapi diakui bahwa kegiatan penerapan KTR masih belum ideal sesuai
dengan tujuannya. KTR total di berbagai tempat yang seharusnya steril
dari hal-hal yang berbau rokok kadang masih sulit diterapkan. Kegiatan
yang terkait merokok masih ditemukan di sana-sini. Di tempat-tempat
tersebut masih sering dijumpai petugas maupun pengunjung yang merokok.
Pengunjung yang melanggar peringatan KTR beralasan karena
ketidaktahuan karena tanda-tanda peringatan KTR hanya dipasang di
wilayah tertentu. Sementara bagi para 'penghuni' dan 'orang dalam'
institusi tersebut yang melanggar peringatan KTR itu biasanya karena
adanya kesengajaan. Khusus untuk para perokok berat aturan KTR menjadi
sebuah siksaan tersendiri dan biasanya karena sudah tidak bisa menahan
untuk tidak mengisap rokok sebagai sebuah alasan dan pembenaran saat
melanggar peringatan KTR.
Tentu saja para pengunjung dan penghuni yang sudah tahu aturan KTR
akan sembunyi-sembunyi dalam mengisap rokoknya. Tempat favorit yang
tersembunyi biasanya seperti dekat pojok belakang dan tempat-tempat yang
nyaman untuk kumpul bersama seperti kantin/ garasi /parkir/ tempat
olahraga di institusi tersebut.
Puntung rokok juga kerapkali ditaruh dalam sela-sela bunga dalam pot
atau dibuang sembarangan. Dalam hal 'kesengajaan' biasanya puntung rokok
cenderung akan "disembunyikan". Walaupun tidak ada asbak yang 'resmi'
dipajang tetapi ternyata apapun bisa menjadi asbak seperti kaleng bekas
minuman, botol air kemasan kosong dan bahkan gelas/cangkir tempat air
minum sehari-hari.
Luru Utis Sebagai Sistem Monitoring Efektivitas KTR
Banyaknya pihak yang merasa terancam dengan penerapan KTR memunculkan
banyaknya pelanggaran penerapan KTR. Bila tanpa sistem monitoring yang
baik maka efektivitas KTR seringkali dipertanyakan. KTR dianggap masih
sebatas papan nama yang dipasang di wilayah tertentu tanpa tahu apakah
cukup efektivitas atau tidak. Sehingga disinilah diperlukan sebuah
monitoring untuk melihat efektivitas KTR dari waktu ke waktu.
Menurut hemat penulis kegiatan luru utis - sebuah istilah dari bahasa
Jawa yang berarti mencari puntung rokok- dimana pada beberapa waktu
lalu punting rokok mempunyai nilai ekonomi tersendiri- dapat menjadi
sebuah aktivitas yang dapat dipakai untuk memantau efektivitas penerapan
KTR di lingkungan tertentu. Dalam praktiknya, luru utis tidak hanya
mencari dan menghitung puntung rokok saja. Tetapi juga bisa diperluas
pada perangkat pendukung kegiatan merokok seperti asbak, korek
api/pemantik api, serta bungkus rokok. Dalam beberapa kasus kegiatan
luru utis juga dapat menemukan perokok yang sedang menghisap rokok di
kawasan KTR. Maka tidak berlebihan bila luru utis selain alat untuk
monitoring KTR juga punya manfaat untuk melihat salah satu indikator
kepatuhan petugas dan pengunjung serta untuk lebih meningkatkan promosi
untuk keberadaan KTR itu sendiri.
Pelaksanaan luru utis secara teknis dapat dilakukan setiap hari Jumat
saat laskar KTR (relawan luru utis) sekitar 1 jam akan mengumpulkan
semua puntung rokok yang ditemukan di dalam areal pagar institusi KTR.
Bukan hanya puntung rokok yang dicari tetapi juga sekaligus mencari
bungkus rokok, korek api maupun asbak Pengumpulan bisa dimulai sekitar
jam 07.30-08.30 Wib. Program ini bisa berjalan tanpa biaya. Program ini
juga bisa dilakukan sambil kegiatan Jumat bersih ataupun kegiatan
olahraga di hari Jumat.
Dalam setiap minggunya hasil pencarian dan pengumpulan puntung rokok
akan dihitung jumlahnya. Data yang masuk dianalisa untuk melihat
perkembangannya. Disadari juga masih banyak puntung rokok yang 'lolos'
yang tidak ikut terhitung karena sudah masuk ke tempat sampah dan
dibuang oleh petugas kebersihan.
Dari evaluasi tim luru utis maka seringkali didapatkan hasil yang
cenderung menurun pada awal kegiatan, tetapi di beberapa waktu
berikutnya masih terdapat kenaikan jumlah puntung rokok yang ditemukan
(fluktuatif). Begitu pula jumlah petugas dan relawan luru utis yang
terlibat bisa jadi masih belum terlalu banyak dan fluktuatif. Seringkali
bahkan berkurang karena tergantung kesibukan masing-masing personel.
Supaya hasil monitoring terdokumentasi maka disarankan untuk
menayangkan dalam sebuah pengumuman secara berkala. Bila hasil belum
menunjukkan trend penurunan maka relawan luru utis tidak perlu berkecil
hati karena dapat diartikan sebagai 'cambuk' untuk lebih
mensosialisasikan KTR sebagai sebuah kebijakan yang harus diperjuangkan.
Implikasi dari praktik luru utis adalah makin menguatnya isu KTR di
institusi tersebut. Dalam jangka panjang yang diharapkan adalah
munculnya kesadaran komunal bahwa merokok adalah sebuah kegiatan yang
akan menghamburkan sumber daya yang sudah sangat terbatas : uang, waktu
dan kesehatan.
Maka, selamat melakukan luru utis...
Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi*
No comments:
Post a Comment