Resiliensi Kota Tarakan Menghadapi Ancaman
Wabah DBD Meningkat ?
Tri Astuti Sugiyatmi
Beberapa hari lalu Koran ini
menurunkan laporan tentang menurunnya kasus Demam berdarah dengue (DBD) di Kota
Tarakan. Sejak tahun 2010 s.d 2016 angka itu memang cenderung terus
meningkat. Berturut-turut 275, 260, 364,
368, 443, 474, 545 kasus dalam setiap
tahunnya. Hanya di 2011 saja yang menurun tipis dibanding tahun sebelumnya. Khusus
di 2017 sampai akhir November ini angkanya ada pada 122, yang berarti ada
penurunanan jumlah kasus jika dibandingkan waktu yang sama pada tahun 2016. Jumlah
kasus tercatat tahun ini sampai Nov hanya kurang dari 30% dari kasus tahun sebelumnya atau artinya ada
70% penurunan kasus.
Jika membaca data tersebut maka penyakit yang disebabkan virus dengue dan ditularkan
oleh nyamuk Aedes sp sampai sekarang masih
menjadi momok di Kota kita. Seperti pada banyak kota di seluruh
Indonesia dan dunia. Khusus di Kota Tarakan baru pada tahun ini terjadi penurunan
yang cukup signifikan walaupun masih ada 1 bulan lagi ke depan, namun
diperkirakan bahwa angkanya tetap akan jauh di bawah angka kasus pada tahun
2016 lalu.
Prediksi KRAPI
Kota Tarakan sejak
beberapa tahun yang lalu sudah mempunyai dokumen KRAPI
(Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim) yang menyatakan bahwa ada beberapa
hal yang terkait dengan perubahan iklim dimana salah satunya adalah akan
meningkatnya secara drastis kasus DBD pada tahun 2030 yang akan mencapai angka
ribuan. Hal ini tentu saja berdasarkan pada prediksi dari penelitian yang dilaksanakan
oleh Kementrian Lingkungan Hidup, Bappeda beserta dinas terkait.
Prediksi yang memberikan
warning bagi kita mengingat bahwa
Tarakan sebagai kota pulau yang mempunyai karakteristik dimana dalam setahun
panas dan hujan hampir selalu bergantian bisa dalam setiap minggunya. Tidak seperti kota
lain di daratan pulau Jawa misalnya yang mempunyai batas jelas antara musim
penghujan dan musim kemarau dalam setiap tahunnya. Pada kondisi demikian maka
kemunculan ancaman wabah DBD hanya muncul pada waktu tertentu atau bulan
tertentu saja karena penyakit ini sering dikaitkan dengan musim penghujan.
Mengingat nyamuk itu bertelur di air genangan yang cukup bersih maka kondisi
hujan sepanjang tahun ini menjadikan peluang nyamuk untuk berkembang biak
menjadi lebih besar daripada daerah yang waktu hujannya hanya sekitar 6 bulanan
saja.
Untuk daerah seperti
kota Tarakan maka tidak mengherankan jika kasus muncul sepanjang tahun, dari
Januari s.d Desember. Apalagi
berdasarkan KRAPI tadi juga bahwa suhu
dan kelembaban di kota tercinta ini sangat cocok dan sesuai dengan vector
penyebar DBD yaitu nyamuk aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.
Hal ini juga diperkuat
dengan data masyarakat yang sering
menampung air hujan sangat tinggi karena
air perpipaan yang masih belum memadai. Bila kita melihat rumah-rumah di Kota
Tarakan, maka hampir pasti ada cadangan air
yang ditaruh dalam drum, profil tank, ember dan penampungan dari semen
yang permanen. Rata-rata cadangan air ini diletakkan di bawah talang-talang air
yang akan mengalirkan air hujan ke dalamnya. Namun sayangnya perilaku dan kebiasaan masyarakat dalam menampung air adalah enggan untuk menutup dan mengurasnya, dengan
berbagai alasan. Salah satu yang paling sering adalah bahwa kalau ditutup maka
saat hujan, maka tidak akan mendapatkan air gratis yang secara langsung turun dari
langit tersebut. Air hujan juga akan terbuang sia-sia tidak termanfaatkan. Sedangkan keengganan masyarakat
untuk menguras penampungan air biasanya
terjadi karena mereka takut kehabisan
air saat dibutuhkan. Akibatnya adalah sebuah konsekuensi logis jika Tarakan menjadi sangat rawan DBD, angkanya
cenderung naik terus dari tahun ke tahun dan menjadi endemis di semua
kelurahannya.
Strategi
Adaptasi
Sebenarnya
saat –saat sebelum tahun 2017 ini berbagai
upaya juga sudah dilakukan. Menu-menu wajib dari Kemenkes seperti penanganan
kasus, pemeriksaan angka bebas jentik, pemberian larvasida secara selektif
masal serta pelaksanaan fogging fokus (bila perlu) menjadi sesuatu yang rutin
dilaksanakan dan pemberian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE). Dari sisi pengamatan kasus dan tindak
lanjutnya secara medis dan public health sudah
dilakukan. Pengendalian vektor juga sudah
dilakukan. Satu hal mendasar seperti peran serta masyarakat dan
lintas sektor memang awalnya sangat kurang optimal. Namun memang diakui bahwa bila
sesuatu dikerjakan seperti biasanya business as usual atau tanpa inovasi dan
menyandarkan semua kegiatan hanya di ’pundak’ orang kesehatan dan dinas
kesehatan menjadikan angkanya masih bertahan tinggi dan naik secara tajam mendekati prediksi KRAPI.
Maka
dengan kondisi Tarakan yang secara ‘natural’ menjadi langganan penyakit ini setiap
tahunnya memang dibutuhkan sebuah upaya yang lebih kuat dalam menghadapinya.
Dengan diperkenalkannya dokumen KRAPI dan prediksinya maka menjadikan adanya
dasar ilmiah bertindak dengan lebih baik.
Banyak
kegiatan tambahan yang diperkenalkan dengan dorongan dari hasil KRAPI
tadi. Istilah
strategi adaptasi sebagai upaya penyesuaian kegiatan
dan teknologi dengan kondisi iklim yang disebabkan oleh fenomena perubahan
iklim juga diperkenalkan.
Dengan dorongan dari lembaga donor yang concern dalam hal perubahan iklim maka
strategi adaptasi untuk menghadapi ancaman DBD
juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Upaya dan kegiatan
inovasi terobosan untuk mencoba
menaikkan angka bebas jentik (ABJ) sebagai
indikator antara dikerjakan dengan tujuan pada akhirnya diharapkan dapat menurunkan kasus dan angka kematian yang ada.
Kelahiran
TAD (Topi Anti DBD) pada tahun 2013- sebagai istilah penutup air berpori yang
digunakan ibarat topi pada bagian atas
profil tank, drum, ember- menjadi
strategi adaptasi yang disambut baik.
Selain diharapkan akan menjadi teknologi tepat guna yang akan meningatkan
ABJ maka TAD pada akhirnya diakui dapat
menjadi sumber pemasukan bagi para pembuatnya.
Ada
program 1 rumah 1 Jumantik (1R1J) dari
Kementrian Kesehatan pada tahun 2016/ 2017 yang di Tarakan diadopsi menjadi
program JK 1-1 (1 Jumantik untuk 1 Keluarga). Dengan banyaknya rumah sewa maka
JK1-1 menjadi lebih dapat diterapkan, karena walaupun dalam 1 rumah dengan
banyak keluarga maka penampungan airnya juga
biasanya akan terpisah. Dalam
perkembangannya maka K disini dapat diartikan sebagai kantor, kelas bahkan
kandang.
Upaya
ini dikawinkan dengan keterlibatan CSR (corporate
social responsibility) dari beberapa perusahaan dan badan milik
pemerintah secara nyata juga sudah berperan aktif dalam pemberian bantuan TAD.
Upaya
masif untuk menjadi wadah bagi kolaborasi semua stakeholder yang digagas Dinkes dalam Gema Anti DBD
(gerakan masyarakat Antisipasi DBD) juga menjadi pengikat semua kegiatan. Termasuk dalam kegiatan Gema Anti DBD adalah pemeriksaan penampungan air oleh
mahasiswa kesehatan dari Universitas negeri dan sebuah akademi keperawatan swasta serta
pembagian larvasida untuk penampungan air yang membutuhkan. Tentu saja peranan
para kader kesehatan dan masyarakat pada umumnya juga sangat besar dalam keberhasilan ini.
Kolaborasi
Antar Sektor adalah Kunci
Penyakit
yang disebarkan oleh vector
sifatnya sangat dinamis. Angka Bebas Jentik bisa berubah dengan sangat cepat.
Dari tinggi menjadi rendah maupun
sebaliknya. Upaya 3M di dalam dan di luar rumah dalam sekejap akan menaikkan
ABJ. Sebaliknya jika dalam 1 minggu
tidak ada gerakan apapun untuk mempertahankan
rumah atau kantor tanpa jentik maka dengan cepat juga akan menurun angkanya. ABJ sendiri sebagai indikator antara dihitung dengan
membandingkan rumah yang diperiksa yang
tidak didapatkan jentik dengan semua
rumah yang diperiksa. ABJ dinyatakan
dalam prosentase. Semakin tinggi angkanya maka akan semakin bagus situasinya
dan sebaliknya.
Maka
belajar dari SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks kerentanan Peubahan Iklim ) yang disusun oleh KLHK maka
akan dapat dipelajari bahwa untuk bisa mendapatkan hasil yang lebih sustain
untuk situasi di atas maka perlunya membangan City resilient strategy (strategi ketahanan kota) yang tentu saja
harus diturunkan dalam sebuah rencana aksi nyata.
Sedangkan resiliensi sendiri menurut ensiklopedia
merupakan kemampuan untuk beradaptasi
dan tetap teguh dalam situasi sulit. Resiliensi dibangun dari berbagai macam
hal positif. Maka ketahanan adalah lawan dari kerentanan. Kerentanan (vulnerability) merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure),
sensitivitas (S) dan kapasitas adaptif. Kota Tarakan dengan tingkat keterpaparan dan sensitivitas
tinggi terhadap DBD maka pilihannya adalah pada tingkat kapasitas adaptasi mana
yang akan diambil oleh pemerintah
beserta seluruh masyarakatnya. Maka sudah sangat jelas bilaTarakan hanya ada 3
pilihan yaitu pada kapasitas adaptifnya saja yaitu rendah,
sedang-sedang saja atau tinggi.
Bila
tingkat kapasitas adaptasi rendah, Tarakan menjadi sangat rentan terhadap DBD.
Bila sedang-sedang saja maka Tarakan menjadi agak rentan dan bila kapasitas
adaptasinya tinggi maka akan menjadi kurang rentan. Semua pilihan akan
terpulang kepada kita. Bila ada
penurunan kasus kemungkinann besar karena ketahanan kota mengalami
peningkatan.
Untuk kedepannya menurut hemat penulis maka
penyusunan Perwali ataupun bahkan Perda terkait pencegahan dan pengendalian DBD bisa menjadi salah satu alternatif dalam
upaya membangun ketahanan kota.
Bila tema Intersectoral collaborations for the
prevention and control vector-borne diseases sekarang baru
dalam tahap pengembangan dan
pengkajian oleh University of the Philippine Manila untuk menjadi
rekomendasi bagi pencegahan dan
pengendalian penyakit berbasis vector
untuk seluruh dunia nantinya, maka pada saat ini Tarakan sementara sudah
berhasil berkontribusi dan membuktikan bahwa penanganan
penyakit ini memang membutuhkan kolaborasi antar profesi, antar bidang dan antar sektor.
Untuk itu, jangan lengah !
No comments:
Post a Comment