Thursday, December 7, 2017

Resiliensi Kota Tarakan Menghadapi Ancaman Wabah DBD Meningkat ?




 Resiliensi Kota Tarakan Menghadapi Ancaman Wabah DBD  Meningkat ?

 Tri Astuti  Sugiyatmi
                                                                        

                Beberapa hari lalu Koran ini menurunkan laporan tentang menurunnya kasus Demam berdarah dengue (DBD) di Kota Tarakan. Sejak tahun 2010 s.d 2016 angka itu memang cenderung terus meningkat.  Berturut-turut 275, 260, 364, 368, 443, 474, 545  kasus dalam setiap tahunnya. Hanya di 2011 saja yang menurun tipis dibanding tahun sebelumnya. Khusus di 2017 sampai akhir November ini angkanya ada pada 122, yang berarti ada penurunanan jumlah kasus jika dibandingkan waktu yang sama pada tahun 2016. Jumlah kasus tercatat tahun ini sampai Nov hanya kurang dari 30%  dari kasus tahun sebelumnya atau artinya ada 70% penurunan kasus.
                Jika membaca data tersebut maka penyakit  yang disebabkan virus dengue dan ditularkan oleh nyamuk Aedes sp sampai sekarang masih  menjadi momok di Kota kita. Seperti pada banyak kota di seluruh Indonesia dan dunia. Khusus di Kota Tarakan baru pada tahun ini terjadi penurunan yang cukup signifikan walaupun masih ada 1 bulan lagi ke depan, namun diperkirakan bahwa angkanya tetap akan jauh di bawah angka kasus pada tahun 2016 lalu.
Prediksi KRAPI
Kota Tarakan sejak beberapa tahun yang lalu sudah mempunyai dokumen  KRAPI (Kajian Risiko dan Adaptasi Perubahan Iklim) yang menyatakan bahwa ada beberapa hal yang terkait dengan perubahan iklim dimana salah satunya adalah akan meningkatnya secara drastis kasus DBD pada tahun 2030 yang akan mencapai angka ribuan. Hal ini tentu saja berdasarkan pada prediksi dari penelitian yang dilaksanakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, Bappeda beserta dinas terkait.
Prediksi yang memberikan warning bagi kita mengingat bahwa Tarakan sebagai kota pulau yang  mempunyai karakteristik dimana dalam setahun panas dan hujan hampir selalu bergantian bisa  dalam setiap minggunya. Tidak seperti kota lain di daratan pulau Jawa misalnya yang mempunyai batas jelas antara musim penghujan dan musim kemarau dalam setiap tahunnya. Pada kondisi demikian maka kemunculan ancaman wabah DBD hanya muncul pada waktu tertentu atau bulan tertentu saja karena penyakit ini sering dikaitkan dengan musim penghujan. Mengingat nyamuk itu bertelur di air genangan yang cukup bersih maka kondisi hujan sepanjang tahun ini menjadikan peluang nyamuk untuk berkembang biak menjadi lebih besar daripada daerah yang waktu hujannya hanya sekitar 6 bulanan saja.
Untuk daerah seperti kota Tarakan maka tidak mengherankan jika kasus muncul sepanjang tahun, dari Januari s.d Desember.  Apalagi berdasarkan KRAPI tadi juga  bahwa suhu dan kelembaban di kota tercinta ini sangat cocok dan sesuai dengan vector penyebar DBD yaitu nyamuk aedes Aegypti dan Aedes Albopictus.
Hal ini juga diperkuat dengan data masyarakat yang  sering menampung air hujan  sangat tinggi karena air perpipaan yang masih belum memadai. Bila kita melihat rumah-rumah di Kota Tarakan, maka hampir pasti ada cadangan air  yang ditaruh dalam drum, profil tank, ember dan penampungan dari semen yang permanen. Rata-rata cadangan air ini diletakkan di bawah talang-talang air yang akan mengalirkan air hujan ke dalamnya. Namun sayangnya  perilaku dan kebiasaan  masyarakat dalam menampung air adalah  enggan untuk menutup dan mengurasnya, dengan berbagai alasan. Salah satu yang paling sering adalah bahwa kalau ditutup maka saat hujan, maka tidak akan mendapatkan  air gratis yang secara langsung turun dari langit tersebut. Air hujan juga akan terbuang sia-sia tidak  termanfaatkan. Sedangkan keengganan masyarakat  untuk menguras penampungan air biasanya terjadi  karena mereka takut kehabisan air saat dibutuhkan. Akibatnya adalah sebuah konsekuensi logis jika  Tarakan menjadi sangat rawan DBD, angkanya cenderung naik terus dari tahun ke tahun dan menjadi endemis di semua kelurahannya.
Strategi Adaptasi

                    Sebenarnya saat –saat sebelum tahun  2017 ini berbagai upaya juga sudah dilakukan. Menu-menu wajib dari Kemenkes seperti penanganan kasus, pemeriksaan angka bebas jentik, pemberian larvasida secara selektif masal serta pelaksanaan fogging fokus (bila perlu) menjadi sesuatu yang rutin dilaksanakan dan pemberian komunikasi, informasi dan edukasi (KIE).  Dari sisi pengamatan kasus dan tindak lanjutnya secara medis dan public health sudah dilakukan. Pengendalian vektor  juga sudah dilakukan. Satu hal mendasar seperti peran serta masyarakat dan lintas sektor memang awalnya sangat kurang optimal. Namun memang diakui bahwa bila sesuatu dikerjakan seperti biasanya   business as usual atau tanpa inovasi dan menyandarkan semua kegiatan hanya di ’pundak’ orang kesehatan dan dinas kesehatan menjadikan angkanya masih bertahan tinggi dan  naik secara tajam mendekati prediksi KRAPI.             
                    Maka dengan kondisi Tarakan yang secara ‘natural’  menjadi langganan penyakit ini setiap tahunnya memang dibutuhkan sebuah upaya yang lebih kuat dalam menghadapinya. Dengan diperkenalkannya dokumen KRAPI dan prediksinya maka menjadikan adanya dasar ilmiah bertindak dengan lebih baik.   
                    Banyak kegiatan tambahan yang diperkenalkan dengan dorongan dari hasil KRAPI tadi.  Istilah
strategi adaptasi sebagai upaya penyesuaian kegiatan dan teknologi dengan kondisi iklim yang disebabkan oleh fenomena perubahan iklim juga diperkenalkan.
Dengan dorongan dari lembaga donor yang concern dalam hal perubahan iklim maka strategi adaptasi untuk menghadapi ancaman DBD  juga mengalami perkembangan yang luar biasa. Upaya dan kegiatan inovasi  terobosan untuk mencoba menaikkan angka bebas jentik  (ABJ) sebagai indikator antara dikerjakan dengan tujuan  pada akhirnya diharapkan dapat  menurunkan kasus dan angka kematian yang ada.
                    Kelahiran TAD (Topi Anti DBD) pada tahun 2013- sebagai istilah penutup air berpori yang digunakan ibarat topi pada  bagian atas profil tank, drum, ember-  menjadi strategi adaptasi yang  disambut baik. Selain diharapkan akan  menjadi  teknologi tepat guna yang akan meningatkan ABJ maka TAD pada  akhirnya diakui dapat menjadi sumber pemasukan bagi para pembuatnya.
                    Ada program 1 rumah 1 Jumantik (1R1J)  dari Kementrian Kesehatan pada tahun 2016/ 2017 yang di Tarakan diadopsi menjadi program JK 1-1 (1 Jumantik untuk 1 Keluarga). Dengan banyaknya rumah sewa maka JK1-1 menjadi lebih dapat diterapkan, karena walaupun dalam 1 rumah dengan banyak keluarga maka penampungan airnya juga  biasanya akan terpisah.  Dalam perkembangannya maka K disini dapat diartikan sebagai kantor, kelas bahkan kandang.
                    Upaya ini dikawinkan dengan keterlibatan CSR (corporate social responsibility) dari beberapa perusahaan dan badan milik pemerintah  secara   nyata juga sudah berperan aktif dalam  pemberian bantuan TAD.
                    Upaya masif untuk menjadi wadah bagi kolaborasi semua stakeholder  yang digagas Dinkes dalam Gema Anti DBD (gerakan masyarakat Antisipasi DBD) juga menjadi pengikat semua kegiatan.   Termasuk dalam  kegiatan Gema Anti DBD  adalah pemeriksaan penampungan air oleh mahasiswa kesehatan dari Universitas negeri  dan  sebuah akademi keperawatan swasta serta pembagian larvasida untuk penampungan air yang membutuhkan. Tentu saja peranan para kader kesehatan dan masyarakat pada umumnya juga sangat besar  dalam keberhasilan ini.

Kolaborasi Antar Sektor adalah Kunci
                     Penyakit  yang disebarkan oleh  vector sifatnya sangat dinamis. Angka Bebas Jentik bisa berubah dengan sangat cepat. Dari tinggi  menjadi rendah maupun sebaliknya. Upaya 3M di dalam dan di luar rumah dalam sekejap akan menaikkan ABJ. Sebaliknya jika dalam  1 minggu tidak ada gerakan apapun untuk mempertahankan  rumah atau kantor tanpa jentik maka dengan cepat  juga akan menurun angkanya. ABJ sendiri  sebagai indikator antara dihitung dengan membandingkan rumah yang diperiksa  yang tidak didapatkan jentik  dengan semua rumah yang diperiksa.  ABJ dinyatakan dalam prosentase. Semakin tinggi angkanya maka akan semakin bagus situasinya dan sebaliknya.       
                    Maka belajar dari SIDIK (Sistem Informasi Data Indeks kerentanan  Peubahan Iklim ) yang disusun oleh KLHK maka akan dapat dipelajari bahwa untuk bisa mendapatkan hasil yang lebih sustain untuk situasi di atas maka perlunya membangan City resilient strategy (strategi ketahanan kota) yang tentu saja harus diturunkan dalam sebuah rencana aksi nyata.
                     Sedangkan resiliensi sendiri menurut ensiklopedia merupakan  kemampuan untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam situasi sulit. Resiliensi dibangun dari berbagai macam hal positif. Maka ketahanan adalah lawan dari kerentanan.  Kerentanan (vulnerability) merupakan  fungsi dari keterpaparan (exposure), sensitivitas (S) dan kapasitas adaptif. Kota Tarakan  dengan tingkat keterpaparan dan sensitivitas tinggi terhadap DBD maka pilihannya adalah pada tingkat kapasitas adaptasi mana yang akan diambil oleh  pemerintah beserta seluruh masyarakatnya.  Maka  sudah sangat jelas bilaTarakan hanya ada 3 pilihan  yaitu pada   kapasitas adaptifnya saja yaitu rendah, sedang-sedang saja atau tinggi.
                    Bila tingkat kapasitas adaptasi rendah, Tarakan menjadi sangat rentan terhadap DBD. Bila sedang-sedang saja maka Tarakan menjadi agak rentan dan bila kapasitas adaptasinya tinggi maka akan menjadi kurang rentan. Semua pilihan akan terpulang kepada kita.  Bila ada penurunan kasus kemungkinann besar karena ketahanan kota mengalami peningkatan.   
Untuk kedepannya menurut hemat penulis maka penyusunan Perwali ataupun bahkan Perda terkait pencegahan dan  pengendalian DBD  bisa menjadi salah satu alternatif dalam upaya membangun ketahanan kota.     
 Bila tema Intersectoral collaborations for the prevention and control vector-borne diseases sekarang  baru  dalam tahap  pengembangan dan pengkajian oleh University of the Philippine Manila untuk menjadi rekomendasi   bagi pencegahan dan pengendalian penyakit  berbasis vector untuk seluruh dunia nantinya, maka pada saat ini Tarakan sementara sudah berhasil  berkontribusi  dan membuktikan bahwa penanganan penyakit  ini  memang membutuhkan  kolaborasi antar profesi,  antar bidang dan antar sektor.
Untuk itu, jangan lengah !





No comments: