Hari ini datang kembali berita duka. Temannya si kecil yang masih umur 15 tahunan dipanggil Allah Swt pada hari Jumat ini. Seorang anak yang shalih yang masih belajar di sebuah Pondok. Hanya doa yang kami hantarkan. Al-fatihah ...
Kaget itu reaksi semua teman dan ibu-ibu dalam WAG yang menjadi penghubung kami setelah lulus dari SMP Boarding Luqman al Hakim. Dia masih sangat muda. Namun kembali bahwa untuk mati tidak ada syarat umur tertentu.
Begitupun beberapa hari yang lalu saat beberapa keluarga yang di Jakarta yang memang sudah sakit kronis dipanggil Allah swt. Ada rasa kaget walaupun memang diakui kadarnya lebih kecil dibanding berita kematian yang mendadak. Namun tetap, kita hanya bisa mengirimkan Al Fatihah kepada beliau- beliau itu...
Kematian memang hal yang niscaya. Pasti. Entah kapan datangnya. Harapannya kapanpjn akan husnul khotimah. Mati dengan baik di hadapan Allah swt. Aamiin.
#################################
#################################
Hari- hari ini dunia sedang diliputi kecemasan.Ancaman virus baru Corona makin meluas. Sekian ratus negara terkena. Puluhan ribu sakit dan sekian ribu juga meninggal karena sebab Corona.
Bisa jadi kecemasan hari - hari ini memang karena ancaman Corona tidak main- main. Mati. Saat kematian itu datang maka kondisi akan berubah sama sekali bagi si mati.
Awalnya bernafas lalu tiba- tiba berhenti. Saat itu, semua tidak ada gunanya apapun embel- embel saat hidup. Pangkat, jabatan, harta bahkan keluarga semua akan ditinggalkan.
Menurutku, dalam kondisi wabah - dimana obat dan vaksin belum ditemukan- maka semua orang punya probabilitas yang sama untuk mati. Walaupun dalam kondisi yang sebenarnya akan kembali pada imunitas seseorang dan tentu saja bagaimana "suratan takdirnya" atas ajalnya ( hanya bagi yang mempercayainya saja). Imunitas yang baik yang akan menyebabkan tetap ada peluang untuk sembuh. Lagi-lagi karena belum ajalnya.
Memang tetap ada peluang 50% _50% bagi yang awalnya sehat untuk tetap sehat saat terpapar ataupun jadi sakit dan lantas mati akibat paparan Corona.
Mungkin untuk yang risiko tinggi atau sudah ada penyakit bawaan maka peluang untuk tetap sehat dalam arti tidak terinfeksi Corona setelah terpapar menjadi semakin mengecil. Hal ini juga yang menurutku menghantui pikiran banyak orang.
Itulah yang menyebabkan orang menjadi kalap dan akhirnya mengarah ke panik. Menimbun apa saja (sembako bahkan masker dan hand sanitizer) yang dirasa akan menyelamatkan saat wabah ini makin nyata di depan mata.
Antisipasi akan wabah sangat boleh. Bahkan harus. Bahkan dalam kondisi tenang alias sedang normal sekalipun. Inilah contingency plan yang sudah ditranslasikan jadi rencana kontinjensi. Namun dalam hal ini semua rencana dan tindakan sangat terukur. Sesuatu yang memang kita sadari di sini, semua lemah. Mungkin bisa jadi kelepasan atau tidak dipikirkan.
Saat semua sudah "mak bedunduk" tiba- tiba semua sudah ada di hadapan maka tindakan menjadi tidak terarah.
Namun menurutku maka ketakutan akan kematian itulah yang akhirnya banyak menggerakan orang untuk berbuat sesuatu.
Itulah uniknya waktu mati. Jika kematian jelas waktu datangnya pada seseorang maka memang kita akan cenderung mempersiapkan diri. Beramal yang banyak, berbuat baik, dan akan lebih menghargai apa-apa yang ada sekarang.
Namun problemnya justru di situ bahwa kematian adalah misteri dalam hal waktu dan cara.
Namun setidaknya dengan munculnya Corona dimana bayangan kematian yang semakin mendekat maka bisa kita ambil hikmahnya bahwa kita pun harus bersiap " membawa bekal". Bukan hanya secara fisik kita menyiapkan bahan pokok dan alat pelindung diri sewajarnya tapi juga siap secara ruhani...(waduh amal dan ibadah masih kacau balau begini)...astaghfirullah...
Kemunculan Corona menjadikan "sedih posaitif" yaitu semakin mengingat kematian. Ini kesedihan yang semestinya memberi efek positif. Menggerakkan. Menggerakan untuk berbuat kebaikan dan mensegerakannya. Karena semua berpacu dengan waktu. Hentikan bully membuly. Hentikan caci maki. Mari menebar kebaikan dan perdamaian. Semestinya begitu.
Namun dalam kenyataannya, yang sering terjadi adalah "mati sebelum mati". Pasrah tanpa usaha apapun. Fatalistik.
Dalam range "mati sebelum mati" maka yang terjadi juga mati nuraninya serta mati akal pikirannya. Melakukan panic buying, masih asyik dan rajin membuli, masih berpikir dan bertindak negatif.
Saat Corona ditanggapi dengan kecerdasan spiritual maka akan menpunyai efek yang luar biasa. Menyadari bahwa kita sebagai manusia sangat kecil. Bahkan dengan virus yang harus dilihat dengan mikroskop elektron saja kita tidak ada apa- apanya.
Memang tetap kita akan bebas menafsirkan bagaimana imbasnya ke diri sendiri. Tidak ada paksaan harus ke kanan atau kiri. Semua tergantung persepsi masing- masing.
Menurutku, Saat semua sudah diupayakan dengan baik maka tibalah pada kemampuan tertinggi manusia untuk beradaptasi yaitu tawakal...
Wallahu alam bishawab..
No comments:
Post a Comment