Sunday, March 22, 2020

Saat Kesulitan Corona Menyapa


Hari-hari ini terasa begitu berat dan panjang. Diam di rumah dengan semua problemanya. Bosan, bete dan tidak bisa kemana-mana. Belum lagi urusan anak-anak yang punya keribetan sendiri terkait pembelajaran daring. Beberapa pesan masuk dari guru-gurunya untuk menyelesaikan tugas A dan B yang belum diupload.
"Serasa satpam nih", begitu curhatan seorang emak-emak dalam WAG, saat guru menyampaikan bahwa putranya salah satu yang belum menyelesaikan tugasnya. Itulah kesulitan versi emak - emak hari- hari. Akibatnya perasaan emak-emak di hari-hari ini sering up and down.
Tapi sejatinya kesulitan saat era Corona menimpa semuanya. Tanpa terkecuali. Jangan menganggap bahwa kita yang paling susah akibat si Virus itu.
Buat emak- emak yang tadi - yang tidak kekurangan makanan, yang tetap ada hiburan baik TV, internet dengan beragam fiturnya- maka tidak sepantasnya mengeluh. Bila yang dihitung hanya hal yang terkait kekurangnyamanan saja maka saatnya untuk menengok ke bawah.
Betapa banyak yang orang dan keluarga yang.masih belum tahu apa yang mau dimakan saat sehari saja ada di rumah tanpa bekerja. Bagaimana anak- anaknya mengerjakan tugas sekolah yang berbasis online sementara perangkatnya dan fasilitas tidak ada..
Ayo emak- emak berkelebihan mungkin bisa berbagi rejeki untuk mereka yang kurang beruntung ini. Dengan banyak cara dan ide. Hari kemarin- kemarin aku membaca banyak relawan sudah menyiapkan berbagai program. Basisnya adalah gotong royong. Donasi bagi orang dan keluarga itu mungkin berapa rupiah yang kira-kira cukup untuk 14 hari dalam masa social distancing ini. Ya programnya kurang lebih kayak pemprov DKI yang membagikan berapa rupiah buat bantuan warganya yang terdampak dari upaya menjaga jarak sosial ini.
Bila yang di DKI itu anggaran pemerintah, dalam hal ini pastilah anggaran para dermawan yang peduli. Salut untuk para dermawan dan relawan ini.
Aku yakin juga bahwa para dermawan dan relawan ini juga punya kondisi yang mirip. Sama - sama 'dipenjara' dalam rumah. Bedanya mungkin pada cara pandangnya saja. Mereka rata- rata orang yang pandai menyesuaikan dengan keadaan secara cepat. Adaptasi. Serta selaku mensyukuri apa yang ada. Apapun itu. Tentu juga bahwa menikmati segala yang ada sekarang dan tidak fokus pada apa yang tidak ada.
Tulisan pak Ary Ginanjar Agustian yang ESQ itu dalam tips saat krisis era korona sangat menginspirasi. Beliau bahkan menceritakan sepenggal kisah hidupnya saat hidup dengan keterbatasan dengan makan hanya mie instan saja dulu sekian tahun lalu di Bali. Bahwa sekarang beliau sukses dan terbukti tips nya cukup relevan dengan kondisi hari ini. Dan aku menuliskannya sebagai sifat para pejuang, relawan dan dermawan.
Kesulitan para tenaga medis saat ini yang berupa kelangkaan APD dan disikapi dengan memakai plastik sampah, jas hujan untuk mengganti APD nya membuat aku merasa betapa luar biasanya mereka itu.
Betapa mereka cepat sekali beradaptasi dengan kekurangan APD dan berpikir alternatif. Saat awal muncul berita kalo nggak salah RS di Jabar yang memakai jas hujan maka kita semua mentertawakannya. Tapi saat hampir semua RS pada akhirnya
"mengikuti" nya karena keterbatasan yang ternyata sifatnya merata maka tak ada lagi tawa itu. Yang ada adalah kesedihan dan keharuan. Namun sesungguhnya dibaliknya ada pribadi- ptibadi tangguh yang sangat adaptif. Ada jiwa-jiwa ikhlas mengabdi " Demi Raga Lain" -mengutip judul lagu buat para pejuang kesehatan saat ini. Meninggalkan anak istri atau suami di rumah, orang tua, adik dan kakak demi orang lain.
Ada pilihan lain, tetapi mereka tetap maju terus pantang mundur dengan segala keterbatasannya. Melupakan bahwa merekalah yang selama ini dituduh layaknya tukang palak, mata duitan, yang membangkrutkan asuransi dan banyak hal yang menyakitkan lain. Saat ini, saat semua diminta untuk kembali bekerja dari rumah, maka dokter dan paramedis tetap harus kembali ke pangkalan masing - masing. RS dan puskesmas seta klinik- klinik
Pada titik ini bukan lagi hanya kenyamanan yang terganggu, tapi sudah mencapai hal tertinggi yaitu pertaruhan nyawa. Si virus yang dari pasien akan masuk dan menyerang saat mereka tanpa perlindungan standar. Padahal bertemu dengan pasien, melakukan anamnesa, memeriksa yang berarti berkontak langsung, memberi terapi dan melakukan tindakan adalah sudah kerjaan harian mereka.
Berita meninggalnya 3 dokter dalam sehari kemarin serta paramedis pada hari-hari sebelumnya sangat mengharu biru perasaanku. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Semoga mendapat balasan terbaik dari Allah swt. Bagiku inilah pahlawan kesehatan jaman now...
Al fatihah....
Aku merasa sebagai keluarga besar kesehatan maka rasanya aku perlu mengucapkan terimakasih balik bagi semua pihak yang sudah mengapresiasi kinerja dokter dengan memberikan dukungan dan doa - doa tulus.
Sesungguhnya dalam peristiwa hari- hari ini memberikan pelajaran yang sangat besar bagiku. Bahwa dokter juga manusia biasa yang juga bisa tertular dari penyakit pada pasien yang sedang ditanganinya.
Sehingga adanya gerakan donasi untuk membelikan APD standar dari masyarakat bagiku merupakan bukti bahwa masih banyak pihak yang menghargai dan menyayangi dokter dan semua petugas kesehatan yang berjuang pada garis depan.
Banyak juga pujian dan "tepuk tangan" dari masyarakat yang merasa tertolong saat ini.
Maka pesanku bagi keluargaku yang berkhidmat di bidang kesehatan atau bagi siapapun yang setuju. "Tetaplah fokus pada tugas mulia ini Ayo luruskan niat, supaya semua menjadi bekal saat menghadap Nya kelak".
Bukan bermaksud politis tapi bagiku sangat pas ucapan pak Anies Baswedan bahwa "dipuji tidak terbang dan dicaci tidak tumbang". Supaya tetap terjaga niatnya saat suatu ketika - karena ulah satu dua oknum- pujian berubah jadi hujatan. Aku merasa memang paling sulit bermain di wilayah hati. Karena itulah sesuatu yang hakiki.
Wallahu a'lam bishawab..
Namun by the way, aku bayangkan kesulitan tenaga medis masih akan berjalan lama. Karena semakin banyak kasus maka kebutuhan APD pasti akan semakin meningkat. Sementara dari hitung - hitungan ini belum puncak kasus. Bisa jadi pandemi akan berakhir saat sebagian besar masyarakat sudah kebal, baik yang didapat alamiah artinya terinfeksi dulu atau dari imunisasi. Agaknya membicarakan herd immunity saat ini bisa jadi menimbulkan kengerian tersendiri. Saat vaksin belum ada, sementara kita masih maju mundur dengan hal-hal pembatasan interaksi maka skenario dari pemodelan bisa jadi akan mendekati kenyataan.
Bayangkan saat itu, bagaimana kesulitan petugas medis jika kondisi masih serba terbatas seperti sekarang ini. Hanya tawakal saja yang bisa dilakukan, setelah semua sudah dicoba untuk diikhtiarkan.
Mari saling bantu....

No comments: