Duafa Corona
Aku melihat bapak tua penjual koran - tanpa masker- itu tampak berbincang dengan seorang pengendara motor yang tampak masih cukup muda di sebuah lampu merah. Lantas terlihat ditepuknya bahu penjual koran oleh si anak muda itu. Bapak itu terlihat tersenyum tulus saat akan berlalu. Aku yang berada di sebelah kiri belakang dari si pengendara motor itu hanya menduga-duga saja. Bisa jadi membicarakan si Bapak tua yang masih berjualan koran pagi saat matahari sudah mulai bergeser ke arah barat. Ataukah menganjurkan si Bapak memakai masker ataukah memberikan sebagian rejekinya untuk si Bapak. Entahlah... tapi yang jelas, ada gerimis di hatiku...
Dalam ruas jalan yang sama, terlihat seorang tua yang lain. Wajahnya terlihat datar saja saat membelah keramaian. Tanpa masker. Karung lusuh di bahu kirinya yang ditahan oleh tangan kirinya terlihat menggelembung. Tangan kanannya terlihat membawa besi pejal yang ujung melengkung dan tajam. Aku menilai bahwa bapak yang sudah cukup sepuh itu adalah seorang pemulung. Saat ada seorang pengendara yang memberikan uang, dia tersenyum dan mengucapkan terimakasih.
Lagi- lagi di ruas jalan yang sama lagi di sebuah lampu merah lagi, terlihat penjual koran ibu yang sudah cukup tua terlihat termangu saat di suatu siang tapi masih banyak tumpukan koran pagi yang ada di tangannya. Tanpa masker. Saat ada yang mengulurkan masker ibu sepuh itu terlihat senang. Saat aku lewat balik ternyata masker itupun belum dipakainya.
Itu semua adalah gambaran dhuafa di sebuah ruas jalan saat wabah corona melanda. Aku memotretnya saat dalam perjalanan kilat untuk suatu urusan yang tidak bisa dilakukan secara on line.
Wajah-wajah kuyu yang terlihat sangat lelah. Hari - hari sebelum Corona seringkali aku berbincang dengen mereka -kedua tukang koran- saat berhenti di lampu merah. Rasanya senyum mereka hari ini agak tidak seperti biasanya. Aku merasakan ada keprihatinan yang mendalam. Tumpukan koran yang masih cukup banyak saat berita dalam koran yang dibawanya sudah mulai "basi" mungkin menjadi salah satunya. Bisa jadi hari- hari makin berat saat berita dalam bentuk kertas juga kalah dengan kecepatan berita elektronik yang makin mudah diakses sehingga koran secara fisik akan semakin tergerus. Tentu saja imbasnya pada seretnya penjualan koran yang mereka jajakan.
Istilah duafa di KBBI adalah orang-orang lemah ( ekonomi dan sebagainya). Sementara di wikipedia sebagai istilah umum yang merujuk kepada suatu kondiai seseorang atau kelompok atau golongan dalam ketidakberdayaan baik secara ekonomi maupun secara sosial. Kategori duafa sendiri bisa dari golongan fakir, miskin, fakir miskin atau korban bencana.
Saat ini maka mereka masuk dalam kategori duafa melalui 2 rute. Rute pertama adalah keadaan asal yang memang dalam kondisi fakir / miskin. Dan yang kedua adalah dari rute bencana. Dalam hal ini adalah bencana non alam yaitu Covid-19. Jadi inilah duafa "dua kali".
Mereka hanyalah sebagian kecil dhuafa yang terimbas wabah corona yang bisa jadi sebelum wabah juga sudah dalam posisi lemah - sebagai arti atau definisi dari dhuafa itu sendiri. Namun wabah Corona berpeluang besar menyebabkan mereka semakin nelangsa.
Mereka memang tiap hari memegang dan melihat koran. Namun isi berita dari koran yang dijual bisa jadi mereka tidak baca. Yang dijual memang koran baru jadi mereka tidak mungkin sampai buka-buka beritanya. Paling hanya membaca halaman depan saja.
Dugaan lain mereka pasti melihat berita tentang Corona yang masih jadi headline. Halaman pertama sangatlah kelihatan. Hurufnya sangat besar-besar. Insyaallah terbaca oleh mereka. Namun aku maklum sekali. Barangkali belum ada penyampaian alasan - alasan yang " masuk" untuk kalangan mereka.
Bentuk virus yang tidak terlihat menyebabkan butuh metode khusus untuk menerangkan sama mereka. Apalagi anjuran physical distancing yang otomatis akan ngaruh sama pendapatan harian mereka, aku membayangkan betapa sulitnya menerangkan dan menerapkan pada mereka.
Anjuran - anjuran physical distancing bagi dhuafa tanpa "bekal yang cukup" memang menjadi simalakama. Saat dikerjakan tanpa bekal menjadikan ancaman kelaparan sudah di depan mata. Saat tidak dikerjakan
Maka corona siap-siap merapat. Keduanya berpotensi menyebabkan kesengsaraan dan kesakitan yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Maka corona siap-siap merapat. Keduanya berpotensi menyebabkan kesengsaraan dan kesakitan yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
Memang inilah dilema yang akan terjadi saat terapi radikal di komunitas diterapkan : karantina wilayah atau lockdown.
Jawabannya memang harus ada yang menanggung jika menginginkan program penanggulangan covid -19 berjalan sukses. Semestinya ya pihak otoritas wilayah yang akan mengatasinya.
Tanpa bekal cukup maka akan membawa masalah lain yang sudah mengantri. Mereka akan migrasi sementara ke tempat lain. Pulkam sebelum lebaran. Bila seperti ini maka akan semakin merepotkan karena akan membawa si virus dari daerah merah ke daerah yang bisa jadi masih hijau.
Memang sudah banyak organisasi maupun gerakan di masyarakat yang sudah ikut andil dalam hal ini. Namanya donasi, untuk keberlangsungannya tetaplah menjadi tanda tanya besar.
Harapannya ada social safety net atau jaring pengaman sosial diberikan bagi semua yang duafa terdampak corona. Bukan hanya yang bener - bener sakit dikonfirmasi sebagai penderita Corona saja. Karena sejatinya mereka duafa " dia kali" sejak corona. Aslinya duafa dan ditambah bencana covid 19 jadi statusnya double duafa...
Semoga
No comments:
Post a Comment