Sunday, April 12, 2020

Matinya Empati Saat Pandemi


Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Lagi- lagi hanya kalimat istirja ini yang terucap manakala mendengar berita meninggalnya para pejuang covid-19 yang terus bertambah.
Secara kumulatif para dokter, perawat dan dokter gigi sebagai pejuang di garis depan melawan virus Corona baru sudah mencapai puluhan. Tercatat sampai hari ini sudah 34 totalnya. Bukan jumlah yang kecil. Bahkan termasuk yang tertinggi di dunia.
Sangat menyedihkan. Kurangnya APD standard, tingginya jumlah pasien serta bisa jadi sudah banyaknya OTG ( oranv tanpa gejala) menjadikan korban dari kalangan medis semakin bertambah terus.
Ya bagaimanapun mereka yang di garis depan tentu punya risiko puluhan bahkan ratusan kali lipat dari warga biasa. Peluang untuk kontak positif dan PDP di fasilitas kesehatan memang sudah pasti sangat tinggi. Termasuk praktik pribadi dan RS swasta sekalipun.
Jika pun terdapat APD yang lebih baik maka tetap probabilitas untuk terkena lebih tinggi dari awam. Karena tubuh yang lelah, ditambah asupan yang kurang baik - panjangnya waktu tidak ada asupan saat pakai baju hazmat- menjadikan "disenggol " virus atau bakteri sedikit saja bisa jadi masalah. Apalagi bila ada stress2 nya. Maka tidak heran jika di DKI tercatat sudah banyak sekali tenaga medis yang tumbang.
Aku yang notabene mempunyai keluarga di bagian medis yang cukup banyak di beberapa kota, secara jujur mempunyai perasaan ketakutan ini dan itu. Kalo A, lalu B dan kemudian C maka bagimana ? Perasaan yang sangat manusiawi bukan ?
Hanya pasrah setelah selalu mengingatkan keluarga untuk mana yang harus DO & DON'T. Masker, APD, kebersihan tangan, makanan yang bergizi, enjoy dan happy, banyak berdoa dll adalah setumpuk pesan untuk keluarga tercinta. Ya hanya sebatas itu, sambil berdoa dari jauh semoga mereka sehat dan diberikan perlindungan dari corona ini.
Namun ada berita kemarin cukup mengejutkan. Penolakan pemakaman jenazah perawat terinfeksi Corona di sebuah tempat terasa begitu mengharu biru.
Bagaimana tidak, seorang yang berjuang menolong korban Covid -19 bersama tim dokter, petugas gizi, farmasi, tim triase, petugas pendaftaran dan serta tim cleaning service di sebuah RS, justru mendapat perlakuan yang sangat tidak manusiawi.
Saat jasadnya kalah oleh Corona, maka perlakuan sekitarnya yang menolak jenazahnya menimbulkan kesedihan yang sangat mendalam.
Kesedihan ini sebenarnya sudah terjadi saat berita sebelumnya pada sebagian oknum masyarakat saat pejuang covid-19 masih aktif berjaga di RS - alias saat masih hidup - juga ada yang ditolak oleh sekitarnya.
Adanya stigma bahwa petugas -baik saat hidup ataupin sudah menjadi jenazah- menjadi penyebar virus sehingga layak diperlakukan seperti si Corona- menjadi sangat aneh. Karena sudah berlebihan sekali menyikapinya.
Tentu saja petugas tidak mau mati konyol akibat bergaul dengan si corona. Tetap akan mengusahakan APD, walau sesederhana jas hujan ataupun plastik sampah. Demikian juga saat sudah menjadi jenazah, maka petugas kesehatan lain yang masih hiduplah yang akan mengusahakan protokol covid -19 untuk korbannya. Dengan plastik, kain kafan plastik lagi serta kantong jenazah dan peti di luarnya. Dengan perlakuan desinfeksi pada pernukaan luar pada setiap tahap pembungkusnya.
Dari peristiwa tersebut maka ada 2 hal yang cukup mengherankan bagiku. Yang pertama yaitu perlakuan pada yang hidup: diusir dari kost atau kontrakan tetapi saat diberikan tempat layak sebuah hotel malah dianggap berlebihan.
Yang kedua yaitu perlakuan pada si mayat djmana ditolak pemakamannya karena dianggap masih sangat menular. Pada saat yang sama kelompok lain justru mempermasalahkan pemberian plastik untuk antara lain mencegah cairan tubuh mayat merembes keluar. Kelompok tersebut mempermasalahkan plastik pembungkusnya yang akan mencemari tanah.
Menurutku, ini kenyataan yang aneh adanya pandangan yang sangat berbeda sudut pandang pada satu fenomena yang sama dari 2 kelompok yang berbeda.
Menurutku bagi yang "terlalu" ketakutan sampai mematikan empati pada paravpejuang covid -19 perlakuannya gampang. Alias saat diberi penjelasan bahwa yang baik yang hidup dan yang mejinggal akibat covid -19 tentu sudab diberikan " perlakuan" atau protokol tertentu supaya aman saat "keluar" dari tempat kerja atau kamar mayat.
Biasanya kelompok yang " terlalu" parno akan setuju saat ada pencerahan pada mereka. Intinya kurang "membaca" saja. Buktinya penolak jenazah minta maaf.
Yang sulit adalah pada kelompok yang mengkritisi hotel bagi tenaga medis dan perawat tapi tanpa solusi apapun. Kalau yang ini abaikan saja. Forget it !. Tidak penting membicarakannya karena hanya buang waktu.
Bagi para pejuang lingkungan, hormat dan salut bagi Anda semua untuk memerangi plastik. Namun menurutku saat ini lupakan dulu untuk yang pemakaian plastik pada jenazah corona ini. Karena ini untuk menyelamatkan lebih banyak kehidupan. Semestinya, jenazah corona menjadi pengecualian dari gerakan untuk jaga bumi dari plastik.
Jika alasannya bagaimana nanti plastiknya di dalam tanah. Menurut aku sih saat ini semestinya tidak perlu dipertentangkan. Ada saatnya kita membicarakan hal ini. Ingat, Saat ini kita dikejar Corona. Korban sudah berjatuhan dan butuh penanganan. Jangan sampai kita berdebat untuk hal- hal yang saat ini tidak prioritas.
Pertentangan yang tidak perlu sebaiknya dihentikan. Beberapa " madzab" dengan suhu suhunya memang keluar semua saat pandemi ini. Semua tentu ingin berkontribusi untuk hal terbaik dari setiap sudut pandang ilmunya. Tidak ada yang salah dengan hal ini.
Tapi intinya jangan karena ilmu maka adab dikebelakangkan. Jangan hanya atas nama ilmu justru saling menjatuhkan.
Sedih mendengar bahwa ada "pertengkaran" tidak perlu karena perbedaan angle atau sudut pandang saja.
Melihat matinya empati sebagian dari masyarakat terkait stigma pada petugas nakes menjadikan kesedihan mendalam. Padahal indonesia bahkan dunia juga sedang berduka.
Sesungguhnya pandemi tidak bisa menunggu
Jangan buang waktu !

No comments: