Wednesday, April 29, 2020

Merasa Cukup di Masa Pandemi


"Tidak usah bu, ini sudah banyak" tolak seorang pria tua dengan baju kumal yang awalnya sedang sibuk "mengurus" karungnya sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dadanya. Sikap menolak yang sangat santun. Tidak ada perasaan tertolak yang memalukan dari si pemberi, karena si bapak menolak dengan "baik" bahkan sikapnya menyebabkan keharuan yang luar biasa.
Diperkirakan bapak itu seorang pemulung yang menjelang maghrib masih di jalan raya. Betapa dia merasa tidak harus menumpuk makanan saat sudah ada makanan untuk sore sampai malam atau maksimal besok paginya.
Menolak sesuatu yang sedang dibutuhkan, karena merasa sudah cukup adalah sebuah sikap yang langka. Sekilas terkesan sederhana tindakannya tapi terlihat justru sangat dalam maknanya. Apalagi dalam masa pandemi ini, di mana banyak orang tiba-tiba menjadi kesulitan mencari makanan. Bisa jadi pertimbangan bapak itu adalah bahwa menumpuk makanan basah akan mubadzir. Kemungkinan akan busuk bila tanpa lemari pendingin untuk menyimpannya. Makanya lebih baik ditolak supaya ada kesempatan bagi orang lain untuk mendapatkan. Luar biasa.
Sikap beliau menunjukkan sikap MERASA CUKUP yang berkebalikan dengan MERASA KURANG. Sikap merasa cukup dalam kondisi yang kekurangan seperti beliau, sungguh mengagumkan. Sementara dalam hal harta saat ini yang paling banyak adalah justru yang sebaliknya.
Sikap merasa kurang justru banyak diperlihatkan oleh mereka yang berkelebihan. Memang tidak dapat digeneralisir demikian. Tapi setidaknya fakta bahwa banyak koruptor adalah bukan orang yang kekurangan secara materi. Tapi justru mereka yang terbiasa bergelimang kemewahan. Justru karena terbiasa hidup enak, nyaman maka sejak awal sudah paham untuk tidak pernah jatuh miskin. Akibatnya mereka akan berusaha sepenuh jiwa dan tenaga untuk pat gulipat dan berakhir memanipulasi atau melakukan mark up pada anggaran.
Yang sekarang terjadi juga adalah sikap merasa kurang pada para pejabat yang
kemaruk. Sehingga bagaimana semua relasi atau keluarganya juga didorong untuk "mewarisi" jabatannya. Bagaimana juga para mafia kebutuhan masyarakat yang memborong barang dan menjualnya kembali dengan harga yang mencekik. Mereka semua bukan orang kekurangan tapi mereka merasa kurang.
Itu semua bertolak belakang dengan orang yang tidak berkecukupan tapi tetap merasa cukup seperti bapak tadi. IMHO, bahwa hal merasa cukup atas karunia Allah swt sebagai wujud dari bersyukur. Ini juga yang diyakini sebagai sumber kebahagiaan apapun kondisinya. Sikap positifnya sangat menginspirasi.
1) Si Bapak tua, sudah menunjukkan sikap mau bekerja keras terbukti beliau mencangklong karung sampai sesore ini. 2) Beliau juga tidak mudah berputus asa dalam mencari penghidupan dalam masa sulit ini terbukti bahwa ada sikap optimis yang aku baca dalam tatapan matanya. 3) Beliau juga tidak merasa harus memiliki semuanya saat merasa bahwa akan lebih bermanfaat bagi orang lain. 4) Aku yakin bahwa beliau tidak merasa iri dengki dengan apa yang mungkin akan didapatkan oleh orang lain.
Kesimpulannya bahwa dalam keterbatasan tidak membatasi beliau untuk memancarkan kelebihan dan kekayaannya. Kekayaan hati yang membuat kita pantas malu hati saat masih suka iri dengan rejeki dan keberuntungan orang lain. Yang jelas bahwa apapun termasuk rejeki adalah hak prerogatif dari Allah swt untuk membaginya. Mengapakah kita masih sering merasa bahwa orang yang bergerak dalam bidang yang mirip dengan kita menjadi kompetitor yang harus dilemahkan. Astaghfirullah...
Semoga kita bisa belajar dari Bapak yang menjadi guruku sore itu...
Bapak yang aku tak tahu namanya, semoga berkah dan karunia Allah swt selalu menaungimu dan seluruh keluarga. Semoga Allah swt tetapkan karuniakan rejeki dan kesehatan kepadamu dan keluargamu.
Aamiin yra.

No comments: