Thursday, May 28, 2020

Covid-19, Konspirasi ??

Covid-19, Konspirasi ??
Aku membaca bukunya ibu mantan Menkes : Saatnya Dunia Berubah" itu dulu banget. Saat awal- awal terbit. Bukunya masih ada di rumah jaman kecil kami di Sampang Cialacap.
Sampai sekarang aku belum baca lagi. Cuma mendengarkan dari podcast banyak ragam terkait hal ini.
Yang paling aku bisa tangkap dari buku itu dulu- bahwa saat organisasi kesehatan dunia mau mengambil spesimen virus harus ada MTA (material transfer agreement) - perjanjian saat transfer material khususnya sample. Supaya bisa saling win win solution negara asal virus dan penelitian untuk vaksin. Ini bahasaku sih ya. Intinya negara yang diambil spesimen sebagai bahan pembuat vaksin harus untung juga. Jangan jadi obyek saja.
Menurutku semangatnya disini adalah saling menguntungkan dalam hubungannya dengan vaksin. Dalam podcast ini bukan dan tidak ada yang berbunyi atau bermakna anti vaksin dalam hal ini.
Aku justru melihat semangatnya adalah kemandirian bangsa dalam urusan vaksin. Negara kita punya banyak lembaga hebat. Lembaga biologi molekuler Eijkman, Institute Tropical Disease (ITD) yang dulu kalo nggak salah namanya TDRC ( Tropical Disease Research Center ) di kampus FK Unair. Ada Biofarma yang vaksinnya diproduksi bahkan di distribusi ke negara - negara Islam yang tergabung dalam OKI.
Jadi dari podcast itu aku menangkapnya untuk mengatasi penyakit menular memang bisa dengan vaksin. Yang ditekankan kenapa kita nggak riset sendiri dengan sumber daya sendiri dan tentu seed virus yang dari kita juga.
Jadi yang aku tangkap vaksin tetap perlu untuk beberapa hal yang terkait pencegahan dan pengendalian penyakit. Bukan berarti tidak perlu. Vaksin adalah zat yang dimasukkan dalam tubuh untuk melindungi penyakit tertentu untuk pencegahan saat belum terjadi. Misalnya vaksin meningitis saat mau naik haji atau bahkan hanya umroh. Pemerintah Arab Saudi mewajibkan vaksin meningitis itu sebagai bagian dari syarat mampu (isthitaah) dan menjadi keharusan saat mau masuk area wilayahnya.
Memang banyak cerita tentang meningitis dulu. Bukan hanya meningitis, begitu juga vaksin polio, DPT, dan Campak. Sempat banyak yang menolak karena beberapa alasan.
Sekarang jika kita biarkan pemahaman yang ditangkap setengah- tengah pada beberapa orang akibat informasi itu maka akan ada kesan vaksin dianggap tidak perlu. Apalagi bagi anak- anak.
Vaksin dari program imunisasi dasar yang sekarang sudah ada, jangan sampai terkena imbasnya. Sebelum pandemi saja banyak yang dengan alasan kurang tepat akhirnya menolak vaksinasi.
Sebelum pandemi, saat kita mengedukasi orang yang menolak vaksin, sementara angka cakupan masih sangat rendah. Maka yang kita takutkan adalah kemunculan wabah karena tidak kuatnya pertahanan dari masyarakat sekitarnya yang sudah diimunisasi yang hanya sedikit. Ingat rendahnya cakupan vaksin difteri -yang awalnya ditolak- dan mengakibatkan wabah difteri tahun 2017 lalu. Padahal ada informasi terbaru bahwa penemu vaksin rabies yaitu Louis Pasteur pernah mendapat penghargaan dari penemuannya itu dalam sejarah perkembangan Islam dulunya. Jadi vaksin sudah dihargai oleh dunia Islam sejak lama. Bila ada alasan menolak vaksin karena dianggap menyakiti anak dan hal lain yang dicari-cari maka sebenarnya menjadi agajk aneh juga.
Orang yang sudah kebal maupun sudah diimunisasi di dalam masyarakat ibarat pagar yang akan menjaga apa yang ada di dalam pagar yang mungkin masih ada yang belum dilakukan imunisasi. Nah inilah gambaran dari fungsi kekebalan kawanan atau kekebalan kelompok atau herd immunity itu. Ini aslinya memang sesuatu yang positif sebenarnya. karena yang kebal penyakit polio, difteri, campak, yang sudah ada program imunisasinya di puskesmas / RS memang sudah lebih banyak daripada yang tidak kebal.
Namun jika kita tarik untuk masa sekarang Covid -19, maka jika skenario herd immunity - sebelum ada vaksin yang efektif ( baca : efektif itu berarti "pas " dengan strain virus yang ada atau beredar di negara kita, bisa jadi di setiap negara berbeda jenisnya) yang akan diterapkan maka bisa dibayangkan bagaimana kejadiannya. Saat yang tidak kebal lebih mendominasi daripada yang kebal maka terlalu premature jika mendorong ke arah herd immunity saat ini.
Dalam kondisi wabah masih menggila yang bisa kita ibaratkan binatang buas berkeliaran dengan bebas- sementara "pagar" belum terpasang" maka siapapun bisa diterkam binatang buas itu. Akan banyak sekali kesakitan dan kematian bila dalam waktu dekat.
Memang ada alat proteksi lain seperti masker, kebiasaan cuci tangan pakai sabun, makanan bergizi dll tapi memang hal tersebut bukan pencegahan yang spesifik. Bukan pagar untuk melindungi dari binatang buas, mungkin hanya duri-duri atau ranjau di jalan yang bila kena akan menghalangi Singa -katakan demikian semakin mendekati kawasan tempat kita tinggal. Kalo proteksi lain semua penyakit infeksi rata- rata pencegahannya ya seperti ini, penerapan PHBS ( pola hidup bersih sehat). Sementara Vaksin adalah pencegahan yang spesifik.
Saat kurva masih menanjak naik belum ada turun-turunnya -kecuali beberapa wilayah yang sudah menerapkan PSBB duluan-, tapi sudah dilakukan berbagai pelonggaran PSBB berarti virus masih tetap bergentayangan dan berpindah. Dalam kondisi banyaknya kerumunan menyebabkan potensi guyonan pembicaraan di WAG bahwa "semua akan covid pada waktunya" - sebelum ditemukan vaksin -bisa jadi benar. Hal ini karena kemungkinan paparan akan sangat tinggi dan akan muncul kekebalan alami tanpa vaksin. Ini adalah upaya pengarahan herd immunity yang kepagian.
Di sisi lain, bagi yang lemah dengan berbagai kondisi awal seperti adanya underlying disease ataupun kondisi imunnya lemah maka ini adalah bencana. Kejadian sakit yang bersamaan dalam angka yang besar akan menyebabkan urusan kesehatan menjadi sangat rumit.
Dengan gambaran klinis yang sangat luas maka yang dengan gejala berat ini yang butuh penanganan dan treatmen khusus juga cukup banyak. Nah saat seperti ini memang banyak variabel yang akan mempengaruh. Dokter serta nakes lain dan RS akan kewalahan. Bahkan bisa jadi dokter, nakes dan RS dulu yang akan "kalah" saat upaya pembiaran yang mengarah ke percepatan herd immunity dilakukan.
Bagiku sih juga tetap percaya bahwa dari manapun asal virus maka korban sakit dan meninggal itu nyata. Bila penganut teori konspirasi "garis keras" bilang bahwa ini virus sudah enriched dengan protein 4 x maka aku akan bilang bahwa korban pun sudah jatuh termasuk perawat, bidan dan dokter maka tetap tidak bisa diabaikan, dari mana pun asal virus. Jadi bagi nakes, tidak penting berpikir - pikir asal virus itu alami atau buatan karena tidak ada waktu untuk itu semua. Semua berpikir supaya tidak tertular saja. Itupun sudah cukup melelahkan. Tidak ada istilah dokter dan semua nakes dibohongi dalam hal ini.
Bila memang ada kecurigaan ke arah senjata biologi atau whatever lah maka semestinya ilmuwan terkait bisa riset, riset dan riset untuk membuktikannya. Publish lah saat ada data di jurnal bereputasi untuk dikritisi, bukan sekedar menghubungkan puzzle- puzzle aja dan menyebarkan pada masyarakat awam yang ujungnya pengabaian pada protokol kesehatan.
Bagiku yang keluarga nakes, saat ada yang bilang bahwa ini semua virus buatan - dan disiarkan besar- besaran ke kalangan awam maka kewaspadaan jadi ambyar. Banyak pihak berbalik "menyerang" dokter dan nakes sebagai bagian dari konspirasi itu. Bahkan ada yang bilang sakit dan matinya adalah abal- abal. Aduuuh. Kok jadi gini. Mana ada sakit dan mati yang abal-abal.
Bila ada protokol covid-19 pada jenazah yang belum konfirmasi Covid ya wajarlah. wong untuk periksa aja butuh waktu lama. Belum juga menunggu hasilnya. Apalagi ada yang menutup lab gara-gara SDM nya tertular juga. Berjaga-jaga dengan tetap menganggap sebagai Covid itu lebih baik. Mendingan curiga dan aware tapi pada akhirnya terbukti negatif daripada tenang-tenang saja tapi pada akhirnya terbukti positif.
Bagiku jelas, jangankan kematian yang berarti kehilangan orang- orang yang dicintai bisa pasangan, anak, orang tua, mertua, atau menantu, kerabat dan sahabat - bahkan selembar daun jatuh pun ada dalam pengetahuan Allah swt Sang Pengatur Alam Semesta Raya. Gejala yang muncul saat sakit dan kematian karena Covid-19 sudah menjadi qadarullah pada sebagian orang.
Jadi menurutku dalam vaksin tetap perlu, dengan penekanan vaksin yang efektif yang pas dengan strain yang beredar di negara kita. Bukan diambilkan dari strain dari negara lain. Pencegahan non spesifik juga tetap perlu bahkan harus. Bila ada yang mau riset tentang ini "buatan atau tidak " juga tidak masalah. Asal jangan koar-koar dulu membuat bingung masyarakat awam. Teori-teori konspirasi yang ini -bilapun ada- tentu menjadi konsumsi para pengambil kebijakan di level tertentu. Untuk masyarakat awam, tidak perlu disuguhi sesuatu yang "sulit" dan "masih kontroversi". Memang dalam alam demokrasi tidak masalah apapun orang mau cakap. Tapi setidaknya -harapan kami - nakes dan keluarganya pada umumnya, maka info-info tersebut disalurkan saja pada "yang berwenang". Terus siapa yang berwenang ? Bisa jadi bagian pertahanan negara, ilmuwan yang bekerja di area itu dan para pengambil kebijakan di top level.
Kembali ke laptop bahwa vaksin (yang efektif) dan physical distancing ( berpencar) menjadi sesuatu alternatif yang sangat cocok mengatasi wabah. Sudah dicontohkan sejak jaman dahulu kala.
BIla sekarang berkembang istilah new normal, maka bagiku penerapannya new normal tidak bisa dipaksakan. Apalagi harus dilakukan seluruh wilayah dalam waktu yang bersamaan khususnya sekarang atau dalam waktu dekat. Semestinya, dalam arti situasional sesuai kondisi wilayah masing- masing yang sudah mengalami pelandaian kurva dan sudah stabil. Ya sedikit diatas normal lah. Jika istilah Normal mengacu pada kondisi tidak ada sama sekali covid 19 maka sementara dalam kondisi normal baru ini pasti masih ada kasus tapi sudah jauh menurun dibanding rata- rata saat menuju puncak kasus. Oya tentu saja pelandaian kurva itu yang sesungguhnya. Bukan karena tidak dilakukan tes karena reagen habis, alat ngadat, SDM sakit atau tidak ada alat pengangkut spesimen.
Jujur study from home juga memang berat bagi anak ( yang sudah mulai bosan) dan bagi ortu (yang dengan kemampuan mengajar yang pas - pasan). Namun membiarkan anak kecil usia sekolah berpotensi berkerumun ibarat melepaskannya ke hutan rimba dengan binatang buas tanpa pengaman yang cukup- saat kasus masih dan sedang tinggi tingginya. What's next ? Ya minimal menunggu kasus betul- betul landai. Bahkan Duterte - Phillipine president - baru mau anak sekolah masuk saat ada vaksin. Memang kita bukan Phillipine tapi minimal melihat juga beberapa negara yang sudah membuka sekolah dan kembali ada serangan cluster sekolah maka ini menjadi pertimbangan juga. Apalagi IDAI sudah merilis kematian anak di indonesia yang paling tinggi di ASEAN.
Situasi memang tidak mudah, serba terbatas dalam hal apapun. Mudahan ini menjadi pelecut bagi para peneliti dalam negeri untuk segera mewujudkan mimpi kita semua atau minimal bu SFS dan banyak pihak untuk mulai bergerak ke arah sana (kedaulatan dan ketahanan kesehatan) . Tentu juga bagi pemerintah untuk menyokongnya dengan berbagai kebijakannya.
Moga - moga ya. Hanya bisa berharap.

No comments: