Monday, May 18, 2020

Ignorant pada Masa Pandemi


Banyaknya antrian calon penumpang pesawat di bandara Soeta di masa pandemi menimbulkan banyak pertanyaan dan analisis.
Apakah orang dengan jumlah sebanyak itu, semua memenuhi persyaratan bepergian dalam masa pandemi? Itu adalah pertanyaan yang wajar sekali. Banyak lagi pertanyaan yang masih menggantung berkenaan dengan banyaknya pelanggaran atas PSBB. Social dan physical distancing seolah tidak berlaku.
Mengapa masyarakat terkesan sangat ignorant alias abai, tidak peduli bahkan tidak patuh dengan aturan terkait social dan physical distancing ?
Banyak analisis dan tafsir yang muncul terkait hal itu. Dari sisi sosiologi masyarakat, psikologi, sisi hukum, dan banyak tinjauan lainnya.
Aku jadi teringat suatu diskusi beberapa tahun lampau. Dalam sebuah sesi kegiatan parenting di sebuah sekolah, salah satu wali murid menanyakan sesuatu yang - aku yakin - sering jadi pertanyaan pada banyak orang.
"Kenapa anak - anak cenderung lebih patuh sama orang lain khususnya guru daripada pada orang tuanya sendiri?"
Si pembicara terdiam sejenak dan lantas menjawab, " Anak melihat guru dalam performa terbaik, sementara melihat orang tua dalam kondisi yang seringkali tidak satu kata dan perbuatan. Akibatnya anak menjadi "kurang percaya" sama orang tua dan akibat lanjutannya ya bisa jadi anak akan kurang patuh pada orang tua"
Dari sini aku belajar bahwa ternyata satu kata dengan perbuatan akan memberi dampak yang sangat besar pada anak.
Sebagai contoh saat orang tua mengajarkan dan mengatakan pada anak untuk jangan merokok di satu kesempatan. Tapi di kesempatan lain si Bapak asyik dengan rokoknya saat sore hari. Atau si Bapak justru minta pada anaknya untuk membelikan rokok di warung sebelah.
Dalam kesempatan lain ibu bilang untuk menjadi sukses gunakan waktu dengan baik namun kali lain si anak melihat si ibu ngrumpi berjam- jam dengan tetangga sebelah membicarakan tetangga lainnya.
Memang parenting menjadi PR bagi semua orang tua. Parenting menjadi tugas utama sebagai orang tua. Sebuah ilmu terapan yang merupakan kombinasi dari banyak ilmu: psikologi, pedagogik, budi pekerti, agama dll.
Bahkan sekalipun anak sudah beranjak dewasa maka kegiatan interaksi antara orang tua dan anak - kadang sudah nambah dengan menantu - tetap berlangsung.
Hubungan orang tua dan anak memang terkadang penuh dinamika. Saat anak melihat ketidaksesuaian antara kata dan perbuatan orang tua membuat mereka akhirnya menjadi "bandel".
Tentu dalam menuju kebandelannya bukan hanya 1 faktor itu yang berpengaruh. Masih banyak yang lain. Tapi bisa jadi teladan nyata dari orang tua menjadi faktor.utama.
Apakah ini bisa menjadi salah satu alternatif analisis pada saat sekarang ini. Saat aturan dan kebijakan yang berwenang acapkali berubah - ubah secara random maka bisa jadi membuat masyarakat luas akhirnya mengambi tindakan abai dan tidak peduli.
Saat orang tua suka membingungkan bagi si Anak maka bisa jadi dia akan kesulitan memberi "pembinaan " kepada Sang Anak.
Bagaimana mau memberi pelajaran atau pendidikan pada si Anak tentang sebuah value dan tata nilai sementara untuk konsisten pada value dirinya saja seringkali masih kedodoran.
Dalam situasi demikian maka anak merasa tetap oke - oke saja saat melanggar sekalipun.
Memang dalam hal ini bukan berarti orang tua harus tampil "jaim- jaim gimana" cenderung pencitraan di depan Anak. Orang tua bisa tetap dengan tampilan manusiawinya di depan si Anak namun harus ada imbangannya dalam arti komunikasi harus berjalan baik secara 2 arah. Artinya saat ada kritikan anak pada bapak atau ibunya maka otangtua juga open mind dan mau menerima masukannya.
Pada saat seperti ini maka anak akan "maklum" dengan kekeliruan orang tua dan dialog di antara keduanya membuat pada akhirnya ada kesepahaman dari keduanya.
Sikap open mind orang tua menjadikan anak akan tetap hormat pada nya.
Sebaliknya jika orang tua malahan ngeles atau apalah yang intinya tetap merasa dirinya sajalah yang paling benar dan tidak pernah salah, maka hal ini justru akan semakin menggerus kepercayaan anak pada orang yang seharusnya dihormati dan disayanginya itu.
Sikap otoriter dan menutup pintu dialog orang tua seringkali justru memunculkan sikap yang lebih buruk pada anak. Anak menjadi lebih sulit dirangkul dan bisa jadi jatuh pada "kenakalan" yang lebih berat bahkan bisa menjurus ke arah kriminal. Na'udzubillah.
Sesungguhnya kita juga dapat berperan menjadi keduanya pada saat yang sama. Menjadi anak bagi ortu kita dan atau mertua kita, sekaligus menjadi orangtua bagi anak atau menantu kita.
Semoga kita semua bisa menjalankan peran sebagai anak sekaligus orang tua yang open mind, pembelajar dan siap berubah ke arah yang lebih baik.

No comments: