Saturday, May 9, 2020

Lentera Corona


Pandemi bisa berarti sebuah kegelapan bagi manusia. Betapa tidak, sebuah aktifitas yang biasanya dikerjakan menjadi dibekukan. Semua terasa menjadi lebih muram cenderung gelap.
Sekilas ini tidak berlaku pada hewan karena masa pandemi ini hewan- hewan justru terlihat lebih "happy" dan "enjoy" sehingga sampai "kongkow- kongkow" dan wisata ke tengah kota. Ada singa, ular dan ada banyak hewan lain yang menampakkan diri di kota bahkan di depan manusia seperti banyak laporan
Pandemi menjadi sebuah perjalanan yang ibaratnya melewati terowongan panjang dan belum nampak cahaya di ujungnya.
Suatu ketika di tahun 2012 kami peserta sebuah kursus di Manila dibawa rekreasi ke sebuah terowongan di pulau Corregidor, pulau bersejarah peninggalan perang dunia II di Philipine. Mungkin seperti pulau Tarakan di Kalimantan Utara yang banyak ditemukan jejak PD II di indonesia. Di dalamnya banyak sekali peninggalan bersejarah. Semua lokasi pulau menjadi sebuah cagar budaya. Didalamnya memang ada juga museum klasik yang berupa bangunan, disamping ada peninggalan senjata, dan termasuk terowongan Malinta. Kondisi sangat gelap.
Demikian juga beberapa terowongan bawah gunung di jalur kereta api di daerah Kroya dan Notog juga sangat gelap.
Mungkin bagi penyuka kegelapan dalam arti seorang pecinta gua misalnya sudah bisa beradaptasi dengan cepat dalam kondisi gelap. Ada cahaya buatan dari senter atau lampu dengan batere tapi sangat kecil dibandingkan luasnya tempat.
Dalam kondisi demikian maka hanya orang terlatih atau minimal pemandu saja yang mampu menemukan penanda - penanda alam apa yang bisa jadi patokan dalam gelapnya suasana.
Sehingga untuk memasuki Malinta Tunnel pun dirasa perlu untuk briefing dulu dengan tour leader dan pemandu lokal. Diaampaikan pula apa yang boleh dan tidak boleh dikerjakan.
Saat itu kondisi sebisa mungkin tidak terpisah. Saling berpegangan pada tali atau tongkat panjang. Itu pula yang pernah dilakukan saat kecil ikut tamasya ibu ke gua Lawa di daerah Kebumen. Suasana bawah gua yang berair bahkan cenderung banjir mengharuskan kita anak- anak harus di dalam barisan tengah. Bukan di depan dan bukan di belakang, takut ketinggalan.
Cara jalan juga demikian tidak boleh ada yang yang berlawanan arah. Semestinya 1 arah menghindari tabrakan. Kalau nggak salah itu pula yang terjadi musibah di terowongan Mina dulu (CMIIW). Korban sangat banyak berjatuhan.
Saat ini kalau nggak salah terowongan yang menuju ke jamarat maupun yang balik dari jamarat sudah dipisah. Sudah banyak sekali rambu- rambu yang dipasang untuk menghindari dan mencegah yang tidak diinginkan.
Dalam suasana pandemi yang ibarat masuk ke terowongan panjang dan gelap maka memang dibutuhkan seorang pemandu. Seorang yang paham situasi sekitar yang membawa lentera di tangannya sebelum benar- benar kita ketemu cahaya di ujung terowongan.
Semestinya pemandu itulah yang sudah paham dan hafal dengan lekuk liku terowongan yang kita ikuti instruksinya. Kapan harus bergerak dan kapan harus berhenti. Kapan harus merunduk saat menemui atap yang rendah. Kapan juga harus bergeser ke kanan dan kiri terutama bila bawahnya terendam air dan akhirnya tidak kelihatan lubangnya.
Semestinya memang ada penggerak yang membawa lentera di tangannya. Bila itu rombongan wisata maka tour leader nya sementara bisa menyerahkan ke pemandu lokal khusus di daerah situ. Bagaimana pun pemandu lebih fasih tentang tempat situ. Bagaimana bahaya yang mengancam, sejauh apa kita harus berjalan sampai cahaya alami tampak.
Dalam hal ini pembawa lentera semestinya adalah orang mempunyai data dan dapat menganalisa sikon saat itu. Itulah para ilmuwan. Ilmuwan akan memberi peringatan DO and DON'T. Sampai suatu ketika cahaya matahari terlihat di ujung terowongan.
Hanya berharap itu terjadi dan bukan hanya sebuah mimpi.

No comments: