Sebagai perwujudan physical distancing saat pandemi maka belajar pun dilakukan dari rumah (study from home) atau SFH.
memang mengubah kebiasaan termasuk sulit termasuk dalam hal ini. Anak diminta bergeser ke arah pembelajaran jarak jauh melalui media daring atau on line. Guru mengajar dari jauh juga menggunakan media yan disepakati dan akan mempertemukannya dengan anak muridnya melalui suara saja dan atau gambar bergerak. Aku menyebut sebagai dunia maya yang nyata atau dunia nyata yang maya (bingung juga...he.he)
Bahwa proses pembelajarannya ada orangnya yaitu guru dan murid. Bukan akun robot jadi- jadian. Jadi ini dunia nyata yang terhubung melalui signal internet yang bentknya tidak kelihatan. Internet memang bisa menembus batas ruang dan waktu. Menghubungkan antar ruangan yang begitu jauh dari sekolah ke rumah atau dari satu wilayh ke wilayah lain dan bahkan antar benua.
Real time saat melakukan meeting bersama padahal aslinya waktunya bisa jadi sangat berbeda. Satu tempat saat pagi dan tempat lain sudah mau maghrib. Ini jika kepaut 12 jam-an. Bahkan bisa berbeda hari . saat pagi Sabtu di Indonesia, di belahan barat masih hari Jumat.
Di balik semua kelebihannya maka pemakaian intrenet sebagai sarana belajar membutuhkan perangkat pendukung tertentu seperti Hp atau laptop jenis tertentu. HP "tit tut" - Hp lama yang hanya bisa telpon dan SMS saja - tidak bisa dipakai untuk mengikuti kegiatan ini
Banyak siswa yang kurang beruntung memang menjadikan pembeljaran daring ini menjadi sesuatu yang sulit terlaksana.
Belum lagi butuh kuota untuk melakukan pembelajaran on line. Dengan kuota terbatas maka siswa tidak bisa dipaksa untuk memutar materi yang besar karena akan menyedot kuota. Sementara besaran kuota sendiri merupakan konversi dari jumlah duit yang dikeluarkan. Ketersediaan perangkat keras dan lunak itulah menjadikan kegiatan bisa berlangsung.
Kekurangan lainnyaa adalah dalam pembelajaran internet tidak bisa ada sentuhan fisik antara guru dan murid bahkan saat dalam keadaan normal alias tidak pandemi.
Saat kita bisa melihat dan mendengar video yang disampaikan tapi tanpa keterlibatan secara fisik manjadikan serasa ada yang kurang lengkap dalam "experience"yang dirasakan. Sehingga sebagus apapun video ataupun materinya tetapi minus keterlibatan fisik dan bisa jadi jiwa dari siswa.
Apalagi bila hanya suara saja yang masuk tanpa fitur video . Mka bisa jadi anak-anak hanya menyalakan dan membuka kanl untuk meeting tapi aslinya ditinggal melakukan hal lain atau bahkan tertidur.
Dalam hal ini peran ibu/bapak sebagai guru (pendaping guru) dibutuhkan. Karena para kaum Bapak juga biasanya kerja atau WFH sendiri maka enjadi pendamping guru atau guru itu sendiri akan banyak diperankan oleh ibu.
Di sini jadi agak berat karena rata-rata orang tua tidak belajar ilmu pedagogik, disamping konten pelajaran yang cukup berat, Karena sangat berbeda antara muatan pelajaran jaman dulu -saat ortu sekolah- dengan jaman sekarang. Belum lagi kesulitan yang munculnya dari urusan perangkat sendiri. Yang terjadi bahwa orangtua juga ikut stres dengan berbagai jenis"tuntutan" guru/sekolah.
Dalam hal pembelajran akan meningkatkan pengetahuan, sikap dan ketrampilan, Dalam hal ketrampilan maka akan menjadi cukup bermasalah. Karena rumus dari trampil adalah praktik, praktik dan praktik. Practices makes perfect.
Tapi bila materi praktik bisa dari hal-hal yang ada di sekitar rumah sebenarnya bagus aja sih. Siswa jadi lebih kreatif. Praktik bikin masker dari kain bekas misalnya bisa dikerjakan tanpa harus keluar rmah, dengan catatan ada gnting, jarum jahit, benang tersedia di rumah .
Tapi bila materi praktik bisa dari hal-hal yang ada di sekitar rumah sebenarnya bagus aja sih. Siswa jadi lebih kreatif. Praktik bikin masker dari kain bekas misalnya bisa dikerjakan tanpa harus keluar rmah, dengan catatan ada gnting, jarum jahit, benang tersedia di rumah .
Lain halnya misalnya dengan ketrampilan laboratorium yang membutuhkan alat dan bahan khusus, Hal seperti ini akan terkendala, Tapi dalma kondisi pandemi memang banyak pemakluman.
Ada materi pembelajaran yang cukup bagus yaitu life skill. Selama ini saat sekolah life skill tidak terlalu banyak dipraktikkan. Saat ini hal ini mendapat porsi yang cukup besar. Bagamana anak membantu pekerjaan di rumah sesuai umurnya. Di sini peran ibu sebagai madrasah utama bagi anaknya menemukan muaranya. Banyak ketrampilan hidup yang biasanya disampaiakn oleh guru atau ustadz harus digantikan perannya oleh ibu. Ya semestinya ibulah guru utama si anak. Tapi satu dan lain hal maka sebagain peran pendidik diserahkan pada pihak lain yang dirasa lebih kompeten yaitu guru dan sekolah sehingga ibu jadi pendamping guru saat SFH ini.
Banyak darama dalam praktik SFH selama beberapa waktu ini. Mulai bangun pagi saat pembelajaran mau dimulai si Anak masih tertiidur setelah subuhan (saat Ramadhan) maka terjadilah drama itu. Kadang kala karena SFH nya sudah kelamaan maka anak mengasosiasikan masih liburan...he..he. Sehingga untuk memulai bangun dan langsung di depan laptop seringkali dirasakan cukup berat. "Ayo sudah ditunggu ustadz di Zoom atau Cisco Webex" , jangan buat malu Ibu... he..he si Ibu mulai sulit mengontrol emosi terutama jika si Anak masih males-malesan. Sebenarnya niatnya baik maunya menanamkan responsibility pada anak. Tapi ya begitulah...Karena pada dasarnya orang tua dan anak sudah sama -sama pengin piknik...
Bisa jadi konflik anak dengan si Ibu makin meningkat. Banyak curhatan ibu dan emak-emak di medsos terkait anak yang santuy kayak di pantai saat mengerjakan tugas.
Pasalnya guru sering juga mengumumkan di grup walimurid saat Si A, B atau C belum menyetorkan tugasnya. Otomatis kan muncul ketegangan dalam babak kedua ini.
Masih banyak jenis ketegangan lain. khususnya saat tugas anak sedang banyak sementara jaringan lelet atau internet mati total. Pernah kejadian di rumah. Untungnya pekerjaan sudah selesai lebih awal. Jadi perbaikan di esok harinya bisa nutut untuk mengerjakan di hari tersebut.
Akhirnya kesimpulanku jatuh pada bahwa ternyata menjadi guru utama ataupun pendamping guru sekalipun dibutuhkan stok sabar yang banyak dalam menghadapi tingkah si anak. Menjadi sadar juga bahwa para guru dan ustadz/ustadzah di sekolah juga pastilah menghadapi kesulitan yang sama. Bahkan bisa jadi lebih besar karena anak yang dihadapi bisa 25 anak/kelas.
Aku setuju bahwa semua orang adalah guru. Sementara ibu adalah madrasah bagi sang Anak. Jadi dalam SFH kita sedang belajar, bukan hanya menjadi pendamping guru tetapi juga menjadi guru yang sebenarnya bagi sang Anak. Bekal untuk mendidik adalah dengan mendidik diri sendiri dulu. Pandemi ini sedang mengajarkannya pada kita semua.
Selamat Hardiknas.
No comments:
Post a Comment