Pandemi Corona menghadirkan suasana baru. Social distancing lalu Physical distancing. Senyatanya menjadi work from home, learn from home, study from home malah ibadah juga di rumah. Turun lagi jadi webinaran, seminar via web, baik lewat zoom, google neet, cysco Webec dan lain- lain. Yang tersering jadi via WA atai video call.
Mungkin ini menjadi pengalaman terunik saat kolaborasi antara ramadhan dalam suasana pandemik. Ataupun pandemik feat ramadhan.
Ramadhan menjadi terasa sangat syahdu dan hening. Ramadhan dalam suasana Pandemi saat ini mengantar kita untuk lebih mengenal diri sendiri, keluarga serta Allah swt- Tuhan kita dari sebuah sudut rumah kita.
Sementara itu suasana kemeriahan masjid untuk shalat jamaah, tarawih, tadarus dan buka bersama menjadi sebuah kerinduan.
Juga lebaran yang akan datang kemungkinan akan lebih sepi dari silaturrahim secara fisik.
Rasanya saat ini kita "ngiri" dengan negara- negara lain yang sudah mulai membuka lockdown secara bertahap. Kita juga ingin kembali bisa beraktivitas secara normal. Ke sekolah, tempat kerja, dan hal rutin lainnya.
Negara - negara yang sejak awal lockdown - menutup perbatasan- serta membekukan sebagian kegiatan publiknya. Mereka yang sudah lebih dulu "prihatin" merasakan susahnya keterbatasan bahan pangan, dan semua sumber daya. Mereka yang lebih dulu pergi bertapa dan menyepi.
Menurut cerita ibuku - saat kecil- bahwa untuk dapat meraih sesuatu maka prihatin adalah sebuah keharusan. Di sini maksud prihatin adalah berjuang tak kenal lelah tidak mudah putus asa.
Bila mereka sekarang menikmati pembukaan lockdown adalah ibarat berbuka puasa setelah waktunya tiba. Sebuah kenikmatan yang luar biasa.
Aku hanya.mau bilang bahwa untuk sampai tahapan berbuka puasa maka harus bisa puasa dengan baik. Sesuai tuntunannya. Menghindari hal.yang membatalkan. Apa- apa yang dikerjakan selama itu semuanya bernilai pahala.
Tidak bermaksud membandingkan syariat Allah swt lewat Rasulnya dengan hal- hal yang tidak berkaitan langsung dengan syariat. Seperti lockdown atau PSSBB dalam konteks di kita.
Namun menganalogikan bahwa lockdown atau PSBB lah dengan puasa untuk mempermudah membayangkan saja. Jadi saat matahari masih tinggi tapi kita sudah minum maka batalah puasa kita. Mungkin beda dengan anak kecil yang masih latihan puasa. "Puasa Bedug" bolehlah, setelah makan maka bilang mau "puasa" lagi sampai sore. Tentu beda dengan orang dewasa lah.
Jadi bila kita sudah nggak tahan pengin kongkow bareng atau pengin nge- mol bareng haduuh saat ini sih menurutku belum waktunya.
Kita ibaratnya belum juga prihatin tapi sudah pengin hasil yang terbaik. Memang tidak salah sih namanya keinginan, tapi menurut sebagian besar orang maka untuk dapat gain harus pain dulu. No pain no gain.
Tidak ada sesuatu kesenangan atau apapun namanya didapat dari "mak bedunduk" tiba - tiba jatuh dari langit.
Untuk dapat hasil lockdown yang bagus ya harus mau susah- susah WFH, SFH dan lainnnya dari dalam rumah.
Memang beda dengan para petugas kesehatan. Mereka memang WFH dan SFH, namun semua not from home but from Hospital. Mereka bekerja merawat pasien, juga belajar dari pasien di RS.
Jika belum-belum kita kepengin buka lockdown atau PSBB sementara syarat dan ketentuan yang berlaku belum bisa dipenuhi ya ibarat kita "mokel" puasa di siang bolong. Biasanya mokel puasa karena nggak kuat godaan makaan atau syahwat (maaf).
Analogi ini memang tidak terlaku tepat. Tapi melihat antusiasme massa yang berkerumun untuk sesuatu yang tidak penting dan urgen, dan tentu jauh dari protokol kesehatan, membuat miris hati. Lihat suasana count down penutupan sebuah gerai makanan siap saji di Jakarta.
Jika beberapa negara yang sempat turun kasusnya dan kemudian naik lagi memang nyata dan benar. Bahwa ini penyakit baru yang masih dicari polanya. Sudah banyak yang terungkap, tapi di siai lain masih banyak yang menjadi misteri. Jika sebagian bilang konspirasi - sesuatu yang masih menjadi perdebatan - aku pun tidak terlalu peduli.
Aku bilang bahwa tidak ada sesuatupun yang terjadi di luar pengetahuan dan kendali Allah swt. Semua harus dikembalikan ke sana supaya apapun usaha kita tetap masih dalam kerangka kepatuhan kita pada - Nya. Tentu sebagai orang awam, ini melalui jalan- jalan ulama sebagai pewaris Nabi.
Korban sakit dan meninggal masih berjatuhàn. Efek lanjutan juga masih berlanjut. Di balik itu semua tidakkah terlihat bahwa memang ada maksud Allah swt mentakdirkan ini semua.
Tidak panik namun Tetap waspada,
Semua ada masanya..
Semua ada masanya..
Wallahu alam bishawab
No comments:
Post a Comment