Thursday, June 18, 2020

Saat Pandemi "Selesai", Mungkinkah Langit tetap Biru ?


Saat ini pandemi masih berlangsung. Pada beberapa tempat belum ada tanda- tanda selesai. Kurva masih menanjak. Namun pelonggaran terhadapnya sudah terjadi di banyak tempat. Jadi disini kata selesai ditampilkan dengan tanda kutip dua mengiringinya. Artinya memang "selesai". Tapi bisa diartikan agak dipaksakan.
Memang berbeda dengan Selandia Baru katakan yang merayakan perginya Corona setelah " berpuasa" panjang dalam lockdown yang cukup disiplin. Di sini selesai bisa dimaknai program pembatasannya saja yang mengendor tapi secara kasus maaih banyak bertambah.
Khusus efek ke lingkungan yang paling banyak berpengaruh adalah program penanganan karantinanya dibandingkan dengan jumlah kasus dan kematian. Idealnya dalam kasus yang masih nàik maka pembatasan diperketat dan lingkungan akan menampilkan sesuatu yang tidak pernah terduga sebelumnya. Langit biru bersih tanpa kabut, pemandangan alam berbagai kawasan membaik.
Sayangnya akhir - akhir ini sebagian orang menuliskan kalau langit di Jakarta kembali berkabut. Tidak seperti saat bulan April Mei -yang saat masih PSBB- dimana langit terlihat biru bersih. Mungkin saat ini karena sudah pelonggaran PSBB dimana Jakarta kembali menjadi macet lagi, juga pabrik sudah aktif kembali beroperasi yang berarti sudah memproduksi zat- zat yang sifatnya polutan.
Untuk daerah lain apakah sama dengan Jakarta dimana alam kembali muram. Warna langit tak lagi biru tapi abu- abu yang mendominasi. Juga apakah binatang- binatang yang saat lockdown "bergembira ria berjalan- jalan" ke kota sudah kembali ke habitatnya masing- masing.
Saat pelonggaran PSBB atau lockdown maka ancaman polusi udara dan terjadinya pemanasan global akan meningkat. Jika PSBB atau lockdown menyebabkan kondisi lingkungan secara umum semakin membaik maka pelonggaraan atau masuk ke arah normal atau new normal yang terjadi pada lingkungan adalah sebaliknya.
Apakah tidak mungkin ada perpaduan dimana corona hilang dan pergi tapi langit tetap biru ?,
Harapannya sih ya pasti yang terbaik begitu. Tapi realnya saat sangat sulit. Menuju normal ataupun normal baru menyebabkan aktifitas manusia kembali seperti aslinya saat seperti sebelum corona. Bussiness as usual. Bahkan bisa lebih buruk lagi jika moment corona tidak meninggalkan bekas apapun bagi perilaku manusia pada lingkungannya.
Namun ada yang menggembirakan sih. Saat ini sepeda onthel kembali booming. Ya saat tranaportasi publik dibatasi dengan alasan physical distancing maka sepeda angin menjadi salah aatu alternatif pilihan. Bila pemakaian sepeda angin menjadi trend baru maka harapan langit kembali biru bisa kembali -saat seperti lockdown dan PSBB- makin membesar
Namun tidak bisa hanya mengandalkan hal itu saja. Karena penyakit bumi sudah terlalu berat: pencemaran udara, sampah plastik di banyak perairan bahkan lautan yang masih menjadi problem besar, produksi sampah yang sangat besar setiap harinyà.
Rasanya content peringatan hari lingkungan hidup perlu selalu digaungkan sampai ke level rumah tangga. Tanam- tanam, kelola sampah rumah tangga, bersepeda, kurangi plastik dan tidak merokok.
Untuk tanam- tanam sebenarnyaenyenangkan. Cuma untuk aku, penakut sama ulat - lebih tepatnya geli, jadi seringkali menghambat. Lucu juga sih ulat kecil yang nggak bisa ngejar tapi ditakuti...he..he.
Pada pengelolaan sampah tumah tangga sudah mencoba memisah sampah basah dan kering dalam tempat yang berbeda. Akhkr- akhir ini punya plastik tempat pengolahan kompos. Seperti keranjang Takakura, tapi dari pelastik yang aku simpan di depan halaman.untuk menampung sampah basah dari dapur tapi sayangnya kadang masih ada belatung. Ini karena kurang tanah kompos sebagai pencampur dan pemercepat terjadinya pembusukan. Memabg bagusnya tidak boleh ada lalat yang bisa bertelur di situ. Itulah yang akan menjadi belatung. Dengan memakai platik ini.maka sampah rumah tangga berkurang sekitar seperampat sampai sepertiganya.
Kurangi plastlik di rumah baru sebatas memanfaatkan plastik lebih dari sekali. Sebenarnya sudah berusaha membawa kantong sendiri saat belanja, tapi seringkali justru pedagang yang nggak nyaman saat kadang kita tolak plastiknya. Seringkali mereka ' memaksa' kita untuk menerima plastik2 kecilnya dengan berbagai alasan. Nanti bahan makanan kalo dicampur tanpa plastik akan rusak, hancur dan laon2. Biasanya untuk barang yang cenderung basah aja yang aku terima beserta plastiknya.
Terakhir bersepeda mengganti peran kendaraan berbahan bakar minyak. Hanya bisa menjangkau yang dekat2 saja. Sayangnya selama PSBB sepeda rantainya copot. Belum bisa memperbaiki sampai sekarang.
Ternyata jika di level rumah tangga juga sangat sulit maka bagaimana dengan levwl yang lebih bealsar. Sebenarnya di level RT adalah pelaksana garis paling depan. Demikian juga level dasa wisma dan RT masih sangat mingkin dilakaanakan secara lebih masif. Sementara di level yang lebih tinggi lagi katakan makro bisa menjadi pelaksana sekaligus penentu kebijakan.
Untuk tidak merokok, apa hubungannya sama lingkungan ? . Memang cukup jauh sih tapi minimal mengurangi polusi di sekitarnya aja. Untuk kontribusi ke alam keseluruhan memang terlalu kecil jika mau dihitung ( pernah aku menanyakan dalam sebuah pertemuan). He..he. tapi ya bisa juga uang yang biasanya untuk beli rokok bisalah dialihkan untuk beli wadah serupa keranjang takakura atau wadah pengompos. Syukur yang lebih besar mesin pencacah sampah plastik atau yang lain.
Itu sih semua adalah level rumah tangga yang efeknya masih belum banyak arti saat sendiri. Untuk level yang lebih besar lebih banyak kesempatan untuk menelurkan regulasi pro lingkungan.
Mungkin harus jelas roadmap panjang bila itu mau diangkat menjadi salah satu yang akan jadi goal. Butuh pemikiran untuk mencari hal - hal lain yang sifatnya bisa operasional pada level rumah tangga s.d yang tertinggi yaitu negara bahkan seluruh penghuni planet ini.
Akhirnya bisakah langit tetap biru saat pandemi menghilang? Semuanya berpulang kembali pada kita lagi.

No comments: