Wednesday, July 15, 2020

Urgensi Revisi Undang-Undang Wabah

Urgensi Revisi Undang-Undang Wabah
Pandemi Covid-19 di Indonesia semakin memprihatinkan. Jumlah kasus yang positif Covid-19 pada masyarakat semakin hari masih menunjukkan peningkatan. Pada saat yang sama angka kematian juga masih bertambah.
Tenaga kesehatan (nakes) semakin banyak yang terjangkit. Bahkan korban tewas khususnya dari kalangan dokter masih terus berjatuhan. Sampai hari ini sudah melebihi angka 50 orang. Ini menjadi salah satu angka kematian nakes yang tertinggi di dunia. Bila ditelisik lebih lanjut, maka kekurangan alat pelindung diri (APD) standar menjadi salah satu penyebabnya.
Maju mundurnya kebijakan pemerintah terkait wabah serta berbagai implementasinya di lapangan sejak awal sampai sekarang ini menjadikan nakes dalam posisi yang sangat rentan tertular. Buruknya komunikasi risiko di masyarakat menempatkan nakes dalam posisi dilematis. Ibaratnya, maju kena mundur kena. Banyaknya problem dan kesulitan di level hilir adalah sebuah konsekuensi yang wajar saat hulunya juga masih bermasalah.
Tidaklah heran bila berdasarkan pada kenyataan di lapangan seperti di atas, Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) mengajukan gugatan untuk pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).
Lepas dari gugatan tersebut, menurut saya ada hal menarik terkait hubungan antara carut marutnya penanganan pandemi dengan lemahnya aspek legislasi penanganan wabah. Saya mencatat dalam legislasi terkait wabah, DPR malah masih punya "utang" yang bisa jadi saat inilah waktu paling tepat untuk membayarnya.
Tercatat, sejak Oktober 2013 sudah diajukan naskah akademik RUU Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 Tentang Wabah Penyakit Menular oleh Prof. Dr. dr. Bambang Sutrisna, M.HSc sebagai Ketua Pokja. Sejak saat dimasukkan naskah akademik tersebut, sudah 7 tahun RUU ini mangkrak sampai datangnya pandemi Covid-19 serta munculnya gugatan atas UU tersebut ke MK.
Tidak Sesuai Perkembangan
UU tentang Wabah Penyakit Menular sudah terlalu out of date alias "jadul", tidak relevan dengan berbagai keadaan saat ini. Koordinasi dan sinergi antara pemerintah pusat dan daerah misalnya, tidak tercantum secara jelas. Hal ini bisa dimaklumi karena UU Wabah lahir sebelum diberlakukannya otonomi daerah pada 1999.
Belum lagi dalam hubungannnya dengan UU Bencana No 24 tahun 2007, karena kenyataannya saat ini semua penanganan wabah didasarkan pada regulasi tersebut.
Sehingga tepat sekali dinyatakan bahwa sebagian besar materi dalam UU Wabah tahun 1984 itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan sekarang.
Dalam bahasa hukumnya, Undang-Undang Wabah "lama", sebut saja begitu --walaupun kenyataannya masih berlaku-- tidak secara spesifik mengatur dan menetapkan ruang lingkupnya (objek yang diatur). UU tersebut juga dianggap sudah tidak bisa mewadahi perkembangan penyakit baru (new emerging disease) maupun yang muncul kembali (re-emerging disease).
Jangankan Covid-19 sebagai penyakit yang ditemukan akhir 2019 ini, penyakit sebelumnya seperti SARS (2002) dan MERS-CoV (2012), dua penyakit akibat keluarga virus corona lain, juga belum dibahas. Bisa dibayangkan bagaimana pesatnya perubahan dan perkembangan antara 2013 (saat naskah akademik diajukan) sampai dengan kondisi saat pandemi sekarang yang juga pasti belum terwadahi.
Hubungan antara wabah dengan penerapan dan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) juga perlu diperjelas. Walaupun wabah sebagai force majeur pendanaannya langsung dari pemerintah, tetapi karena sama-sama menyangkut urusan pembiayaan si sakit, maka semestinya harus secara eksplisit dituangkan.
Menurut saya, penerapan UU No 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan saja dalam mengatasi wabah dan pandemi ini tidaklah cukup. Permasalahan wabah yang sangat kompleks yang dimulai dari pintu masuk negara, kebutuhan sumber daya, koordinasi serta pembiayaan tidak selesai dengan kelahiran dan penerapan UU ini saja. Karantina kesehatan berarti fokus pada upaya cegah tangkal penyakit baru --di pintu masuk negara atau wilayah-- pada penyakit yang dianggap berpotensi menimbulkan kedaruratan kesehatan masyarakat.
Sementara itu, hal-hal penanganan wabah yang berada di dalam wilayah (setelah pintu masuk) menjadi kurang detail dalam pengaturannya. Untuk itulah maka desakan untuk revisi UU Wabah Penyakit Menular sejatinya mempunyai titik temu dengan gugatan teman-teman MHKI.
Kebutuhan Tak Terelakkan
Bila mengacu pada hal tersebut, maka revisi UU Penanggulangan Wabah Penyakit Menular menjadi sesuatu kebutuhan yang tidak terelakkan pada saat ini. Namun sayangnya dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, RUU Perubahan atas UU No 4 tentang Wabah Penyakit Menular tahun 1984 tidak tercantum.
Padahal pada 22 Januari lalu, saat prioritas Prolegnas disepakati, wabah corona juga sudah mulai ramai, walaupun masih di Kota Wuhan, Tiongkok. Memang belum masuk ke negara kita, tapi setidaknya bisa diprediksikan bagaimana dampak serta semua konsekuensinya di kemudian hari.
Dalam hal yang terkait pandemi corona ini, DPR semestinya bukan hanya menjalankan fungsi anggaran dan pengawasan saja. Revisi UU Wabah semestinya menjadi tugas dan tanggung jawab DPR. Sayangnya DPR sebagai wakil rakyat masih sibuk sendiri dengan berbagai rancangan undang-undang (RUU) yang kontroversial. DPR banyak membahas RUU lain yang tidak mendesak, sementara untuk menyikapi kondisi wabah dan pandemi sebagai sesuatu yang sudah dan sedang terjadi malah diabaikan.
Jangan sampai ada pemikiran bahwa pandemi atau wabah adalah sesuatu yang sifatnya temporary. Jangan lupakan sejarah pandemi flu Spanyol yang bisa berlangsung sampai tiga tahun. Khusus untuk Covid-19, dalam prediksi banyak ahli, kemungkinan juga akan memanjang untuk beberapa waktu ke depan.
Bila wabah "sekelas" pandemi yang korbannya sangat banyak belum bisa menggerakkan nurani DPR untuk lebih memprioritaskan UU ini, maka entah jenis wabah apalagi yang ditunggu. Korban sudah sangat banyak, nakes sudah kelelahan dan tinggal menunggu hari H-nya saja untuk tumbang. Maka pilihannya tinggal dua: now atau never.

No comments: