Saturday, August 27, 2011

Pribadi pembelajar sejati

Ada sesuatu yang menarik saat ku bergaul dengan para pemegang tingkat akademis tertinggi : para kandidat doktor, doktor, post doc atau bahkan profesor, memang sungguh sangat hebat apa-apa yang menjadi pemikirannya. visioner. Bahkan apa-apa yang tidak dipikirkan orang kebanyakan, maka beliau-beliau inilah justru menjadi inisiatornya. Seperti masalah jaminan kesehatan, mutu layanan kesehatan dan beberapa hal lagi. Tapi yang jelas bahwa orang dengan kapasitas yang sangat besar ini mesti adalah para pribadi pembelajar yang selalu haus akan pelajaran atau ilmu apa pun. Terbukti untuk suatu hal yang agak sulit maka para prof ini mau belajar dengan kami-kami yang pemula. Statistik; conversation dll. tidak ada kata malu di dalamnya... Juga untuk mengengsu ilmu akhirat juga mereka "kerso" ngaji dengan kita2. Subhanallah. Sebagian dari yang ku kenal itu memang adalah "the golden person" versiku. Betapa di tengah kesibukan yang sungguh luar biasa : menerima tamu, presentasi, mengajar, nulis jurnal dan juga urusan administrasi untuk yang sangat ribet (khusus untuk yang pegang jabatan struktural) tidak menjadikan mereka puas dengan ilmu yang ada. Maka kala ada dirasa kurang di satu sisi maka mereka tanpa ragu dan malu untuk berusaha mengerti. Bahkan mereka tidak segan2 berguru pada guru yang hanya lulusan D3 atau bahkan yang masih menjadi mahasiswa; menayakan sesuatu yang kita anggap remeh temeh; atau belajar step by step untuk urusan ketrampilan...waduh kita jadi malu nih. Kita yang masih segini-segini saja seringkali kita merasa malu untuk menanyakan sesuatu yang kita tidak tahu; belajar dari mulai yang sangat mendasar; dan bertanya untuk makin mengerti. Sering kita ditanya diam saja, menganggap bahwa kita sudah tahu semua. Padahal tidak bisa dipungkiri masih ada pertanyaan yang mengganjal di dalam hati kita... kita membunuh rasa keingintahuan kita karena takut disebut bodoh, lelet dan sejenisnya.
Jadi Salut untuk beliau-beliau. memang demikianlah seharusnya setiap kita hendaknya bisa mengambil apa-apa yang diajarkan orang lain, tanpa memandang siapa dia.

Thursday, August 25, 2011

Mengapa Berobat Ke Singapura ?



Oleh :
Tri Astuti Sugiyatmi*
Sakit. Itulah alasan kepergian Nazaruddin ke Singapura, di awal pelariannya sebelum akhirnya ditangkap di Kolumbia beberapa waktu yang lalu. Alasan sakit itulah yang membuat politisi yang menjabat bendahara umum di partainya berniat untuk berobat di sebuah rumah sakit di negeri pulau itu. Singapura selama ini memang dikenal menjadi sebagai salah satu tempat yang cukup menarik sebagai “wisata kesehatan” selain Penang, Malaysia. Sehingga perginya orang kaya dari Indonesia ke sana, di anggap sangat wajar.
Namun sebagian kalangan menganggap alasan berobat itu hanya akal-akalan saja. Nuansa yang muncul bahwa Nazaruddin memilih Singapura yang tidak mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Indonesia, terbukti kini dalam perkembangan kasusnya. Sedangkan alasan awal bahwa kepergiannya karena membutuhkan pertolongan medis justru tidak terbukti.
Namun begitu justru kasus Nazaruddin- lah yang menjadi momentum munculnya rasa nasionalisme dalam hubungannya dengan mutu layanan kesehatan di negara kita. Tak kurang seorang Din Syamsuddin sebagai ketua PP Muhammadiyah secara kritis menyatakan bahwa hal tersebut apakah tidak menyinggung perasaan dokter di Indonesia ? Juga “kesadaran” Menteri Kesehatan (Menkes) untuk mulai memikirkan bahwa mutu layanan kesehatan (yankes) serta perangkat untuk menginisiasinya yaitu lembaga akreditasi internasional menjadi perlu. Sehingga pasien tidak lari ke LN.
Situasi Sekarang
Saat ini, pelayanan RS adalah masih banyak menuai kritik bahkan sampai pada tuntutan hukum. Mengutip gambaran pelayanan kesehatan di RS yang yang mengemuka pada sebuah diskusi publik oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) di Jakarta, awal tahun 2010, yang bertajuk “Menggugat Pelayanan RS Terhadap Pasien Miskin” yang datanya bersumber dari laporan berbasis warga. Terlihat bahwa sebagian besar pasien miskin yang datang ke rumah sakit (74,9%) mengeluhkan pelayanan rumah sakit mulai dari administrasi yang berbelit-belit, ruang tunggu yang tidak nyaman, kotornya kamar mandi / toilet/wc sampai pada sikap petugas yang kurang baik. Sisanya, 25% saja yang merasa tidak ada keluhan.
Lain cerita si Miskin, lain lagi bagi si Kaya. Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim) pada 27 September 2010 dalam sebuah acara di Malang mengungkapkan tentang larinya dana dari orang kaya ke luar negeri (LN) sebesar Rp 2 trilyun hanya dari Jatim saja. Sebelumnya, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pernah pula merilis pada tahun 2009 bahwa ada sekitar 1 juta orang berobat ke luar negeri, yang dalam taksiran rupiah mencapai sekitar Rp 20 trilyun devisa yang tersia-siakan begitu saja.
Tampak ada benang merah di antara data yang disebutkan di atas. Bahwa yankes kita masih dianggap kurang bagus, oleh dua kelompok segmen pasar/masyarakat yang berbeda. Permasalahan besar di bidang mutu layanan kesehatan yang juga diakui oleh Menkes pada 13 Juni 2011 lalu. Menkes menyatakan bahwa perlunya RS berupaya mencegah pasien lari ke LN dengan cara meningkatkan keramahan para petugasnya dan juga untuk memberikan layanan yang lebih informatif. Intinya bahwa pelayanan bagus akan mencegah pasien untuk berobat ke LN.
Dalam kesempatan tersebut dinyatakan juga bahwa adanya kebutuhan akreditasi internasional bagi RS di dalam negeri. Mengingat berdasarkan data tahun 2009 bahwa dari 1.292 rumah sakit yang ada di seluruh Indonesia baru 60 persen diantaranya yang terakreditasi.
Walaupun alasan berobat ke LN bagi setiap orang memang sangat beragam, namun diyakini bahwa masalah mutu layanan menempati porsi yang yang cukup besar selain adanya perasaan gengsi, ketidak percayaan (distrust) terhadap layanan bangsa sendiri maupun alasan untuk melarikan diri sebagaimana dicurigai pada kasus Nazaruddin ini.
Mutu : di Antara Persepsi Dua Kutub
Walaupun disadari bahwa mutu yankes kelas dunia (world class health care) masih menjadi PR besar Kemenkes sebagaimana diungkapkan dalam Pidato Menkes dalam acara Lustrum ke 13 FK UGM beberapa waktu yang lalu, namun mutu yankes yang ada sekarang seakan-akan dalam pertentangan persepsi dua kutub. Di satu sisi mutu dianggap menjadi sesuatu yang mahal, luks dan mewah. Sehingga pendukung kalangan ini menyatakan karena mahalnya maka mutu layanan kesehatan maka belum diprioritaskan di Indonesia. Tidak ada anggaran untuk mutu. Persoalan akses menjadi lebih utama. Sedangkan sisi yang lain justru sebaliknya mutu adalah murah, sehingga dalam praktiknya mutu juga sudah “wajib” diberlakukan pada daerah/institusi tertentu.
Apalagi bahwa prinsip mutu sendiri adalah mencegah. Sedangkan mencegah lebih baik dan lebih murah daripada mengobati. Sebagai contoh kasus dapat diambil disini. Tindakan medis seperti cabut gigi atau merawat luka yang tanpa memperhatikan safety justru akan menyebabkan penyebaran penyakit yang dapat ditularkan lewat darah seperti HIV/AIDS maupun Hepatitis. Bayangkan berapa biaya untuk menanggulangi penyakit ini bila dibandingkan biaya untuk membeli alat penyeteril standar, jarum sekali pakai dan sarung tangan.
Mutu akan mengurangi kemungkinan tuntutan adanya malpraktik, kemungkinan tertular penyakit, maupun diagnosis yang membingungkan terkait pemakaian alat ukur yang tidak dilakukan peneraan (kalibrasi). Sehingga dapat dipahami jika penerapan mutu yankes akan sangat menguntungkan.
Ada potensi
Menurut hemat penulis bahwa RS kita pun punya potensi untuk sebaik di LN. Yang selama ini belum banyak terungkap bahwa terdapat banyak mahasiswa fakultas kedokteran jalur internasional di universitas di Indonesia, sebutlah di UGM yang justru berasal dari Malaysia, Myanmar, Jerman dan beberapa negara lain. Sehingga secara basic, sumber daya di Indonesia tidak jauh berbeda dengan dokter asing yang sekolah di Indonesia.
Sumber daya tenaga kesehatan hanyalah salah satu komponen pembentuk mutu. Dibutuhkan juga sebuah Sistem Manajemen Mutu yang baik untuk memadukan semua komponen sumberdaya (man, money, machines, method) untuk dapat menghasilkan yankes yang bermutu.
Tetapi tentu saja bukan tanpa syarat. Komitmen yang kuat untuk menjadi sebuah lembaga layanan kesehatan yang bermutu memang kunci dari semuanya itu. Komitmen dari para manajer puncak di Kemenkes, Dinas Kesehatan baik Provinsi/Kab-Kota, maupun di RS itu sendiri.
Sebuah Rumah Sakit Akademik dari Universitas Airlangga, Surabaya yang dibuka pada 14 Juni 2011 telah menyatakan komitmennya untuk memberi pelayanan terbaik guna mencegah pasien lari ke Singapura dan Thailand seperti diungkapkan Direktur Utamanya adalah sebuah langkah baik yang patut dicontoh. Semoga.














Sunday, August 21, 2011

Para pengusaha yang rendah hati

Dalam beberapa perjalanan misalnya ke Jembrana Bali aku bertemu dengan para owner - pemilik usaha yang sangat rendah hati. juga saat ke surabaya. Banyak pelajaran dari situ... Betapa mereka menjadi pemilik usaha yang cukup besar di bidangnya memang tidak kenal lelah untuk jatuh bangun. Sebut salah seorang pemilik hotel di kota ujung barat Bali, Jembrana. Beliau menceritakan bahwa dulunya beliau adalah pegawai pemerintah yang keluar kemudian wiraswasta. Sekarang hotelnya banyak tersebar di Jembrana dan sekitarnya. Hebatnya lagi anaknya masuk fakultas kedokteran negeri 3 -3 nya....Banyak yang beliau ceritakan pada saya termasuk rahasianya bisa sukses.sungguh memang usaha yang cukup keras akan menghasilkan sesuatu yang membanggakan...
Satu lagi saya menyewa sebuah kendaraan untuk melakukan kerja. Ternyata yang menyopiri saat itu adalah owner rental tersebut yang mencapai 20 kendaraan yang ada. Karena sopirnya semua sedang keluar maka sang sopir tersebut adalah si pemlik. Betapa dia sangat hebat. Tidak pandang bahwa menyopiri hanyalah pekerjaan si pegawai. Tapi saat ada orang butuh dan tidak ada pegawai nya maka dia pun siap menjadi seorang sopir. Mungkin itu salah satu kunci kesuksesan dia. Ada satu hal yang menjadi diskusi kami. dan semoga bisa menjadi manfaat minimal masukan buat Bapak yang sungguh sangat low profile itu.
Satu lagi saat ke surabaya, di sebelahku ada pengusaha batik yang punya 4 gerai di berbagai kota. Saya sangat terkesan dengan ketawadukan beliau. Beliau yang kaya raya merasa sayang bila uangnya beliau pake menginap di hotel mewah ( yang aku yakin itu sangat terjangkau bagi kantongnya. karena beliau bilang aku nanti akan ditanya oleh Allah kalo memakai uang untuk bermewah-mewahan seperti itu, sementara pengungsi merapi yang kini tinggal di shelter-shelter makanan buka pun disisakan untuk sahur. Subhanallah. Betapa mulianya hati ibu itu. sungguh sekarang menjadi sebuah barang yang langka.... Andaikan para orang kaya di negrei ini berpikir seperti itu semua maka mungkin tidak ada lagi orang yang terlalu miskin di sini... sebuah hikmah perjalanan yang sangta luar biasa.....

Thursday, August 11, 2011

Profesi dokter tak lagi menjanjikan



Opini Publik

Profesi Dokter, tak Lagi Menjanjikan ?

11/06/2011 08:40:06 MEMASUKI 103 tahun kiprah dokter di Indonesia, banyak yang sudah terjadi. Dalam beberapa tahun terakhir, kasus tuntutan kepada profesi dokter meningkat tajam. Sebanyak 405 kasus yang masuk dalam laporan Lembaga Bantuan Hukum (Majalah Kedokteran Indonesia,2009). Hal tersebut membuktikan, masyarakat yang makin kritis dengan pelayanan seorang tenaga medis.
Banyak hal yang seharusnya menjadi concern para dokter maupun lembaga profesinya. Iklim keterbukaan serta adanya krisis kepercayaan terhadap dokter menyebabkan dalam banyak kasus terkesan dokter banyak disudutkan. Seperti kasus yang sudah dipublikasikan sebagai malpraktik yang belum terbukti kebenarannya, pemakaian obat generik, moral hazard dokter dalam asuransi.
Adanya Sifat asimetri informasi dalam dunia kedokteran, yaitu informasi yang dimiliki oleh dokter yang lebih banyak daripada pasien dan masyarakat umum - yang sebenarnya hal yang alamiah, justru seringkali dicitrakan hanya sebagai akal-akalannya para dokter dalam menangani pasien, untuk mengeruk keuntungan pribadi.
Adakah sesuatu yang salah, sehingga dokter di tengah-tengah tugasnya yang mulia, tanggungjawabnya yang sangat berat, dengan penghargaan sangat minim seakan-akan menjadi bulan-bulanan banyak pihak?
Bayangkan, di tengah malam dokter, termasuk petugas paramedis seperti bidan dan perawat tidak mengenal waktu masih harus berkutat dengan urusan pasien di saat orang lain sudah terlelap tidur. Juga di saat profesi lain bisa istirahat, saat libur hari raya / cuti bersama maka pelayanan kesehatan tetap harus buka. Petugas kesehatan juga orang yang pertama dan paling berisiko tertular penyakit pasiennya. Istilah pahlawan tanpa tanda jasa juga layak disematkan pada pekerja kesehatan.
Pendidikan Dokter Mahal
Sejak awal, pendidikan dokter memakan biaya sangat mahal. Berbeda dengan zaman dulu yang hanya bermodalkan semangat dan kemampuan bersaing untuk menyingkirkan ratusan saingan, yang akan masuk fakultas kedokteran (FK) universitas negeri. Dalam perkembangannya baik di FK negeri apalagi swasta sekarang sama-sama mahalnya. Sehingga orang dengan kemampuan ekonomi pas-pasan akan semakin sulit menjadi dokter. Belum lagi cerita untuk menggapai sebuah keahlian, spesialis.
Di tengah-tengah situasi yang demikian, banyak kalangan mengasumsikan penghasilan semua dokter lebih dari rata-rata kebanyakan profesi. Besar penghasilan dokter sangat bervariasi dan mempunyai rentang yang sangat jauh. Seorang dokter umum di daerah yang sangat terpencil, biasanya hanya mengandalkan gaji dari pemerintah/perusahaan yang mengontraknya. Sangat berbeda dengan seorang spesialis yang keahliannya mumpuni dan langka bisa jadi mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah.
Sementara sekarang, standar gaji pegawai negeri sipil (PNS) dokter juga mengikuti ketentuan PNS secara umum. Bandingkan dengan guru yang sudah tersertifikasi. Sangat jauh. Penghargaan berupa gaji dari pemerintah yang jumlahnya tidak terlalu besar membuat dokter umum berusaha untuk menambah penghasilan dengan menjadi Dokter Praktik Swasta (DPS). Namun seringkali praktik mandiri ini yang menjadikan alasan bahwa penghasilan dokter sudah pasti di atas rata-rata. Padahal sama dengan usaha lain, bahwa tidak semua DPS sama kondisinya.
Mungkin era sebelum 1980- an dari praktik dokter umum masih cukup menjanjikan. Namun semakin tahun peran dan fungsi dokter umum makin terpinggirkan. Bila ingin eksis, mesti tergabung menjadi dokter keluarga perusahaan asuransi, yang sudah bukan rahasia lagi bila dokter tidak memiliki nilai tawar dalam sebuah kontrak. Tidaklah heran bila bayaran jasa dokter umum sebagai dokter keluarga sangat kecil. Ada yang hanya kurang dari dua ribu rupiah per anggota per bulan. Lebih kecil dari seorang tukang parkir sekalipun!
Sementara untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensi dibutuhkan kredit poin yang harus dikumpulkan dalam jumlah tertentu selama 5 tahun. Kredit poin dapat diperoleh dari kegiatan ilmiah seperti pelatihan, kursus dan seminar. Namun sudah bukan rahasia umum kalau kegiatan peningkatan kapasitas dokter tersebut juga butuh biaya yang cukup besar. Apalagi bagi dokter yang bekerja di daerah terpencil, biaya akomodasi dan transportasi menjadi permasalahan tersendiri.
Maka tidaklah heran, bila hal tersebut ditengarai, seringkali menimbulkan kolusi antara oknum dokter dengan perusahaan farmasi untuk membiayai kegiatan ilmiah dimaksud. Sebagai imbal baliknya maka oknum dokter harus memenuhi target penjualan obat. Akibat yang lebih jauh dokter dituding sebagai biang gagalnya pemakaian obat generik !
Tuduhan menyakitkan yang masih perlu dikaji ulang. Karena sebenarnya banyak pihak yang bermain di sini, seperti pabrik obat dan kebijakan pemerintah yang masih mengimpor bahan baku yang tentu saja terkait dengan dollar. Walaupun diakui bahwa dalam profesi apapun tetap ada ‘oknum’.
Tudingan Miring
Ujung dari permasalahan yang saling terkait, antara kesejahteraan dokter dengan segala tudingan miring dan hubungannya dengan mutu pelayanan kesehatan, adalah pada kepentingan masyarakat sendiri. Tanpa pemberian penghargaan yang layak maka peningkatan mutu dokter akan terkendala. Masyarakat akan dirugikan bila pelayanan dokter kita kurang baik.
Menghadapi situasi Jaminan Semesta pada tahun 2014 yang akan segera diterapkan, dimana DPS juga akan diusahakan menjadi provider Jaminan Kesehatan. ini sesuai roadmap Kementerian Kesehatan dalam bidang ketersediaan jaringan pemberi pelayanan kesehatan, maka sudah seharusnya dokter sendiri juga organisasi profesi untuk menyiapkan diri.
Demikian juga untuk menghadapi pasar bebas di bidang kesehatan. Jangan sampai ketertinggalan dokter-dokter kita akan semakin jauh dengan dokter asing yang kehadirannya sudah kita rasakan. Sehingga masyarakat akan lebih memilih dokter asing untuk menangani permasalahan kesehatannya.
Untuk mengatasinya, semestinya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai satu-satunya organisasi yang harus memperjuangkan nasib dokter. Bersama dengan pemerintah untuk dapat menurunkan biaya pendidikan calon dokter dan spesialis, serta memberinya penghargaan yang lebih layak yang bisa dalam bentuk ‘Sertifikasi dokter’ seperti layaknya guru. q-c-(3032A-2001).
*) dr Tri Astuti Sugiyatmi,
adalah dokter, anggota di Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan, Fakultas Kedokteran UGM)


Dimuat di KR bulan Juli 2011






















Redaksi | Kontak Kami | Pasang Iklan | Profile Perusahaan | Disclaimer
Copyright © 1998 by KR Online Jl. P. Mangkubumi 40-44, Yogyakarta - Indonesia Telp. 62-274-565685 / Fax. 62-274-563125

Mendambakan “Kartamantul” yang ( Lebih) Bersih


Oleh : Tri Astuti Sugiyatmi *

Jogjakarta adalah sebuah magnet tersendiri untuk menarik pengunjung untuk datang di kota yang mempunyai berbagai julukan ini. Banyak hal yang membuat pendatang - baik wisatawan maupun pelajar dan mahasiswa yang datang dari seluruh penjuru tanah air - merasa betah di kota yang juga penuh sejarah ini. Predikat mulai dari kota pendidikan, kota pariwisata, kota bisnis , kota seni termasuk kota yang bersih.
Namun ada satu hal yang cukup mengganggu. Kota Jogja yang sudah berkali-kali meraih penghargaan adipura – penghargaan untuk kota terbersih- bahkan untuk yang ke delapan kalinya, rasanya masih sangat perlu untuk meningkatkan dirinya lagi, khususnya pada kebersihan daerah sekitarnya atau yang berbatasan dengan Sleman dan Bantul (“Kartamantul”). Karena bagi wisatawan tidak terlalu paham dengan batas administratif antara kota Jogja sendiri, wilayah Sleman dan Bantul. Sebagai tujuan wisata internasional – Jogja dan sekitarnya memang harus terlihat selalu bersih.
Beberapa Faktor Penyebab :
Pertama : Persepsi tentang kebersihan yang masih cenderung tradisional. Kebersihan hanya menjadi milik kalangan ekonomi menengah ke atas saja dan hanya dapat tercipta pada tempat-tempat elit dan bergengsi. Kebersihan adalah sebuah kemewahan. Persepsi seperti itulah yang pada akhirnya memunculkan sebuah anggapan bahwa Jogja- sebagai kota yang dikenal ramah dengan “ wong cilik” – tidak mungkin akan tampil bersih. Pola pikir seperti itulah yang menjadi tantangan besar baik bagi Pemerintah kota Jogja, Kabupaten Sleman dan Bantul yang telah “membiarkan“ warganya menganutnya.
Kedua : Jadwal pengumpulannya serta pengangkutannya masih sangat lemah terutama di jalan – jalan umum. Tentu berbeda dengan penanganan sampah di wilayah pemukiman yang ada penghuninya, penanganan sampah di jalan-jalan umum mestinya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah melalui dinas kebersihan kotanya. Sedangkan di Jogja kadang aktivitas pembersihan jalan masih belum jelas. Di tempat tertentu saat kendaraan sudah lalu lalang masih belum terlihat tanda-tanda sudah atau akan dibersihkan. Jadwal pembersihan jalan semestinya memang mengambil jadwal dimana kondisi masih atau sudah tidak terlalu ramai, sehingga pembersihan bisa berjalan maksimal
Ketiga : Belum terlibatnya sektor - sektor usaha untuk terlibat secara aktif dalam kebersihan ini. Satu hal yang khas Jogja adalah ditemukannya banyaknya warung tenda, pedagang kaki lima (PKL) dan usaha informal di setiap ruas jalan yang jelas menambah rumit permasalahan kebersihan ini. Sampah-sampah yang sering menggunung atau berserakan di tepi jalan, sering kali adalah produk dari sekitarnya. Artinya kemungkinan pedagang kecil / pedagang kaki lima / usaha di sekitarnya juga sangat mungkin ikut menciptakan kekotoran tadi.
Keempat : Belum adanya kerjasama yang cukup baik antara pemerintah daerah di wilayah Propinsi DIY ini, terutama yang berbatasan langsung dengan kota Jogja. RSUP dr. Sardjito, Universitas Gajah Mada sebagai representasi Jogjakarta ( Propinsi ) walaupun tidak berada dalam wilayah administratif kota Jogja. Namun justru di daerah-daerah yang yang menjadi “perbatasan” itu seperti di Jalan Kaliurang sekitar UGM dan jalan –jalan sekitar RSU Sardjito yang sangat parah kondisi kebersihannya.
Kelima : Tidak /Belum tersosialisasinya regulasi yang jelas pada masalah ini. Regulasi tentang hal ini bukan hanya melulu mengatur permasalahan retribusi kebersihan, tetapi juga masalah reward maupun punishment.
Upaya yang dapat dilakukan
Sampah memang bukan hanya permasalahan di kota Jogja saja. Tetapi dengan segala sumberdaya yang ada seharusnya Jogja sudah beranjak dari permasalahan “kecil” ini. Jogjakarta dengan berbagai keunggulannya dengan banyaknya Perguruan Tinggi yang ada dengan pusat penelitiannya seharusnya mulai memikirkan untuk penjagaan kebersihan serta pengelolaan sampah lebih lanjut.
Permasalahan tampaknya masih berkutat pada masalah persepsi yang salah yang pada akhirnya akan melandasi proses “pembiaran” kekotoran di Jogja ini. Memang untuk mengubah mindset tentang kebersihan perlu dilakukan pendidikan kebersihan secara berulang-ulang dalam berbagai kesempatan. Di sepanjang jalan terlihat banyak baliho dan poster tentang sampah yang harus dibuang ke tempatnya. Namun sangat disayangkan bila tidak disertai perangkat pendukungnya :ketersediaan tempat sampah, kecukupan jumlah petugas, armada pengangkut maupun jadwal pengangkutannya secara jelas. Sehingga himbauan tinggal himbauan bila tanpa upaya yang cukup untuk memenuhi perangkat yang diperlukan. Disamping memang masalah manajemen pengumpulan dan pengangkutannya sampah yang ada di premis umum.
Semua pemilik usaha baik toko, warung, kedai baik yang dengan bangunan permanen atau non permanen (menggunakan tenda, rombong, tikar, lesehan yang bisa dibongkar sewaktu-waktu) diberi tanggung jawab untuk lebih menjaga kebersihan sekitarnya dalam radius 5 meter dari titik terluar tempat usahanya misalnya, maka tidak ada lagi tempat yang kotor dijalanan. Tanggung jawab ini dapat berupa penyediaan tempat sampah dalam berbagai bentuknya, membuang sampah ke tempatnya serta menjadi “polisi kebersihan” yang siap menegur konsumennya bila berlaku tidak sesuai harapan.
Tentu saja semua upaya seperti ini tidak mudah. Adanya agenda yang jelas dan terarah menjadi sesuatu yang niscaya. Dibutuhkan kerja keras dari pihak-pihak terkait. Selain itu juga diperlukan dukungan sosialisasi yang cukup dari berbagai pihak, termasuk media massa. Harian ini juga bisa menjadi pionr dalam hal ini. Yang jelas juga dukungan dari berbagai pemerintah daerah Sleman dan Bantul yang berbatasan langsung dengan kota Jogja akan sangat membantu. Dan perlunya penyusunan agenda untuk melakukan aksi bersama untuk melaksanakan hal tersebut di daerah perbatasan-perbatasan yang selama ini jarang disentuh secara maksimal. Bila untuk masalah pembuangan limbah bisa ada kerjasama, kenapa tidak untuk membuat tim kebersihan gabungan. Mungkin Provinsi bisa ikut mendorong pembentukannya.
Penulis punya keyakinan bila ada inovasi-inovasi seperti itu, semua masyarakat dan pelaku usaha pasti akan mendukung karena toh dampaknya akan ke mereka juga. Wisatawan akan semakin betah dan ujung-ujungnya akan menggerakan ekonomi mikro juga. Semoga.

dimuat di Jogja Raya (jawapos Surabaya tanggal 11 agustus 2011)











Tuesday, August 2, 2011

kemiskinan vs bekerja; kejahilanvs pengetahuan; kemaksiatanvs jihad

Rasulullah beserta sahabatnya itu menentang kemiskinan dengan bekerja, menentang kejahilan dengan pengetahuan, menentang kekafiran dan kemaksiatan dengan perjuangan (jihad)
dinukil dari Republika tanggal 18 Juli 2011