Tuesday, February 6, 2024

Wednesday, July 28, 2021

Thursday, January 21, 2021

BLT, Rokok dan Covid-19

 


BLT, Rokok, dan Covid-19

 

Pasca Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy dan Mensos Tri Rismaharini mengingatkan warga agar tidak menggunakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Corona untuk membeli rokok, muncul berbagai pro kontra  pada kalangan tertentu.

Pernyataan menteri yang merupakan perpanjangan pesan dari Presiden itu bahkan menimbulkan komentar negatif dari seorang politisi sebuah partai melalui akun medsosnya. Politisi ini "menyerang" dengan pernyataan bahwa imbauan itu adalah hasil dari kurang berpikirnya Mensos. Membeli rokok bagi para penerima BLT dianggap tidak salah karena ada alasan lain yakni adanya pemasukan negara melalui cukai rokok dan keterlibatan puluhan juta orang dalam industri rokok.

Pro-Kontra Kebijakan Rokok

Berbagai kebijakan terkait rokok ataupun perilaku merokok sejak lama memang sudah sering menimbulkan pro dan kontra. Hal ini memang karena "asal" rokok adalah barang yang berbahaya bagi kesehatan namun legal. Dalam hal ini rokok dianggap berbeda dengan narkoba atau bahkan miras. Walaupun pada kenyataannya rokok menjadi gateway bagi keduanya.

Hulu dari semua ini karena negara kita sebagai satu-satunya negara di Asia Pasifik dan Organisasi Konferensi Islam yang belum bergabung dalam Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sehingga permasalahan seperti itu masih tidak jelas. Kebijakan pengendalian tembakau atau rokok yang tidak jelas ini kerapkali membuat ambigu dalam banyak hal.

Menurut pendapat saya, pernyataan politisi yang kontra dengan upaya memusuhi rokok bisa jadi "benar" sebagai sebuah informasi --walaupun sangat bisa diperdebatkan dalihnya--- namun terasa kurang bijak dalam suasana pandemi seperti sekarang.

Saat ini kehidupan begitu sulit menyusul banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh pabrik, perusahaan, dan kantor menyebabkan kehidupan menjadi sangat sulit bahkan untuk mendapatkan sekedar sembako.

Dalam kondisi demikian, saat ada arahan atau guidance dari pihak lain (dalam hal ini pemerintah melalui menterinya) untuk membelanjakan uang bantuan yang tidak seberapa itu untuk lebih bermanfaat (baca: non rokok) semestinya menjadi kabar gembira bagi siapapun. Menurut pendapat saya, para warga duafa penerima BLT memang butuh masukan seperti itu untuk menempatkan prioritas secara benar dalam membelanjakan uangnya itu.

Jika ada pihak yang merespons dengan negatif terhadap arahan positif itu, maka menurut saya perlu dipertanyakan motifnya. Jika alasannya adalah penerimaan uang negara dan mengangkat hidup jutaan orang yang terkait rokok, maka justru menjadi sangat aneh.

Bagi saya, penerima BLT di masyarakat ini adalah muara atau "ujung akhir" dari berbagai penerapan kebijakan. Jika mereka tidak dapat menempatkan prioritas yang tepat dalam membelanjakan keuangan, maka tujuan dari BLT tersebut bisa jadi tidak tercapai. Dalam kondisi pandemi yang membutuhkan asupan makanan bergizi yang ekstra untuk melawannya, justru akan kontaproduktif saat tidak adanya aturan jelas terkait pemanfaatan BLT itu.

Data-data valid berdasarkan Susenas pada September 2019 dimana pengeluaran rokok menempati urutan kedua sebesar 11,17% (hanya di bawah beras sebagai makanan pokok yang menempati 20,35%) pada pengeluaran warga miskin perkotaan, seharusnya menimbulkan keprihatinan tersendiri.

Alih-alih jumlah kemiskinan turun, tetapi dalam sebuah guyonan dikatakan bahwa kemiskinan akan "menurun" pada anak-cucunya karena modal dasar untuk melakukan transformasi vertikal keluarga itu yaitu stunting, rendahnya tingkat IQ anak, dan urusan kesehatan secara umum menjadi terganggu.

Memang cukup sulit menggambarkan secara singkat dengan narasi pendek. Intinya, cerita tentang kekurangan gizi dan/atau rendahnya tingkat imunitas khususnya pada anak karena asupan protein sangat minimal kalah dengan berbagai kesenangan tersier bapaknya yaitu rokok.

Jadi tidak ada yang salah dengan pernyataan pemerintah terkait pemanfaatan BLT itu walaupun di sisi lain terlihat pemerintah masih mendua dalam banyak kebijakan terkait rokok.

Bila pernyataan tersebut dilandasi perilaku merokok dianggap sebagai hak asasi, maka saat sekarang ini jika lebih memberatkan pada rokok maka ibarat "bunuh diri" dalam kondisi pandemi. Membiarkan kondisi tubuh lemah untuk menjadi sasaran empuk Corona.

Tentu saja alangkah eloknya bila status kesehatan si miskin tetap menjadi pertimbangan utama saat berkomentar daripada hanya sekadar membela industri rokok dengan mengabaikan semua implikasinya.

Perilaku Merokok dan Covid-19

Hubungan antara rokok dan Covid-19- sebagai penyakit baru walaupun sudah diketahui sebagian tetapi masih terus diteliti sampai saat ini.

Sudah ada publikasi dari 5 studi dari China yang berhasil menyimpulkan bahwa merokok akan meningkatkan kerentanan seorang terhadap Covid-19. Perokok memiliki peluang 2,25 kali lebih tinggi untuk berkembangnya Covid-19 daripada yang tidak pernah merokok. Perokok memiliki risiko 14 kali lebih tinggi mengalami pneumonia akibat Covid-19 ketimbang non perokok.

Di sisi lain memang ada studi yang hasil publikasinya justru sebaliknya. Menyitir Farrukh Qureshi, perwakilan WHO Indonesia yang menyampaikan dalam sebuah kesempatan bahwa studi yang mengklaim sepihak bahwa rokok menjadi faktor pelindung terhadap Corona justru memiliki banyak kelemahan. Pemilihan sampel yang tidak patuh pada ketentuan penelitian, pengujian yang tidak divalidasi secara ketat, artikel yang non peer review, serta banyak publikasi yang muncul pada platform non kesehatan.

Menurut saya, untuk menyikapinya saat dihadapkan pada data yang dianggap bertolak belakang, maka dapat diverifikasi dengan sebuah logika akal sehat selain kekuatan data masing-masing studi tersebut.

Secara logika dapat dipahami bahwa perilaku merokok memang akan meningkatkan probabilitas untuk terpapar. Saat mengisap rokoknya dapat dipastikan para perokok tidak mengenakan masker dan itulah risiko terbesar untuk tertular Covid-19. Ini disusul kerapnya perokok menyentuh bagian mulut atau hidung, itu juga menjadi faktor kedua penyebab kemungkinan tertular.

Faktor ketiga memang agak teknis penjelasannya; merokok akan meningkatkan jumlah reseptor ACE-2 (Angiotensin Converting Enzym 2). Istilah reseptor sendiri adalah tempat menempel virus Corona dalam tubuh manusia. Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Amin Soebandrio mengibaratkan bahwa reseptor seperti pelabuhan, dan virus Corona sebagai kapal yang akan mendarat dan menyinggahi pelabuhan tersebut. Semakin banyak molekul reseptor tadi, peluang terjangkit virus akan semakin besar.

Faktor keempat yang agak teknis bahwa rokok terbukti menurunkan imunitas seseorang. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa asap rokok dan racunnya yang melewati saluran pernapasan akan merusak bulu-bulu getar yang halus dalam sistem pernapasan atas. Sementara rambut halus tersebut berfungsi untuk "menangkap" dan menghalau keluar kotoran besar, kecil, bahkan kuman akibatnya akan bisa lolos masuk ke saluran napas bagian bawah. Dari sini dapat dimengerti perokok akan lebih mudah terinfeksi.

Terakhir, para perokok rata-rata mengidap penyakit degeneratif kronis alias menjadi komorbid saat kemunculan Covid-19 pada seseorang. Penyakit degeneratif kronis yang dimaksud adalah kanker, paru kronis, penyakit terkait jantung dan pembuluh darah, serta diabetes sudah jamak diketahui bahwa faktor risiko utamanya adalah merokok. Memang dalam hal ini rokok bersinergi dengan lifestyle buruk yang lain seperti stres, kurangnya gerak fisik atau olahraga,dan faktor konsumsi yang tidak sehat.

Komorbid ini pulalah yang akan meningkatkan kemungkinan akan memperberat gejala dan bahkan yang mengarah pada kematian sebagaimana data-data yang ada "berbicara". Selanjutnya, pilihan ada pada Anda.

 dapat di baca di Kolom. www. detik.com (TAS, Surabaya 2021)

Tuesday, October 20, 2020

“Mengcovidkan" Pasien Meninggal?


Pernyataan Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko terkait isu bahwa RS dan nakes "mengcovidkan semua pasien meninggal" untuk mengeruk keuntungan membuat banyak pihak terhenyak. Lagi-lagi tuduhan yang kesekian kali setelah Juli lalu Ketua Banggar Said Abdullah juga menyatakan hal serupa dengan terminologi "RS nakal" dengan mencontohkan kasus pasien diabetes lama yang akhirnya meninggal karena Covid-19. Menanggapi hal tersebut Menkes Terawan menyatakan, serapan anggaran yang masih sedikit (saat itu) karena kementeriannya berusaha agar hati-hati dan menghindari potensi moral hazard.

Dari terminologi yang dipakai membuktikan bahwa ada misinformasi dan disinformasi dalam hal nakes (tenaga kesehatan) dan faskes (fasilitas kesehatan) saat pandemi. Hal ini sangat merugikan bukan hanya pada keduanya, tetapi pada penanggulangan pandemi.

Buru-Buru dan Sepihak

Terminologi "mengcovidkan", "RS nakal", dan "moral hazard" dapat dikatakan diberikan secara terburu-buru, sepihak, dan tanpa klarifikasi.

Covid-19 sebagai penyakit dan sumber wabah baru memang sangat mudah untuk disalahpahami. Apalagi karakteristik produk pelayanan kesehatan secara natural seperti asimetri informasi (adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki provider dan pengguna) serta adanya ketidakpastian di dalamnya (uncertainty) memang akan semakin memperparah misinformasi dan disinformasi Covid-19.

Kedua istilah terakhir berarti sebuah kesalahpahaman yang berbeda karakter dan motif pada penyebarnya itu pada akhirnya menimbulkan kegaduhan yang tidak perlu dan akhirnya akan sangat merugikan nakes dan faskes.

Istilah "mengcovidkan" bisa jadi muncul dari kesalahpahaman saat yang terjadi pada pasien --yang ke faskes untuk berobat dengan keluhan apapun-- diberikan pertanyaan dan/atau pemeriksaan yang mengarah pada penapisan Covid-19.

Tingginya angka penularan dan gugurnya sekitar 130 dokter menyebabkan peningkatan kewaspadaan pada nakes yang bertugas. Dikatakan oleh banyak ahli bahwa penyakit ini seolah mempunyai 1000 wajah, sehingga dalam menghadapi pasien, dokter memakai azas "praduga bersalah". Artinya bahwa pasien akan dicurigai positif sampai terbukti tidak --berkebalikan dari azas praduga tak bersalah pada kasus hukum.

Demikian juga judgment dari anggota DPR bahwa pasien diabetes yang akhirnya meninggal karena Covid-19 memang sangat mungkin terjadi dan dapat diterangkan secara ilmiah. Diabetes sebagai salah satu penyakit yang sering "diikuti" oleh si Corona memang jamak terjadi dan nyata adanya. Ini terjadi karena imunitas penderita memang bermasalah. Bila Covid-19 masuk dan menyerang pada pasien diabetes (yang sudah lama) dapat menyebabkan kegawatan karena secara medis kadar gula darahnya melonjak secara drastis yang seringkali diikuti pasien menjadi tidak sadar dan pada akhirnya meninggal.

Demikian juga kejadian happy hypoxia, yakni secara tiba-tiba pasien yang awalnya tidak sesak mengalami penurunan kadar oksigen yang seringkali berujung pada kematian. Kejadian-kejadian yang hanya dapat diterangkan dengan logika medis namun tidak tersampaikan seringkali menjadikan prasangka buruk yang berlebihan terhadap nakes dan faskes.

Perlu Dikritisi

Istilah "potensi moral hazard" yang dikemukakan Menkes juga perlu dikritisi saat dikemukakan bersamaan dengan tuduhan lain yang perlu diklarifikasi. Isu-isu moral hazard memang sangat sensitif. Informasi yang ditangkap masyarakat adalah sudah terjadi dan terbukti moral hazard–nya (mengcovidkan untuk tujuan mengeruk dana ) dan bukan pada kata "potensi" alias belum terjadi.

Potensi moral hazard memang bisa jadi "hadir" ketika ada alokasi dana untuk sesuatu hal. Apalagi dalam jumlah yang sangat banyak. Pernyataan tersebut agak kurang bijak dan kurang sensitif karena seolah-olah mengkonfirmasi kebenaran dugaan-dugaan masyarakat bahwa nakes dan faskes ada di belakang pandemi Covid-19. Padahal semua masih sebatas tuduhan yang belum terbukti. Hal ini sebenarnya menunjukkan bahwa ini masih sebatas rumor yang belum terbukti, namun sudah dilemparkan ke publik dan membuat kegaduhan yang tidak perlu.

Menurut saya, tuduhan moral hazard RS itu terlalu prematur dikemukakan, apalagi saat penyerapan anggaran juga masih sangat sedikit. Saya juga sangat setuju dengan respons sebagian dokter di media sosial untuk menunjuk hidung saja ataupun memproses secara hukum bila ada oknum yang terbukti melakukannya. Toh di sisi lain sudah ada mekanisme lain untuk mencegah hal tersebut, yaitu adanya proses verifikasi dari para verifikator BPJS Kesehatan. Adanya mekanisme tersebut otomatis akan "mempersempit" ruang gerak pihak dan oknum tertentu --jikalau pun ada niat ke arah sana.

Semakin Menjadi

Akhir-akhir ini masyarakat yang menganggap Covid-19 hanya rekaan dan konspirasi semakin menjadiNakes dan faskes menjadi bulan-bulanan netizen dan masyarakat.

Perebutan jenazah di berbagai tempat oleh masyarakat luas diikuti dengan ujaran-ujaran yang tidak elok mengarah pada fitnah juga semakin marak. Penganiayaan secara fisik kepada nakes juga kerap terjadi, bahkan terakhir ada berita melemparkan kotoran manusia pada petugas.

Semua ini menunjukkan bahwa komunikasi risiko pada wabah Covid-19 sangatlah buruk. Komunikasi risiko secara keseluruhan adalah domain dari pemerintah dalam hal ini gugus tugas ataupun satuan tugas. Pernyataan para pejabat menjadikan nakes dan faskes semakin terjepit.

Saya dapat mengatakan, dalam kondisi pandemi nakes dan faskes justru seolah menghadapi tiga "musuh" secara bersamaan, yakni masyarakat yang tidak mempercayainya, pejabat yang mencurigainya, serta keganasan virusnya.

Sayangnya untuk menghadapi keganasan virusnya pun, nakes dan faskes kekurangan dukungan sumber daya. Yang menjadi permasalahan, isu-isu moral hazard yang baru bersifat "potensi" justru lebih mengemuka daripada isu-isu ditolaknya karena hal-hal yang "sepele" dari sebuah kelengkapan klaim (biaya). Padahal pencairan klaim yang akan "diputar" untuk antara lain pembelian APD. Bisa jadi ujung-ujungnya nakes juga yang membeli sendiri APD masing-masing.

Tentu saja sangat tidak fair saat nakes dan faskes berjibaku melawan Covid-19, ternyata tidak memperoleh support yang memadai terkait sumber daya. Sulit membayangkan bila hal ini terjadi pada RS swasta yang seluruh sumber dayanya murni tanpa ada subsidi pemerintah.

Semestinya dalam wabah yang sangat luar biasa ini, tidak boleh ada hal-hal yang menghambat klaim karena alasan yang demikian. Para pengambil kebijakan dan verifikator semestinya tidak menerapkannya hal-hal remeh-temeh serigid seperti dalam kondisi normal.

Dalam kondisi pandemi ini nakes dan faskes menghadapi situasi dan posisi yang sangat sulit. Bahwa sebagian nakes juga "galau" dengan kebijakan pemerintah yang banyak berubah-ubah. Bahkan lebih tertekan dengan potensi tertular yang lebih besar karena kluster baru bermunculan. Hal ini sangat membahayakan bagi nakes karena akan langsung berhubungan dengan kondisi imunitas, sesuatu yang diyakini sebagai benteng terakhir saat berhadapan dengan Corona.

Ibaratnya, sekarang tinggal menunggu saatnya tiba, faskes akan kolaps serta nakesnya tumbang karena Covid-19. Hal yang sama-sama tidak diinginkan

bisa diakses di : https://news.detik.com/kolom/d-5219305/mengcovidkan-pasien-meninggal

 

 


https://news.detik.com/kolom/d-5219305/mengcovidkan-pasien-meninggal

Wednesday, September 2, 2020

Titik Rentan Dokter dalam Pandemi

 

https://news.detik.com/kolom/d-5153512/titik-rentan-dokter-dalam-pandemi

Kasus meninggalnya dokter kita karena Covid-19 masih terus terjadi. Saat ini dokter menempati urutan pertama kematian pada nakes dengan angka telah mencapai 100 orang. Dalam angka tersebut terdapat nama peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebagai calon spesialis serta beberapa konsultan, doktor, bahkan guru besar yang kepakarannya sangat mumpuni di bidangnya. Sebuah kehilangan besar yang membutuhkan waktu panjang untuk menggantinya.

Kasus tumbangnya para dokter mengindikasikan bahwa ada lubang (locus minoris) yang menganga laiknya pada otot perut penderita hernia yang mengakibatkan bahaya ikutan bila tidak ditindaklanjuti. Sebuah titik rentan (vulnerability) pada dokter kita yang perlu ditutup untuk menghindari jatuhnya korban lagi.

Kerentanan vs Ketahanan

Berbicara masalah kerentanan pada dokter dalam pandemi menurut saya merupakan fungsi dari keterpaparan dari Corona, tingkat sensitivitas dan kapasitas adaptif dari si dokter sendiri.

Pada situasi pandemi di mana lingkungan kerja di rumah sakit atau puskesmas menjadi sangat infeksius, maka kerentanan ditentukan antara lain oleh jumlah virus (viral load) yang masuk tubuh. Hal ini dianggap sebagai salah satu penentu dokter menjadi sakit atau tidak pasca-paparan.

Banyak teori menyebutkan keterpaparan virus Corona pada manusia memang tidak selalu menghasilkan gejala sakit Covid-19. Dalam hal ini pemakaian alat dan pelepasan pelindung diri (APD) standar secara benar menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar dalam melawan virus yang dikenal sebagai SARS-Cov2 ini.

Tingkat kerentanan seorang dokter juga tidak dapat dilepaskan dari apa yang dimilikinya, yang disebut sebagai tingkat sensitivitas (kepekaan) terhadap penyakit tertentu. Menurut saya, sensitivitas berbanding lurus dengan kondisi tubuh dari dokter yang given seperti genetik.

Dalam hal ini munculnya komorbid (penyakit penyerta) --yang biasanya terkait genetik tertentu-- juga menjadi titik rawan dari tertular dan parahnya manifestasi dari Covid-19. Sehingga dokter yang berusia lanjut dikategorikan makin rentan karena peluang adanya komorbid semakin besar. Jika status imunitas tubuh bermasalah sejak sebelum pandemi, maka bisa dikategorikan sebagai sensitivitas bagi dokter.

Sebaliknya, faktor kapasitas adaptif dari dokter menjadi sesuatu yang berkebalikan bagi kerentanan. Kemampuan beradaptasi adalah inti dari sebuah ketahanan (resilience). Dalam hal ini kemampuan adaptasi menjadi sesuatu yang dapat dipelajari oleh dokter untuk menyesuaikan terhadap lingkungan, keadaan serta pekerjaan saat pandemi.

Kapasitas adaptasi menjadi "upaya terakhir" yang dapat dilakukan dokter untuk menurunkan kerentanan. Kondisi imunitas tubuh optimal bisa menjadi "hasil akhir" dari kemampuan beradaptasi sebagai kombinasi pola hidup sehat yang dikembangkan dari pola makan, pola tidur serta pola pengelolaan stres. Tentu saja ada peran kemauan untuk melakukan kebiasaan olahraga, menjalankan hobi sebagai "me time" dan selalu positive thinking saat menghadapi situasi apapun.

Harus Sadar Risiko

Seorang dokter semestinya tahu dan paham segala sesuatu informasi terkait Covid-19, namun dalam implementasi sehari-hari seringkali masih belum sesuai dengan berbagai teori yang ada. Dalam banyak kasus, dokter seringkali justru abai pada kondisi badannya sendiri. Dokter merasa bisa mendeteksi penyakit sekaligus mengetahui penangkalnya. Sehingga sangat sering dokter yang sebenarnya kurang sehat, namun "memaksa diri" untuk tetap melayani dan merawat pasien.

Kenyataan yang lazim terjadi justru dokter seringkali tidak menjalankan pola hidup sehat karena berbagai alasan. Bukan hanya dari "kemalasan" diri sendiri, tetapi juga bisa dari sistem penjadwalan jaga yang sangat ketat karena keterbatasan personel, misalnya. Di lain pihak maka praktik dokter secara mandiri ditengarai mempunyai andil dalam membuat kondisi dokter semakin rentan karena faktor kelelahan

Menurut saya yang paling dibutuhkan adalah kesadaran dokter terkait risiko profesi dalam masa pandemi di mana risiko tertular Covid-19 memang lebih tinggi dari masyarakat umum Dengan menyadari akan risiko profesi dokter diharapkan akan menjadi lebih care dan fair terhadap badannya sendiri.

Dalam hal ini perlu ketahanan fisik yang lebih baik dengan semakin banyak kasus, panjangnya jam kerja, dan beratnya beban kerja. Demikian juga untuk menjaga ketahanan psikis dan mental, membutuhkan kebesaran hati untuk menyikapi bully, caci maki, dan fitnah yang ada. Sedangkan perubahan kebijakan pemerintah yang sering menyebabkan dokter dalam posisi terjepit sebaiknya disikapi secara woles saja.

Satu hal yang cukup penting, dokter semestinya bisa memetakan dirinya sendiri dengan cara self assessment berdasarkan tingginya paparan, tingkat sensitivitas, dan kapasitas adaptasi. Secara sederhana hasilnya akan dalam dikelompokkan menjadi kerentanan tinggi, sedang, atau rendah.

Bila dokter bekerja pada tingkat paparan tinggi, kondisinya sudah ada komorbid serta sulit mengatur pola makan, tidur, dan stres, maka itulah yang paling rentan. Sebaliknya jika paparan relatif rendah, tanpa komorbid dan kemampuan adaptasi tinggi, maka dokter akan semakin tahan dan tangguh.

Bukan Hanya Urusan Pribadi

Berbicara kerentanan dan ketahanan dokter sebenarnya bukan hanya urusan pribadi si dokter, tetapi juga bagaimana peran dari lingkungan kerja dalam mendukungnya.

"Status kesehatan keuangan" rumah sakit yang terganggu akibat tersendatnya pembayaran klaim bisa jadi berkontribusi pada kematian dokter. Kelemahan dalam implementasi berbagai pilar Sistem Kesehatan Nasional kita seperti bidang perbekalan kesehatan dan pemberdayaan masyarakat saat pandemi terlihat jelas hubungannya dengan kematian para dokter.

Pendek kata, semua subsistem serta supra-sistem terkait dokter juga akan ikut berkontribusi apakah menyebabkan dokter menjadi rentan ataukah tahan. Termasuk di sini ada peran advokasi dari organisasi profesi.

Akhirnya setelah mengidentifikasi locus minoris dokter pada pandemi ini, maka perlu kiranya untuk melakukan tindakan "operasi" untuk penutupan lubang pada kasus hernia tadi.

Dalam hal ini perlu pembenahan dalam sistem kesehatan khususnya sistem penanggulangan Covid-19 baik di level hulu sampai hilir. Bila pembenahan terjadi, maka dokter tangguh akan lahir dan hadir. Sebaliknya, tanpa upaya "operasi" itu maka kematian dokter berikutnya tinggal menunggu waktu saja.

 

Saturday, August 1, 2020

Belajar Penyikapan Terbaik dari Berhaji Saat Pandemi


Beredarnya cuplikan video dan banyak foto- foto para jemaah haji membuat baper banyak orang. Pasalnya banyak negara beserta penduduknya tidak bisa beribadah karena sebab pandemi ini.
Pandemi memaksa jamaah haji yang boleh berada dalam 1 lokasi yang sama hanya dalam 10 rb saja. Padahal biasanya Armina - Wukuf di Arafah sebagai puncak ibadah dan Lontar Jumrah di Jamarat Mina- adalah momentum berkumpulnya semua bangsa bisa mencapai sekitar 2 juta manusia. Memang hanya manusia "terpilih" sajalah yang bisa ikut dalam ritual haji saat pandemi sekarang ini.
Haji sekarang ini sangatlah istimewa. Bermasker dengan menjaga tetap menjaga jarak antara satu dengan yang lain. Saat tawaf - mengelilingi kakbah dengan berlawanan dengan arah jarum jam - sudah ada penanda untuk tetap jaga jarak antara kanan dan kirinya antara satu orang dan orang lain laiknya lintasan atletik di stadion olahraga. Sementara antara dwpan dan belakang maka di depan jamarat juga sdh ada tanda kaki tempat berdiri antara satu orang dengan yang lain. Pada saat tawaf maka sebagian juga memakai payung - yang menurutku dipakai untuk tetap menjaga jarak antara satu orang di depan dan di belakangnya.
Dalam kondisi ini, aku merasa bahwa betapa agama Islam benar-benar menerapkan adagium menghindari mudharat lebih baik daripada mengambil manfaat. Sesuatu yang menempatkan kehidupan manusia dalam tempat sebaik- baiknya.
Pandemi Corona saat ini dalam kacamata sebagian orang adalah konspirasi bahwa virus itu buatan. Pendeknya man made disaster akibat senjata biologi. Namun Islam - yang ditunjukkan oleh otoritas penyelenggara haji pemerintah Arab Saudi - benar - benar luar biasa. Dengan tetap mempertimbangkan hal- hal yang terkait wabah - sesuatu yang pernah terjadi di jaman sahabat dulu.
Bahwa wabah ini tetap dalam pengetahuan Allah swt dan sudah menjadi ketetapan Nya. Sehingga penyikapan terbaik menjadi sesuatu yang sangat masuk akal - lepas apapun isu yang melingkupinya.
Secara nyata dan kasat mata bahwa korban virus sudah berjatuhan, walaupun virusnya sendiri hanya kelihaatan dengan mikroskop elektron. Sehingga apapun isu tentang virus di luaran tetap membuat otoritas penyelenggara haji menanggapi dengan hati- hati.
Bahwa pengurangan besar- besaran jumlah haji yang hanya 0,5 % dari total biasanya jika dalam angka 2 juta manusia merupakan "kerugian" besar jika dihitung eecara ekonomi. Berapa penurunan dan kehilangan potensi ekonomi dari toko oleh-oleh di sekitaran masiid Nabawi, masjidil haram dan semua tempat- tempat ziarah lainnya.
Berbagai jenis kurma, olahan kurma, buah zaitun, madu arab, minyak zaitun, buah - buahan lain seperti delima, apel, jeruk dll, terkena imbasnya. Berbagai produk sajadah dan karpet, berbagai handycraft dari Turki dan China, sajadah, baju muslim, juga emas- emas kuning dan putih pasti juga terkena dampaknya.
Tapi tampaknya pemerintah Saudi sangat rasional. Tetap menomorsatukan kesehatan di atas semua. Dalam kondisi darurat maka justru semua "mengacu" sama urusan jiwa dan nyawa manusia. Masyaallah.
Bukan berarti bahwa dalam area tanah suci maka akan seenaknya meninggalkan protokol kesehatan. Mungkin bagi sebagian besar orang akan berpikir " toh dalam tempat signal terbagus dan terdekat dengan "provider" atau dalam hal ini allah swt maka boleh saja kita tidak mematuhi syarat dan ketentuannya - dalam hal ini tidak mematuhi protokol kesehatan. Tetapi justru dalam kepatuhan yang tinggi kepada Allah swt tanpa mengabaikan apa - apa yang menjadi " keputusan manusia". IMHO tentu ini tidak lepas dari hal- hal yang menjadi karakateristik dalam memilih hal- hal yang menjauhi mudharat daripada hal - hal ada manfaatnya.
Masyallah. Betapa agama memang menjadi solusi bagi semua permasalahan yang ada. Agama menjadi rujukan apa saja bagi semua hal, termasuk urusan wabah ini.
Saat otoritas agama juga "mendengarkan " science tentu khususnya urusan wabah dengan kedalaman fatwa - fatwanya maka sesungguhnya inilah perpaduan dahsyat, yang membuat malu hati ini. Beberapa orang khususnya seringkali mengagungkan hanya science saja yang kelihatan lebih modern dan kekinian. Atau cenderung hanya percaya pada agama tetapi dengan pengetahuan dan pemahaman yang masih superfisial.
Itulah yang melahirkan orang ignorance pada saat wabah ini saat dengan gegabah berani menantang " sunatullah" tentang kejadian sakit karena interaksi antara tubuh sebagai host dan agent dalam hal ini adalah virus yang nebyebabkan ketidakseimbangan biologis saat virus lebih kuat atau lebih banyak dibandingkan dengan kekuatan imunitas manusia. Bahasa ilmiahnya Viral load ( jumlah vitrus ) dengan strain tertentu yang lebih ganas akan bisa menyebabkan paparan yang berujung sakit dan berpotensi meninggal.
Saat tawakal kepada allah ( berusaha dan kemudian berpasrah) adalah penyikapan terbaik saat menghadapi semua hal. Tetap berusaha dalam kerangka manusia dan tetap yakin bahwa apapun dalam pengetahuan dan ketentuan allah swt. Hal terakhir itulah yang disebut sebagai qadarullah ( takdir allah) , hikmah yang bisa diambil saat sesuatu sudah terjadi. Sebuah cara tercerdas saat menghadapi apapun problem manusia.
Inilah hikmah terbesar peristiwa haji saat pandemi. Aku membayangkan juga bahwa tetap tim medis bersiap sedia menjaga semua kemungkinan yang tetap terjadi. Saat 17 tahun yang lalu saat ikut mengawal ljamaah calon hati Tarakan aku membuktikannya sendiri saat pernah sekali merujuk pasien ke RSAS di Jedah saat mau pulang disamping disemua tempat persinggahan ( Mekah, Armina. Madinah) yang masih ditangani oleh petugas kita ( BPHI = Balai Pengobatan HAJI Sebuah Indonesia).
Pasien jamaah haji itupun mendapat perlakuan yang sangat baik di RSAS itu. Baju langsung diganti dengan baju RS dan diberikan tindakan dengan sangat cepat.
Dalam pengalaman berkunjung kembali ke tanah suci tahun 2020 ini aku berkesempatan menengok fasilitas gawat darurat di bagian bawah tower zam - zam di sebuah hotel. Saat ke sana - kebetulan ada orang Indonesia yang dirawat di ICU sana dan diminta untuk "melihatkan" kondisi Bapak itu.
Aku melihat dengan mata kepala sendiri betapa baiknya mereka memperlakukan tamu Allah tersebut yang asalnya sedang umroh tersebut. Aku sempat meyakinkan pada keluarga bahwa menurut hematku bahwa pasti beliau akan mendapat pelayanan yang luar biasa sembari mengingat saat 16 tahun sebelumnya. Ada jawaban bahwa itu kalau haji tapi beda saat umroh. Akhirnya pendek kata bahwa pasien mendapat perlakuan dengan sangat baik saat semua permasalahan menjadi clear karena kesalahpahaman yang terjadi sebelumnya terselesaikan. Alhamdulillah... aku ikut menyaksikan dan sedikit merasakannya prosesnya. Walaupun akhirnya pasien meninggal di sana tetapi keluarga sudah sangat ridho.
Jadi tindakan- tindakan ini memang bukan sebuah lips service dari otoritas tetapi dengan segenap kesadaran. Tetap jernih menetapkan bagaimana prioritas yangvseharusnya diambil. Bukan hanya ekonomi atau prosesi hajinya saja. Tetapi semua dipadukan dengan kesehatan sebagai panglima tanpa meninggalkan urusan syari nya. Masyaallah..
Harapanku sih, ini membuka mata dari para penganut teori- teori yang ujungnya mengabaikan hal kesehatan sekarang ini dengan berbagai alasan
Ayolah, apalah kita ini dibandingkan para jamaah yang terpilih ini. Jadi berikan penyikapan terbaik saat menghadapi wabah. Tetap bermasker, jaga jarak, CTPs dan tetap jaga imunitas tubuh. Bukan petantang petenteng merasa paling kebal dan paling tahu semua isu tentang pandemi.
Wallahualam bishawab...

Saat Menjenguk si Sakit Secara On Line



Status orang di media sosial yang berbagi informasi tentang pengalaman beliau terkena covid ditanggapi sangat beragam.
Sebagian mendoakan dan ikut prihatin dengan sakitnya. Tidak sedikit yang berterima kasih karena mendapat pencerahan dan bisa ikut " "merasakan" dengan membayangkan bagaimana kronologisnya dari hari ke hari. Yang memperihatinkan justru banyak yang komentarnya yang sangat tidak elok.
Bila dianalogikan dalam dunia nyata, maka pengunjung akun adalah layaknya orang yang sedang nengok orang sakit di rumahnya. Pengunjung laman adalah ibarat "tamu".
Ada hal menarik dalam hal ini jika bertamu secara off lain tapi berucap kurang baik sama tuan rumah khususnya keadaan sakitnya, menurutku sangat tidak pantas. Tapi hal ini tampaknya tidak terlaku berlaku di dunia maya.
Tapi kepantasan di dunia maya memang menjadi sesuatu yang langka dan sangat relatif. Oke lah kalau bukan urusan badan nyata pemilik akun.
Saat ini semua2 ditanggapi dengan pro kontra. Bukan hanya pola pemikiran, ide atau tingkah laki nyeleneh. Atau oke lah kalau isu- isu yang urusannya memang urusan publik, kebijakan yang menyangkut banyak orang, dan urusan publik lain.
Tapi sekarang merambat ke hal - hal terkait tubuh dan badan si pemilik akun.
IMHO kalau urusan sakit, bagusnya ya doakan saja. Tidak perlu caci maki atau sumpah serapah juga.
Mungkin ini karena sakitnya Covid maka yang menganggap pro konspirasi untuk covid menyatakan dan menanyakan hal hal tidak pantas menurutku. Di bayar berapa untuk menyatakan ini ? Kok begini begitu yang intinya malah kesan "mengolok" si sakit.
Sedih sih melihat begini. Betapa rasanya empati sudah sangat sulit ditemukan saat ini. Ya memang aku melihat saat covid naik 100.000 maka masyarakat justru makin abai.
Saat 2 hari lalu saat mau beli bahan makanan aku melihat di sebuah warkop ternyata ramai banget. Dari sekitar 20 s.d 30 agak berdesakan maka yang aku lihat pakai masker dengaan bener hanya 1 mba- mba. Yang lain no mask. Aku memperhatikan karena gara - gara jalan ditutup aku balik lewat warkop tadi.
Sikap-sikap abai yang bilang bahwa covid nggak ada atau hanya rekaan mungkin karena memang belum melihat orang dekatnya mengalami. Tapi tidak perlu sebenarnya kita sendiri atau orang dekat kita yang kena tapi pasti bisa membaca bahwa banyak sekali kehilangan beruntun dalam sebuah keluarga. Cukup membaca dari banyak sumber.
Yang di Madura 4 nakes dalam 1 keluarga. Jhga di Surabaya ada yang kehilangan ibu, bapak dan kakak serta calon keponakan. Di banjarmasin dan banyak lagi yang lain.
Covid itu nyata. Di sini dalam arti kepentingan kita adalah hanyalah menghindar dan berusaha tidak tertular.
Mencerca orang sakit karena tertular Covid 19 sangat tidak pantas. Lagi - lagi kata pantas yang aku pakai. Memang relatif. Tapi sangat bisa dirasakan walaupun mungkin agak sulit dijelaskan.
Karena memang saat menengok orang sakit menurut ajaran adalah mendoakan, dan saling mengingatkan bahwa tetap harus ingat sang pencipta (ceramahnya UAS), bahkan bila perlu bisa bawakan alat ( baca : debu bersih) untuk tayamum. Ini tentu untuk kasus yang tidak semenular covid ya. Atau saat pra dan pasca pandemi.
Dalam dunia maya mungkin juga perlu "adab" menengok laman orang yang sedang sakit. Tidak ada yang mengharuskan kita mengunjungi laman seseorang. IMHO, jika kita mau mampir silahkan, karena tidak larangan juga. Tapi komentarlah yang bijak. Jangan sampai menyebabkan komentar kita malah terkesan nyinyir dan menghakimi si sakit dengan sesuatu yang belum tentu benar adanya. Kayaknya perlu ada tutorial menengok laman si sakit. Bukan hanya menengok off line tetapi juga on line...
Semoga yang sedang sakit segera disembuhkan. Yang sehat tetap mengupayakan protokol kesehatan. Yang meninggal diberikan tempat terbaik di sisi Allah swt.aamiin YRA.

Saturday, July 25, 2020

Kerja Sosial Bagi yang Tidak Mau Bermasker


Kasusnya makin banyak. Tercatat sudah melampaui negara asal virus. Rangkingnya naik terus. 1 Juli rangking 28. Tanggal 7 Juli naik jadi 26. Tanggal 20 Juli peringkat 25. Diperkirakan masih naik lagi dan akan menyalip rangking diatasnya dalam waktu tidak lama lagi..
Sementara bermasker masih susah bagi sebagian orang. Banyak alasan. Intinya susah...
Sangsi ? Bagusnya begitu. Tapi harus beneran. Sekarang banyak tertulis sangsi dengan denda yang tinggi. Kenyataaannya ? Gak iso mbayar (tidak bisa membayar). Akhirnya nggak jalan sangsinya, wong buat makan aja susah...
Suruh joget ? Lah ... ya tambah kesenengen. Ben sesuk maneh gak usah nggawe masker ae. Paling dikongkon joget (biar besok tidak usah pakai masker, paling hanya disuruh joget).. IMHO ini bukan sangsi yang menjerakan. Malah membuat orang tambah pengin melanggar lagi...he..he...ini menurutku sih.
Push up dan lain-lain . Bisa sih tapi kurang punya efek ke pihak lain. Masih seperti joget efeknya.
Kalo menututku sih sangsinya harus ada efek ke yang lain. Mbayar hutang istilahku. Kan dia sudah lalai dan berkontribusi buruk untuk yang lain (bisa jadi nyebar virus) jadi harus balas dengan kebaikan kepada yang lain.
Paling realistis sangsinya menurutku ya kerja sosial. Alasannya tidak butuh uang, hanya butuh kemauan. Sangat bisa dilaksanakan dan diawasi oleh petugas dan atau relawan pengawas.
Oh ya ini nih usulanku untuk sangsi orang yang melanggar protokol kesehatan khususnya dalam pemakaian masker :
1. Memungut sampah
Memungut sampah dari jalan dan membuangnya ke tempat sampah. Alatnya cuma plastik aja buat sampah.
2. Menyapu jalan / pasar
Alat yang dibutuhkan : sapu lidi dan serok serta kanting plastik untuk menyimpan sampah. Minimal 100 meter menyapunya.
Perangkat pendukung : air bersih dan sabun pasca.
3.Bersih- bersih got.
Alat yang dibutuhkan hanya cangkul, karung goni, serok. Sangsinya minimal angkat lumpur 1 kali. Tapi harus disediakan juga dan dipastikan air bersih dan sabun. Supaya bisa langsung Cuci Tangan Pakai Sabun.
4. Bersih - bersih taman
Bekalnya cuma kantong plastik untuk tempat sampah atau gulma yang dicabut.
5. Menyiram tanaman taman
Pastikan ada sumber air dan ada tanaman yang harus disiram.
6. Bersih- bersih toilet umum / wastafel
Ada alat pembersih. Minimal tersedia sikat
7. Menanam tanaman. Harus ada cangkul kecil / pancong. Darimana tanamannya ? Bisa diambil dari yang sudah rimbun dan harus dipecah.
8. Silahkan bisa tambahin sendiri
Alternatif lain adalah tanya mau kerja sosial yang mana. Siapa tahu punya minat yang lain...mendongeng untuk anak panti misalnya. Prinsipnya ada manfaat untuk orang lain.
He..he. ini status mengandung guyon tapi asline serius.... bisa disesuaikan dengan sikon di masing-masing lokasi....he..he.
Sudah terlalu banyak nakes yang berpulang karena Covid -19. Salah satu sebab di hulu karena masyarakat abai pada pencegahan dengan memakai masker. Ini menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kepatuhan pemakaian masker.